Melampaui Terorisme: Pendekatan Komprehensif untuk Memahami dan Menangkal Terorisme

CagleCartoons.com

Oleh Reza A.A Wattimena dan Bustanul Arifin

Tulisan ini sudah diterbitkan di Jurnal MANDALA: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional Vol 1 no.1 Januari-Juni 2018 Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UPN”Veteran” Jakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan langkah dan strategi yang harus dilakukan, guna menghadapi permasalahan terorisme yang semakin berkembang pesat di awal abad 21 ini. Riset ini akan menganalisa penyebab dan alasan mendasar lahirnya terorisme yang kemudian menjadi tantangan serius bagi masyarakat internasional, khususnya Indonesia. Adapun yang menjadi latar belakang penelitian ini adalah berkembangnya terorisme yang semakin pesat dan subur, serta mengancam kestabilan dan keutuhan sebuah negara.

Mengapa terorisme bisa berkembang semakin subur? Adakah yang salah dengan upaya dan strategi yang telah digunakan selama ini? Perlukah pendekatan dan cara baru untuk melawan terorisme ini?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi landasan bagi penulis untuk mengekplorasi lebih mendalam tentang dinamika terorisme ini dengan contoh negara seperti Indonesia. Pemikiran yang sempit dari individu dan kelompok, serta kurangnya pemikiran yang kritis terhadap informasi ataupun perkembangan kehidupan yang dilihat, telah mendorong terjadinya pemahaman radikal yang mendorong menjadi teroris. Maka, dalam penelitian ini, transendensi mampu menjadi sebuah cara mendasar dalam merubah akar permasalahan yang mendorong individu atau kelompok menjadi radikal. Transendensi tersebut harus diikuti dengan pendekatan komprehensif dari pemerintah, masyarakat dan perubahan keadaan sosial, khususnya ekonomi dan pendidikan.

Kata Kunci: Terorisme, Transendensi, Radikalisme, Penanggulangan Teroris, Indonesia, dan Demokrasi

Terorisme sudah setua peradaban manusia itu sendiri. Sekelompok orang melakukan tindak merusak, demi menyebar teror, kerusakan, dan memecah belah, guna mewujudkan kepentingan politik, ideologis maupun kepentingan kelompok radikal religius tertentu. Landasan berpikir mereka bersifat sempit dan tertutup. Dengan landasan berpikir semacam ini, mereka merusak perbedaan atau keragaman, dan menyebarkan ketakutan dan kerusakan.

Ada beragam penelitian tentang akar dan cara menanggulangi terorisme. Namun, ada satu hal yang menjadi kunci dari semuanya, yakni kemampuan transendensi. Ini adalah kemampuan manusiawi untuk melihat dunia dengan kaca mata yang lebih luas dari kepentingan diri, keluarga ataupun kelompoknya. Pendek kata, transendensi adalah kemampuan manusia untuk melampaui kepentingan sempit diri dan kelompoknya, lalu melihat dari sudut pandang orang lain, serta kepentingan yang lebih besar. Transendensi terkait erat dengan kemampuan dasar manusia lainnya, yakni empati.

Dua hal ini menjadi amat penting untuk dipahami lebih jauh, karena kita hidup di jaman yang penuh dengan teror. Ketidakpastian dan ketakutan mengepung hidup banyak orang. Beragam aksi teror di abad 21 ini, mulai dari bom Bali 1 dan 2, kehadiran Negara Islam Irak dan Suriah, sepak terjang kejam kelompok Boko Haram di Nigeria, bom bunuh diri di Kampung Melayu dan beragam aksi teror lainnya, menyebarkan ketakutan dan kecemasan di tingkat global. Pemahaman menyeluruh tentang aksi teror dan taktik menangkalnya jelas mutlak diperlukan.

Untuk mencapai tujuan itu, tulisan ini akan dibagi ke dalam lima bagian. Awalnya akan dijabarkan makna dan tujuan terorisme dari berbagai sudut pandang. (A) Setelah itu, beberapa kejadian terkait dengan tindakan teroristik juga akan dikupas, terutama yang terjadi di Indonesia, Eropa dan Timur Tengah. (B) Lalu akan dijelaskan beberapa langkah taktis yang mungkin, guna menangkal terorisme di masyarakat. Bagian ini juga sekaligus pembuka pada penjabaran makna transendensi. (C) Setelah itu akan dijelaskan makna dari konsep transendensi, terutama dalam kaitannya dalam upaya memerangi terorisme. (D) Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan. (E)

Terorisme: Makna dan Tujuan

Di dalam tradisi pemikiran politik, terorisme dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah tindakan teror negara yang menyebarkan ketakutan, dan memecah belahnya rakyatnya demi tujuan penguasaan total. Hal ini banyak ditemukan di negara-negara yang menerapkan pemerintahan totaliter. Yang kedua adalah terorisme dari bawah yang dijalankan oleh sekelompok orang tertentu, baik dengan dukungan ataupun justru melawan kepentingan pemerintah. (Elter, 2007)

Di dalam kata “terorisme”, ada penilaian moral yang berpijak pada sudut pandang tertentu. Ini menyebabkan terciptanya ragam tafsir. Bagi satu kelompok, sekelompok pelaku kekerasan dianggap sebagai musuh bersama. Sementara, bagi kelompok lain, kelompok teroris tersebut dianggap sebagai pejuang kebebasan. (Bayersiche Politische Bildung, 2017)

Terorisme juga bukanlah merupakan kekerasan tanpa arah. Ia lahir dari dasar berpikir dan tata nilai moral tertentu. Ia juga lahir dari perencanaan yang canggih dan menyeluruh. Para pelaku terorisme kerap kali adalah orang-orang cerdas, namun miskin pemikiran kritis, dan lemah secara pribadi. (Wattimena, Deradikalisasi, 2017)

Sejak 1970-an lalu, dunia menyaksikan lahirnya beragam kelompok teroris. Mereka memiliki beragam tujuan, baik itu tujuan politis, maupun tujuan religius. Semuanya memiliki pola sama, yakni tafsir semena-mena atas sebuah paham yang bersikap tertutup, sempit dan menindas perbedaan. Peter Waldmann, pemikir Jerman, membedakan tiga bentuk tujuan dasar dari tindakan teroristik, yakni tujuan-tujuan nasionalisme, seperti perang kemerdekaan, tujuan-tujuan revolusioner, seperti perubahan pemerintahan, dan tujuan-tujuan religius, seperti ingin mendirikan negara homogen yang berpijak pada satu agama tertentu. (Strassner, 2008)

Tindak teroristik sendiri seringkali menggunakan dua taktik, yakni perang bersenjata langsung dengan menggunakan senjata, atau serangan-serangan kecil yang sulit ditebak, guna menyebarkan ketakutan di masyarakat luas. Yang pertama lebih merupakan serangan untuk merebut wilayah kekuasaan. Sementara, yang kedua lebih merupakan penaklukan mental dalam bentuk penyebaran ketakutan ke berbagai penjuru masyarakat, yang seolah tanpa pola. (Wattimena, 2010)

Sebelas unsur di atas mencirikan gerakan teroris yang terjadi di berbagai belahan dunia pada abad 21 ini. Gerakan teroris merupakan gerakan yang dikutuk oleh semua agama dan negara di muka bumi. Gerakan tersebut, dengan kata lain, tidak mendapat dukungan publik sama sekali. Motivasi politis, ideologis dan religius selalu bisa ditemukan di balik semua tindakan teroristik. Organisasi teroris adalah gerakan terorganisir yang memiliki kaki nasional dan internasional. Mereka selalu mencari pendukung baru dengan berbagai janji yang kerap kali tak masuk akal. Dan sekali lagi, tujuannya adalah menyebarkan teror dan ketakutan dengan menggunakan jalan-jalan kekerasan. (Elter, 2007)

Terorisme di Abad 21: Beberapa Peristiwa

Di awal abad 21 ini, Indonesia telah beberapa kali menjadi sasaran dari serangan teroris. Yang paling memakan banyak korban adalah bom Bali pertama dan kedua. Bom Bali pertama terjadi pada 12 Oktober 2002 di Kuta, Bali. Bom tersebut menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia serta 38 warga Indonesia. Pelaku pengeboman itu adalah Jemaah Islamiyah, kelompok Islam garis keras. Mereka akhirnya ditangkap, dan dihukum mati.

Pada 2005, Bali kembali mengalami serangan bom dari kelompok teroris, tepatnya terjadi pada 1 Oktober 2005. Ini merupakan serangan bom bunuh diri yang melibatkan serangkaia serangan bom mobil yang terjadi di dua tempat, yanki Jimbaran dan Kuta. Keduanya terletak di bagian Selatan pulau Bali. Serangan ini memakan korban jiwa 20 orang, dan melukai lebih dari 100 orang lainnya. Pelaku bom ini ada tiga orang, dan semuanya tewas di dalam ledakan.

Pada 24 Mei 2017, Indonesia kembali menjadi sasaran dari serangan bom bunuh diri kelompok teroris. Dua ledakan terjadi di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Bom meledak di toilet dan di dalam terminal tersebut. Tiga orang polisi tewas, juga dua orang pelaku bom bunuh diri tersebut. 10 orang lainnya luka-luka. Sampai tulisan ini dibuat, jumlah korban pastinya belum diperoleh. Bom yang meledak adalah bom panci. Bom ini terjadi dua hari setelah serangkaian serangan teroris di Inggris dan di Filipina.

Berbagai negara lain juga harus menanggung serangan teroris ini. Negara-negara Eropa adalah salah satunya. Pada 13 November 2015 lalu, Perancis mengalami serangan teroris yang memakan korban 137 orang, dan melukai lebih dari 370 orang lainnya. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut. Tak lama kemudian, Belgia juga mengalami serangan teroris yang memakan korban 35 orang, tepatnya pada 22 Maret 2016 lalu. Negara Islam Irak dan Suriah kembali mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. Serangan terakhir terjadi di Manchester, Inggris pada 22 Mei 2017 yang memakan korban 23 orang. Pelakunya adalah Salman Ramadan Abedi yang diduga kuat terkait dengan Negara Islam. Beberapa bagan dibawah ini kiranya bisa memberi keterangan lebih jauh.

Di abad 21 ini, terorisme menggunakan jubah agama untuk menyembunyikan motif politik di dalamnya. Ini terlihat dari berbagai gerakan teroris yang menggunakan agama Islam sebagai pembenaran bagi tindakan-tindakan biadab mereka. Jika data dilihat lebih dalam, korban terbesar justru adalah umat Islam sendiri. Berbagai data ini harus dibaca dari sudut pandang yang lebih luas, yakni memecah belah berbagai negara di atas garis agama, supaya menjadi lemah, dan mudah dikuasai secara ekonomi. Beberapa analisis dan Noam Chomsky dan Andre Vltchek kiranya menunjukkan hal ini dengan jelas. (Chomsky, 2015) Kedua pengarang ini menegaskan, bahwa serangan AS dan sekutu-sekutunya terhadap berbagai negara di Timur Tengah dengan menggunakan Drone, atau robot tanpa awak, juga bisa dilihat sebagai tindakan teroristik. (Vltchek-Chomsky, 2017) Ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa pemahaman atas akar dari gerakan teroristik ini amatlah diperlukan, guna membuat sebuah kebijakan dan langkah-langkah taktis penanggulangannya.

Menangkal Terorisme: Perlunya Pendekatan Komprehensif

Dinamika keamanan global sudah semakin tidak menentu dalam beberapa tahun belakangan ini. Peningkatan aksi terorisme telah menjalar hampir ke seluruh dunia. Hampir setiap hari, ada berita tentang korban tindakan teroristik. Sebuah pertanyaan pun muncul, apakah harga sebuah nyawa manusia begitu rendahnya dimata sebagian manusia yang melakukan kegiatan terorisme? Bagaimanapun juga, langkah dalam menghadapi dan juga menanggulangi permasalahan terorisme menjadi sangat penting saat ini dan di masa depan. Pendekatan yang komprehensif sangat diperlukan, guna menghadapi tantangan global yang sangat serius ini.

Peranan dari setiap pemangku kepentingan dari semua level sangat menentukan keberhasilan sebuah negara maupun masyarakat internasional dalam meminimalisir dan membatasi perkembangan terorisme. Berdasarkan landasan dan pembahasan dari bagian sebelumnya, maka akan di perlukan beberapa langkah komprehensif guna menanggulangi permasalahan terorisme, yakni pendekatan yang memfokuskan mengenai peranan pemerintah, peranan masyarakat, dan pengaruh keadaan sosial masyarakat termasuk pendidikan dan ekonomi.

Peranan yang paling sentral dalam penganggulangan terorisme ini berada pada kebijakan dan langkah yang di buat oleh pemerintah. Pemerintah biasanya juga menjadi terget utama dari aksi terorisme, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aksi terorisme kadang ada yang langsung menargetkan kantor pemerintahan atau pejabat pemerintah, namun ada juga yang menargetkan masyarakat umum, tapi ini juga merupakan sebuah strategi para pelaku teror guna mendapat perhatian dari pemenrintah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk secara taktis menangkal terorisme.

Peran Kebijakan dan Regulasi Pemerintah

Pertama, diperlukannya instrumen-instrumen hukum yang kuat dari negara dalam menghadapi terorisme. Eksekutif dan legislatif dari sebuah negera harus mampu bersama-sama merumuskan peraturan dan regulasi yang jelas dan terarah dalam menghadapi dan mencegah terjadinya aksi terorisme. Ini jelas sangat diperlukan guna menjadi landasan, ketika negara perlu mengambil tindakan terhadap aksi terorisme. Penanganan terorisme tanpa landasan hukum yang jelas akan menjadi sebuah permasalahan tersendiri. (Crelinsten, 2014) Namun pada sisi yang lain, peraturan dan regulasi yang dibuat oleh negara juga harus dapat mengimbangi nilai-nilai hak asasi manusia. Diperlukan standar dan nilai dalam berhadapan dengan individu yang terduga atau terbukti sebagai teroris, sehingga tidak terjadi permasalahan HAM dikemudian hari. Hal ini juga penting untuk mencengah kebencian yang timbul dari pihak keluarga dan sahabat para teroris, ketika melihat aksi brutal dalam penanganan terorisme, yang mana ini bisa mendorong mereka untuk balas dendam.

Kedua, pemerintah harus membuat lembaga khusus yang akan fokus dengan isu terorisme. Seperti di Indonesia telah ada BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Namun yang terpenting adalah sinkronisasi dari setiap lembaga pemerintah untuk dapat menangani permasalahan terorisme secara komprehensif. BNPT di Indonesia harus mampu bersinkronisasi dengan semua pemangku kepentingan untuk dapat menghadapi isu terorisme, mulai dari tingkat pencegahan, pendeteksian dini dan penanganan aksi teroris.

Ketiga, penanganan isu terorisme membutuhkan keahlian dan kerjasama dari berbagai sektor keilmuan. Penanganan permasalahan terorisme tidak boleh hanya bertumpu pada kekuatan kepolisan dan militer. Kekuatan berbasis hard power (kekuatan berbasis keras) tidak boleh berjalan sendiri. Akan tetapi, penggunaan soft power (kekuatan berbasis lunak) akan sangat penting dalam menghadapi permasalahan terorisme, misalnya memberikan ruang kepada kementerian dan lembaga non-militer atau non-kepolisian, agar bisa ikut terlibat bersama merumuskan permasaalhan dan penanganan permasalahan, sebagai contoh akan menghasilkan regulasi dan peraturan yang kuat dan tersinkronisasi untuk menghadapi permasalahan terorisme. (Center for Strategic Research, 2017) Instrumen-instrumen hard power dan soft power tersebut harus di kolaborasi dalam BNPT, sehingga fungsi BNPT seperti di Indonesia bisa lebih maksimal, efektif dan efisien

Keempat, negara perlu meningkatkan kadar ketahanan nasional terhadap pengaruh asing yang ingin menyebarkan paham-paham radikal. Paham-paham radikal ini yang nantinya akan menjadi dasar berpikir bagi beragam aksi teror di masyarakat. Berbagai taktik intelijen negara perlu untuk semakin diperkuat, mulai dari penelusuran dana asing yang masuk ke Indonesia, infiltrasi ke kelompok-kelompok yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme sampai dengan perumusan dasar hukum yang menyeluruh dari pelacakan, penangkapan sampai dengan penghukuman para teroris. (Behr, 2004) Penguatan barisan pertahanan negara juga diperlukan dalam hal ini, terutama dalam soal koordinasi dari berbagai angkatan perang, maupun rakyat sipil.

Peran Masyarakat

Keadaan dalam lingkungan masyarakat menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam perkembangan terorisme. Keadaan masyarakat yang semakin apatis dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar telah mempermudah berkembangnya kelompok radikal teroris. (Wakeland, 2017) Perkembangan zaman, khususnya di kota metropolitan, telah mengerus kepedulian sosial masyarakat terhadap lingkungan sekitar, sehingga hilangnya kontrol sosial dari masyarakat terhadap perkembangan dan pembentukan lingkungan sekitar mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan langkah-langkah dan upaya untuk memafaatkan masyarakat sebagai aktor untuk mencegah dan membatasi perkembangan terorisme.

Pertama, sosialisasi mengenai pengertian dan bahaya terorisme kepada masyarakat sangat diperlukan. Kita harus memastikan masyarakat kita mempunyai pengetahuan yang baik terhadap terorisme, karena masyarakat merupakan barisan depan yang akan berhadapan dengan kelompok teroris dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melihat langsung atau berinteraksi langsung dengan para teroris yang mungkin mereka tidak sadari atau mungkin mereka mengabaikanya. Disamping itu juga harus memastikan, bahwa masyarakat memahami dengan baik mengenai ciri-ciri dan potensi individu atau kelompok yang mengarah ke radikal dan tertutup. Apabila fungsi dari masyarakat ini bisa berfungsi dengan maksimal, maka pencegahan dan penanganan dini terhadap terorisme bisa langsung dilakukan sedini mungkin. Akan tetapi, tantangan terbesar bagi masyarakat metropolis adalah bagaimana meningkatkan kesadaran mereka tentang lingkungan sekitar dan mendorong mereka tidak menjadi apatis.

Kedua, pada tatanan sosial, kita juga tidak dapat mengingkari peranan dari keluarga sebagai alat utama pencengahan terorisme. Umumnya, seperti yang terjadi di Timur Tengah, Eropa, Amerika, maupun di Indonesia sendiri, pelaku teroris kebanyakan adalah para anak muda. Ketika dikonfirmasi ke keluarga mereka, umumnya pihak keluarga terkejut dan tidak menduga anak mereka menjadi bagian dari kelompok teroris. Disini dapat dipahami bahwa kontrol atau pengawasan dari keluarga sangat lemah terhadap anak mereka. Keluarga sendiri merupakan garda paling terdepan yang harus berhadapan dengan teroris. Jadi, masyarakat harus di edukasi dengan menyeluruh mengenai terorisme, sehingga mereka akan mengontrol dan mengawasi permasalahan terorisme dari level keluarga mereka sendiri terlebih dahulu. Kampanye dan sosialiasi kepada keluarga atau masyarakat umum sangat penting untuk dilakukan.

Ketiga, ini juga salah satu yang terpenting, yakni membongkar ketidakadilan struktural yang bercokol di masyarakat. Ketidakadilan struktural membuat orang tidak bisa keluar dari garis kemiskinan, walaupun ia telah berusaha keras. Yang terjadi kemudian adalah pembentukan strata sosial yang sangat susah dirubah, sehingga melahirkan kecemburuan sosial. Hal ini juga mengakibatkan sulitnya menaikkan level strata sosial dari kelompok dengan kesejahteraan rendah, sekaligus juga menciptakan kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kesenjangan sosial tersebut menjelma menjadi struktur kokoh yang tidak bisa tersentuh. Keadaan penuh tegangan dan prasangka ini adalah tempat subur bagi berkembangnya paham-paham radikal, dan gerakan-gerakan terorisme.

Peran Aspek Ekonomi dan Pendidikan

Kelompok-kelompok terorisme nampak semakin gencar dalam mengembangkan sayap dan jaringan mereka dengan cara perekrutan anggota-anggota baru, contohnya seperti ISIS. Ironinya, anak muda menjadi kelompok penyumbang terbesar dalam anggota terorisme. (Bizina and Gray, 2014)  Kebanyakan bom bunuh diri dilakukan oleh anak muda. Ketika kita menelusuri tentang latar belakang para anggota terorisme, khususnya anak muda, mereka umumnya mempunyai permasalahan ekonomi dan lemahnya pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama. Keterbatasan  pemahaman terhadap ajaran agama bukanlah satu-satunya alasan. Selalu ada faktor sosial ekonomi yang juga berperan. Oleh karena itu, sangat di perlukan langkah terkait isu sosial ini.

Pertama, sangat diperlukan upaya untuk mencegah kemiskinan dan mendorong kesejahteraan masyarakat. Ketika pemerintah dan juga masyarakat tidak hadir dan ikut terlibat dalam mendorong perbaikan ekonomi, atau kesejahteraan terhadap kelompok-kelompok atau individu tertentu, maka yang akan terjadi adalah kekecewaan sosial dari mereka. Ini menjadi celah masuknya kelompok terorisme untuk merekrut mereka menjadi anggota teroris. Kita bisa melihat ketika ISIS menggunakan strategi dengan menjanjikan bayaran yang tinggi bagi anggota mereka yang ikut berperang. Jadi, keterpurukan eknomi bisa membuat masyarakat tidak bisa berpikir secara rasional, sehingga paham-paham yang menyimpang bisa dengan mudah dimasukkan. (Bizina and Gray, 2003)  Peningkatan kesejahteraan sangat penting untuk dilakukan.

Kedua, pendidikan merupakan kunci utama dalam penanganan terorisme. (Bizina and Gray, 2013)  Setiap negara harus menempatkan pendidikan sebagai cara paling dasar dan kuat dalam menangkal perkembangan terorisme. Para individu yang memutuskan bergabung dengan kelompok terorisme hampir pasti memiliki keterbatasan pendidikan, baik lemahnya pendidikan formal maupun sempitnya pendidikan agama yang mereka pahami. Negara seperti Indonesia perlu mengubah metode dan paradigma pendidikan yang selama ini ada. Pendidikan yang mengedepankan kepatuhan buta dan hafalan mati harus dibuang jauh-jauh. Pola kuno ini adalah cikal bakal lahirnya pemikiran sempit dan tertutup yang menjadi dasar bagi radikalisme dan terorisme. Pendidikan yang mengedepankan pemikiran kritis dan terbuka untuk berbagai kemungkinan harus dikembangkan sedini mungkin, guna melahirkan generasi yang kreatif dan terbuka pada perbedaan. Pendidikan mengenai pencegahan radikalisasi dan terorisme harus sudah menjadi bagian kurikulum pendidikan di Indonesia sejak dari level sekolah dasar.

Ketiga, para pimpinan negara dan masyarakat juga perlu menjadi teladan bagi masyarakat luas. Keteladanan ini berpijak pada dua hal, yakni sikap kritis pada diri sendiri dan terhadap berbagai paham yang tersebar di masyarakat, serta sikap terbuka di dalam menata hidup bersama yang penuh dengan perbedaan. Pendidikan kritis dan terbuka hanya menjadi omong kosong belaka, jika tidak ada keteladanan nyata dari para pimpinan negara dan masyarakat. Keteladanan semacam inilah yang amat kurang di Indonesia.

Transendensi

Kata transenden juga digunakan untuk menggambarkan pengalaman manusia yang melampaui batas-batas panca indera, serta menyatu dengan alam, maupun Tuhan. Lawan kata darin transenden adalah imanen, yakni sesuatu yang berjangkar pada dunia sehari-hari manusiawi, tanpa hubungan dengan sesuatu yang lebih besar darinya. Konsep transenden juga seringkali dikaitkan dengan “Kebenaran”, “Keabadian” dan “Kebaikan” itu sendiri, terutama di dalam Filsafat Yunani Kuno dan Filsafat Abad Pertengahan Eropa.

Transendensi adalah kunci untuk menangkal terorisme. Kata ini berasal dari bahasa Latin transcendentia, yang berarti melampaui. Kata ini kerap dipergunakan di dalam filsafat, agama maupun teologi untuk menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Tuhan bersifat transenden, karena melampaui manusia yang menjadi ciptaanNya.

Di dalam filsafat, konsep transendensi terkait dengan tindakan melampaui batas-batas yang ada. Kata batas ini memiliki dua makna, yakni batas ruang maupun batas mental. Batas ruang adalah batas wilayah negara tertentu. Batas mental adalah batas wilayah keilmuan. Dalam arti ini, penelitian-penelitian lintas ilmu dapat dikatakan sebagai penelitian yang bersifat transenden.

Dalam hal hubungan sebab akibat, yang transenden dianggap sebagai dasar dari yang imanen. Yang transenden bersifat tak terkondisikan. Ia memungkinan yang imanen untuk hadir, yakni yang terkondisikan. Alam transenden adalah alam yang abadi, sementara alam yang imanen adalah alam yang sementara, dan hanya bisa ada, karena ada alam transenden tersebut.

Di dalam filsafat pengetahuan, transendensi menjadi ciri dari horison atau paradigma yang mendasari pengetahuan manusia. Horison adalah latar belakang yang memungkinkan pengetahuan manusia tercipta dan berkembang. Setiap penelitian ilmiah selalu berdiri di atas horison pemahaman tertentu. Ini berlangsung terus, sampai horison lama tidak lagi mampu menjawab berbagai tantangan yang muncul, sehingga harus mengalami perubahan. (Wattimena, 2008)

Dalam arti inilah transendensi bisa menjadi obat penyembuh penyakit radikalisme dan terorisme. Orang berpikir tidak lagi melulu soal diri, keluarga ataupun kelompoknya, tetapi juga berpikir dari kaca mata keseluruhan. Transendensi juga membutuhkan empati, yakni kemampuan merasakan dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Keduanya merupakan unsur dasar bagi terciptanya kesadaran kosmopolitanisme. (Wattimena, 2017)

Jean-Paul Sartre, pemikir Perancis, melihat transendensi sebagai ciri dasar setiap orang. Orang mampu melampaui dorongan-dorongan alamiahnya, dan bertindak berbeda. Orang mampu memilih hakekat dirinya, sesuai dengan pikiran-pikiran dan tindakannya. Dengan transendensi, orang juga mampu melampaui kepentingan sempitnya, dan berpikir dengan sudut pandang yang lebih luas. (Watimena, 2015)

Kesimpulan

Awal abad 21 ini, berbagai negara sudah mengalami serangan kelompok-kelompok teroris, mulai dari Indonesia, AS, negara-negara Eropa, Australia, Afrika dan juga Timur Tengah. Terorisme akhirnya dapat disimpulkan memiliki dua jenis tujuan. Pertama, terorisme adalah aksi menyebar teror dan ketakutan dengan menggunakan kekerasan fisik maupun mental ke masyarakat luas, kedua, terorisme merupakan sebuah bentuk kegiatan yang bertujuan untuk membuat kekacauan atau kerusakan sehingga menggangu atau merubah sebuah sistem negara yang sudah ada. Aksi terorisme bisa dilakukan oleh negara ataupun kelompok-kelompok masyarakat, yang bisa saja mendapat dukungan negara tertentu. Tujuannya beragam, mulai dari tujuan politis, ideologis maupun religius. Terorisme lahir dari krisis transendensi, yakni ketidakmampuan orang untuk melampaui batas-batas kepentingan sempit diri, keluarga dan kelompoknya. Ia juga lahir dari kegagalan mencintai, kegagalan demokrasi dan kesalahpahaman tentang makna kebenaran. Pendekatan yang komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan, guna menanggulangi permasalahan terorisme. Pendekatan komprehensif harus dilakukan dari tiga level pendekatan, yakni melalui peranan kebijakan dan regulasi pemerintah, peranan masyarakat, dan peranan sosial dalam ekonomi dan pendidikan. Namun, langkah paling mendasar dan jitu adalah dengan membangun pola pikir transendensi, yakni pola pikir yang melampaui sekat-sekat perbedaan, dan menyentuh sudut pandang keseluruhan. Terorisme, yang dibentuk dan dimulai dari provokasi pengetahuan dan pemikiran, harus dilawan pula dengan pengetahuan dan pemikiran.

Biodata Penulis

Reza Alexander Antonius Wattimena (reza.antonius@gmail.com) adalah Penulis dan Peneliti di bidang Filsafat Sosial-Politik, Pengembangan Organisasi dan Kepemimpinan, Filsafat Ilmu Pengetahuan serta Filsafat Timur, Doktor dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München Jerman dengan disertasi berjudul Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung. Sudah menerbitkan beberapa karya dalam bentuk buku, jurnal maupun artikel di surat kabar, seperti Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Filsafat Anti Korupsi (2012), Manager/Filsuf (2017), Tentang Manusia (2016), Zen dan Jalan Pembebasan (2018), Cosmopolitanism (2018) dan sebagainya.

 Bustanul Arifin (bustanul_arifin@president.ac.id) adalah Dosen Program Studi Hubungan Internasional di kampus Universitas Presiden, sekaligus menjabat sebagai Direktur dari lembaga riset President Center for International Studies (PRECIS). Ia juga merupakan salah satu pendiri dari lembaga Lingkar Studi Cendekia (LSC). Menyelesaikan pendidikan S1 dari Universitas Presiden dengan Jurusan Hubungan Internasional dan pendidikan S2 dari Leeds Beckett University, Inggris dengan jurusan yang sama. Arifin fokus di bidang penanganan terorisme dan pemberontakan (counter terrorism and insurgency), serta kajian perdamaian dan konflik.

Daftar Pustaka

Behr, Hartmut, 2004, Entterritoriale Politik: Von den Internationalen Beziehungen zur Netzwerkanalyse. Mit einer Fallstudie zum globalen Terrorismus, VS Verlag.

Bizina, Margarita & Gray, David H., 2014, “Radicalization of Youth as a Growing Concern for Counter-Terrorism Policy”, Global Security Studies, Vol. 5, No. 1 http://www.globalsecuritystudies.com/Bizina%20Youth-AG.pdf

Center on Global Counterterrorism Cooperation, 2013, “The Role of Education in Countering Violent Extremism”, http://globalcenter.org/wp-content/uploads/2013/12/Dec13_Education_Expert_Meeting_Note.pdf

Chomsky, Noam, 2011, How The World Works, Soft Skull Press

Cragin, Kim & Chalk, Peter, 2003, “Terrorism & Development: Using Social and Economic Development to Inhibit a Resurgence of Terrorism”, RAND, California https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/2005/MR1630.pdf

Crelinsten, Ronald, 2014, “Perspective on Counterterrorism: From Stovepipes to a Comprehensive Approach”, Terrorism Research Initiative, Universiteit Leiden, Leiden.

Elter, Andreas, 2007, “Die RAF und die Medien” dalam: Wolfgang Kraushaar (Editor): Die RAF und der linke Terrorismus, Hamburger Edition HIS Verlag, Hamburg 2007.

Strassner, Alexander, 2008, Sozialrevolutionärer Terrorismus: Theorie, Ideologie, Fallbeispiele, Zukunftsszenarien, VS Verlag.

Ministry of Foreign Affairs, Republic of Turkey “The Role of Diplomacy and Soft Power in Combatting Terrorism: Concepts, Fighting Methods and Case Studies”, Center for Strategic Research, http://www.coedat.nato.int/publication/workshop_reports/04-Diplomacy_Soft_Power_Report.pdf

Vltchek, Andre, 2015, Exposing The Lies of The Empire, Badak Merah

Vltchek, Andre dan Chomsky, Noam, 2017, On Western Terrorism: From Hiroshima to Drone Warfare, Pluto Press.

Wattimena, Reza A.A., 2010, Bangsa pengumbar hasrat: Dari Filsafat Anti-Gosip sampai dengan Kaderisasi Terorisme, Rembang.

Wattimena, Reza A.A., Terorisme dan Kegagalan Demokrasi dalam Rumah Filsafat https://rumahfilsafat.com/2010/03/19/terorisme-dan-kegagalan-demokrasi/ diakses 8 Mei 2017.

Wattimena, Reza A.A., 2016, Demokrasi: Dasar Filosofis dan Tantangannya, Kanisius.

Wattimena, Reza A.A, 2017, Manager/Filsuf: Mengelola Bisnis dan Dunia dari Sudut Pandang Filsafati, Ledalero.

Wattimena, Reza A.A., 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius.

Wattimena, Reza A.A., 2008, Filsafat dan Sains, Grasindo.

Wattimena, Reza A.A., 2015, Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Kanisius.

Wattimena, Reza A.A., 2015, Bahagia: Kenapa Tidak? Maharsa.

Wattimena, Reza A.A., 2017, “Wake Up and Live: Cosmopolitanism in Oriental Worldview”, Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Parahyangan, 2017.

Website:

Wattimena, Reza A.A., Deradikalisasi, Keterbukaan dan Manusia Pembelajar, dalam Rumah Filsafat https://rumahfilsafat.com/2017/04/29/deradikalisasi-keterbukaan-dan-manusia-pembelajar/ diakses 8 Mei 2017.

Wattimena, Reza A.A., Terorisme dan Cinta yang Gagal, https://rumahfilsafat.com/2010/10/13/terorisme-dan-cinta-yang-gagal/ diakses 8 Mei 2017.

Wattimena, Reza A.A., Filsafat, Terorisme dan Kebenaran dalam  https://rumahfilsafat.com/2009/09/21/filsafat-terorisme-dan-kebenaran/ diakses 8 Mei 2017.

Wattimena, Reza A.A., Terorisme dan Transendensi, https://rumahfilsafat.com/2017/05/08/terorisme-dan-transendensi/ pada 26 Mei 2017

Wakeland, Wayne, “Dynamic Models of a Counterterrorism: Strategic Influence Campaign”, Portland State University https://www.pdx.edu/sysc/sites/www.pdx.edu.sysc/files/ISDC2010UM.pdf

http://www.bpb.de/geschichte/deutsche-geschichte/geschichte-der-raf/49218/definition-von-terrorismus?p=all diakses 8 Mei 2017.

http://www.cuttingedge.org/Bali_Bomb_Blast_Diagram.gif pada 26 Mei 2017.

http://www.straitstimes.com/asia/se-asia/explosions-heard-in-east-jakarta-body-parts-spotted-at-the-scene pada 26 Mei 2017

https://www.juancole.com/2012/06/graphs-of-death-us-drone-strkes-visualized-serle.html 26 Mei 2017

Versi lengkap tulisan ini, beserta dengan tabel dan grafik, bisa diperoleh di: Melampaui Terorisme

   

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Melampaui Terorisme: Pendekatan Komprehensif untuk Memahami dan Menangkal Terorisme”

  1. Mengacu pada konsep transendensi diatas yaitu mestinya manusia dapat melampaui kepentingan pribadinya, dengan “menyatu dengan alam, maupun Tuhan”, bersikap “tidak lagi melulu soal diri, keluarga ataupun kelompoknya” dan “juga berpikir dari kaca mata keseluruhan”. Hal tersebut “membutuhkan empati, yakni kemampuan merasakan dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain”.

    Jika mestinya demikian, bukannya kebanyakan dari kita masih jauh dari transenden? jika isu yang diangkat misalnya Tragedi ’65, penembakan Trisakti, Tragedi Talangsari, kasus Munir, bahkan kasus penggusuran2, juga pengusiran terstruktur atas nama pembangunan, terutama di wilayah masyarakat pertanian?

    Nah ini jadinya bagaimana, kalau misalnya mereka yang pikirannya sempit, tidak empati terhadap kasus2 diatas, apalagi mengiyakan secara tidak langsung atas penggusuran2 misalnya, yang cirinya kebanyakan ada di masyarakat perkotaan yang mencari posisi aman sehingga tidak mau bersoal dengan kasus2 diatas, dan kemudian parahnya tiba2 menuduh salah satu kelompok identitas sebagai orang2 yang tidak transenden, padahal mereka juga tidak transenden, hanya saja dalam persoalan kasus lainnya???

    Sebenarnya apa yang terjadi di dalam ada atau tidaknya transendensi bila untuk satu kasus sangat diperlukan bagi sebuah kelompok, tapi tiba2 hilang dan tidak dibicarakan lagi untuk seluruh masyarakat kita?

    Disukai oleh 1 orang

  2. Mengacu pada konsep transendensi diatas yaitu mestinya manusia dapat melampaui kepentingan pribadinya, dengan “menyatu dengan alam, maupun Tuhan”, bersikap “tidak lagi melulu soal diri, keluarga ataupun kelompoknya” dan “juga berpikir dari kaca mata keseluruhan”. Hal tersebut “membutuhkan empati, yakni kemampuan merasakan dan melihat dunia dari sudut pandang orang lain”.

    Jika mestinya demikian, bukannya kebanyakan dari kita masih jauh dari transenden? jika isu yang diangkat misalnya Tragedi ’65, penembakan Trisakti, Tragedi Talangsari, kasus Munir, bahkan kasus penggusuran2, juga pengusiran terstruktur atas nama pembangunan, terutama di wilayah masyarakat pertanian?

    Nah ini jadinya bagaimana, kalau misalnya mereka yang pikirannya sempit, tidak empati terhadap kasus2 diatas, apalagi mengiyakan secara tidak langsung atas penggusuran2 misalnya, yang cirinya kebanyakan ada di masyarakat perkotaan yang mencari posisi aman sehingga tidak mau bersoal dengan kasus2 diatas, dan kemudian parahnya tiba2 menuduh salah satu kelompok identitas sebagai orang2 yang tidak transenden, padahal mereka juga tidak transenden, hanya saja dalam persoalan kasus lainnya???

    Sebenarnya apa yang terjadi di dalam ada atau tidaknya transendensi bila untuk satu kasus sangat diperlukan bagi sebuah kelompok, tapi tiba2 hilang dan tidak dibicarakan lagi untuk seluruh masyarakat kita?

    Suka

  3. sepakat dengan isi tulisan diatas. problem nya sangat komplex dan global untuk di bahas, faktor2 penyebab begitu berkaitan. ada baik nya kita bersama2 mengatasi nya , tanpa nilai dan prasangka.
    bagaimanapun juga jalan keluar nya, toch di mulai dari “nalar sehat dan hati nurani”, walaupun jarak nya gitu jauh kearah tsb.
    banya salam !!

    Suka

  4. kita sebenarnya sudah selalu satu dengan segala yang ada. Hanya kita lupa, dan hidup dalam delusi. Sulit untuk mengubah perilaku orang lain, bahkan hampir tidak mungkin. Lebih baik lakukan apa yang bisa dilakukan dengan bekal pemahaman yang ada.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.