
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Setiap orang yang pernah hidup pasti pernah mengalami penolakan. Bentuknya beragam, mulai dari ditolak cinta sampai dengan ditolak lamaran kerja. Ada penolakan yang berakhir bahagia, yakni ketika orang menemukan jalan untuk membuka peluang baru. Namun, tak sedikit orang yang jatuh ke dalam depresi, kecanduan narkoba bahkan bunuh diri, karena tak mampu mengelola penolakan.
Di dunia politik Indonesia, kita melihat penolakan yang membuat seorang pemikir nasionalis, sekaligus mantan menteri, menjadi gubernur radikal yang dipertanyakan integritas pribadinya. Ia dipecat dari jabatan sebelumnya, karena tak mampu bekerja dengan baik. Akhirnya, ia mengingkari hati nuraninya, serta menjadi bagian dari kelompok radikal dan koruptor. Penolakan bisa mengubah ideologi hidup seseorang.
Satu hal yang pasti, penolakan adalah bagian dari kehidupan. Ia tak terhindarkan. Orang yang terlihat berhasil pun pasti mengalami berbagai penolakan dalam hidupnya. Seninya bukanlah menghindari penolakan, tetapi mengelolanya secara bijaksana.
Mengelola Penolakan
Ada dua hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, kita harus menempatkan penolakan dalam kerangka yang tepat. Penolakan haruslah dimaknai sebagai kesempatan untuk berbenah diri, sekaligus membuka peluang baru. Disini dibutuhkan kepekaan di dalam membaca keadaan.
Satu-satunya kebebasan yang dimiliki manusia adalah kebebasan untuk memaknai setiap peristiwa secara jernih dan kreatif, apapun bentuk peristiwanya. Ini juga berlaku, ketika orang berhadapan dengan penolakan. Kemampuan memberi makna secara jernih dan kreatif ini sudah selalu ada di dalam diri manusia. Ia hanya perlu disadari dan digunakan secara tepat.
Dua, penolakan seringkali membangkitkan emosi merusak di dalam diri. Orang seringkali merasa tak berguna dan tak berharga, ketika dihantam penolakan bertubi-tubi. Emosi ini sungguh menyiksa, sehingga beberapa orang bersedia melakukan apapun untuk mengusirnya. Emosi ini perlu disadari sebagai sesuatu yang sementara: ia datang dan segera berlalu, jika dipeluk dalam kepenuhan kesadaran.
Sebagai manusia, diri kita yang asli bukanlah emosi ataupun pikiran kita. Itu semua bagaikan tamu yang datang dan pergi. Diri kita yang asli adalah kesadaran yang berada di belakang semua emosi dan pikiran tersebut. Ia bersifat tetap, jernih dan damai. Inilah yang perlu dipahami betul, terutama ketika orang menghadapi penolakan yang merangsang berbagai emosi merusak.
Melampaui Penolakan
Di hadapan penolakan, orang perlu melakukan apa yang perlu dilakukan secara jernih dan damai. Mungkin, ia perlu berbenah diri. Mungkin pula, ia perlu melihat kemungkinan lain yang tersedia. Apapun itu, keputusan haruslah dibuat dengan berpijak dari “diri yang asli” (true self) masing-masing pribadi.
Setiap peristiwa mengajarkan sesuatu kepada kita untuk menyelam lebih dalam ke kehidupan. Kita bisa saja menolak untuk belajar. Namun, sesuatu tidak akan selesai, sampai semua pelajaran yang ada sudah dipetik dan dihayati. Inilah kebenaran yang tak lekang ditelan waktu.
Kok pas dengan yg sya alami saat ini pak 😂
SukaSuka
Penolakan itu pengalaman setiap orang..
SukaSuka
Sangat bermanfaat sekali. Jikalau nnati akan terjadi pnolakan” tersbut bisa mengerti bagaimana menyikapinya. Dan hal ap yang harus di lakukan kedepanya.
SukaSuka
Sangat bermanfaat sekali. Jika terjadi hal seperti itu. Bisa mengerti bagaimna mnyikapinya dan hal apa yang harus d lakukan seterusnya
SukaSuka
semoga terbantu. Salam.
SukaSuka
tulisan-tulisan anda sangat baik untuk di pahami pak .. sehat slalu
SukaSuka
Eckhart tolle, consciousness behind the thinker
SukaSuka
terima kasih.. salam..
SukaSuka
Itu pemahaman yang amat penting
SukaSuka