Hukum, Politik dan Pemerintahan Jokowi

catur-jokowi-mega-di-tempo-Foto-via-sociapolitica-Nusantaranews
Nusantara News

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

            Hukuman yang menimpa Ahok (dipenjara dua tahun karena penistaan agama) sungguh menganggu rasa keadilan kita. Tidak hanya Indonesia, berbagai bangsa dan komunitas internasional mengutuk keputusan pengadilan terhadapnya. Pemerintahan Jokowi bersikeras, bahwa hukum tidak boleh dicampur dengan politik. Terkesan ini alasan untuk tidak berbuat apa-apa, walaupun ketidakadilan telah terjadi.

            Hal ini membuat kita berpikir ulang soal hubungan antara hukum dan politik. Pemerintahan Jokowi berpegang pada pandangan, bahwa hukum adalah seperangkat prosedur yang bebas dari campur tangan politik. Bahkan, ketika keputusan hukum sungguh mencerminkan ketidakadilan, tidak ada yang boleh mencampuri urusan hukum. Pendek kata, hukum hanya soal para ahli hukum dan para penegak hukum semata.

Hakekat Politik

            Pengertian politik perlu diperjelas dahulu disini. Politik adalah segala sesuatu terkait dengan pengelolaan hidup bersama, baik di tingkat komunitas kecil, agama, negara ataupun lebih luas. Pengelolaan hidup bersama ini dilakukan dengan berpijak pada nilai-nilai kehidupan yang dianggap berharga di suatu masyarakat. Inilah pengertian sesungguhnya dari politik.

            Jika dipahami seperti ini, pandangan pemerintahan Jokowi jelas salah kaprah. Hukum adalah produk dari proses politik. Di dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia, hukum adalah hasil pembicaraan antara pemerintah, wakil rakyat dan masyarakat luas. Setelah menjadi hukum, ia pun tetap berada dalam kendali maupun pengamatan masyarakat luas.

            Namun, politik pun bisa dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah politik predator, yakni politik untuk mencapai kekuasaan dengan segala cara, bahkan dengan mengabaikan semua norma dan aturan yang berlaku. Pola semacam ini dapat dilihat di Pilkada Jakarta 2017 lalu. Ia menggunakan kekerasan, ancaman, fitnah, kebohongan dan uang untuk mencapai kekuasaan.

            Jika politik predator yang menciptakan dan mengendalikan politik, maka kekacauan adalah buahnya. Rasa keadilan diinjak oleh berbagai keputusan hukum yang kotor dan busuk. Dengan bersikap diam di hadapan ketidakadilan, pemerintahan Jokowi membiarkan politik predator mempengaruhi keputusan hukum. Hasilnya adalah penghinaan besar terhadap rasa keadilan masyarakat luas, baik nasional maupun internasional.

            Yang kedua adalah politik tercerahkan. Politik semacam ini mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan di dalam tata kelola hidup bersama. Ia melawan segala bentuk korupsi dan intoleransi di dalam kehidupan masyarakat. Politik semacam inilah yang seharusnya mengatur hukum, supaya ia tetap sesuai dengan hakekatnya, yakni mewujudkan keadilan.

            Dalam arti ini, hukum haruslah dalam kendali politik. Politik yang ada haruslah dirumuskan sedemikian rupa, sehingga politik predator lenyap, dan politik tercerahkan bisa terbangun. Ini bukan upaya yang mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Banyak negara di abad 21 sudah berhasil melakukan ini. Pemerintahan Jokowi, dengan dukungan seluruh rakyat, perlu belajar menerapkan hal ini dalam kebijakan-kebijakannya.

Moralitas

            Bagaimana supaya politik tercerahkan ini semakin kuat dan menjadi kenyataan di Indonesia? Ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, politik harus ditanam kembali ke moralitas. Namun, moralitas disini bukanlah kepatuhan buta terhadap aturan dan dogma yang sudah ketinggalan jaman, melainkan moralitas yang lahir secara alami dari perasaan kesatuan dengan segala yang ada.

            Pada dasarnya, kita semua adalah warga semesta, bersama semua mahluk hidup lainnya. Secara biologis, kita dibentuk oleh unsur-unsur yang sama. Kita pun memiliki kedudukan setara di dalam alam semesta yang luas tak berhingga ini. Kesadaran akan kesatuan dan kesamaan ini menjadi dasar untuk bersikap adil dan penuh kasih terhadap segala yang ada. Inilah moralitas yang sejati.

            Dua, politik tercerahkan butuh keterlibatan dari rakyat. Kita tidak bisa lagi bersikap tak peduli, hanya asik dengan hidup, karir dan kenikmatan kita sendiri. Ini adalah sikap bodoh yang membiarkan politik predator menguasai ranah politik dan hukum, seperti yang banyak kita saksikan sekarang ini. Hasilnya adalah kehancuran hidup bersama.

            Pemerintahan Jokowi perlu mengubah pandangan mereka tentang hubungan hukum dan politik. Keadilan merupakan tujuan utama dari keberadaan hukum. Hukum yang tak adil bukanlah hukum sama sekali. Sebagai rakyat, kita perlu memberikan dukungan yang diperlukan terhadap pemerintahan Jokowi, supaya politik yang tercerahkan bisa menjadi kenyataan di Indonesia.

Hal ini terlalu penting untuk diabaikan begitu saja.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

20 tanggapan untuk “Hukum, Politik dan Pemerintahan Jokowi”

  1. Susah bro…., selagi masih banyak politisi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan tidak mungkin ada hukum yang betul-betul adil.

    Suka

  2. Kalau menurut saya, silent majority harus mulai bersuara jangan cuek aja menghadapi apa yang sedang terjadi.

    Suka

  3. Setahu saya dulu ada seorang filsuf yang mengatakan hukum itu memang tidak adil karena itu hukum harus ditingkatkan, cuma saya lupa siapa filsuf tersebut.

    Suka

  4. Saya ingin bertanya jika politik harus mengendalikan hukum, lantas mana yang lebih didahulukan, keadilan atau kepastian hukum ? Terima kasih

    Suka

  5. Saya selalu tercerahkab dengan tulisan bapak. Persoalannya kaum yang belum tercerahka n tidak mampu melihat kebaikan dan keadilan

    Suka

  6. Inilah yg terjadi di negara kita sekarang ini pa Reza, Pancasila sbgai fondasi dasar negara ini tercoreng oleh segelintir org yg menginginkan perubahan yg tdk berlandaskan asas kemanusian agar praktek KKN tetap merajalela. Sedih….

    Suka

  7. karya diatas patut direnungkan dalam2. sebagai fazit kita bertanya, apakah indonesia negara hukum ?
    di mana letak kelemahan2 nya ?
    apa yg patut di terapkan agar perlaha n2 indo mengarah ke jurusan hukum yg berlaku untuk setiap warga !
    banya salam !!

    Suka

  8. Apakah betul keadilan milik seorang penguasa. Saya kurang paham dengan makna keadilan, terimakasih. salam…

    Suka

  9. keadilan milik semua mahluk, bukan hanya penguasa. Keadilan itu memberikan apa yang sepantasnya diterima dengan ukuran akal sehat dan hati nurani kepada setiap mahluk.

    Suka

  10. Menurut saya keadilan sama dengan kebenaran, banyak sudut pandang tentang konsep maupun definisinya.
    Apa menurut bapak begitu juga? Kalau ia, sudut pandang yang sebaiknya di jalankan?
    Bukankah panguasa yang akan menjalankan keadilan mereka dan bukankah itu yang kita terima sebagai keadilan?

    Suka

  11. bukankah hukum dicirikan oleh kepastian dan keadilan???? Hukum yg tdak pasti dan yg tdk mau adil bukan hnya hukum yg buruk, ttp memang tdk pntas disebut hukum…..
    kepastian dan keadilan hrs sama2 diperjuangkan pd rnah hukum…. Ciri yg satu tdk boleh mendahului yg lain….. Bgmna Bpk????

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.