Oleh Reza A.A Wattimena
Dua minggu terakhir, beberapa orang datang pada saya. Mereka menceritakan kegagalan yang membawa mereka ke penderitaan. Ada yang menderita soal pekerjaan. Ada yang menderita soal hubungan percintaan. Ada yang menderita, karena tak punya uang. Ada yang menderita, karena bingung kebanyakan uang (mau invest apa?)
Sebagai jalan keluar cepat, ada yang mengundang untuk mabok bersama. Ada juga yang ngajak “kawin”, seolah kawin itu melenyapkan semua penderitaan. Ada yang mengajak traveling keliling Asia (tentu dengan biaya masing-masing).
Akar masalah mereka sama. Harapan dan kenyataan berbeda. Mereka menginginkan sesuatu, namun tak mendapatkannya. Atau sebaliknya, mereka justru mendapatkan apa yang tak mereka inginkan.
Nasihat saya pun selalu sama. Seolah saya mengulang lagu yang sama terus menerus, sampai saya sendiri merasa bosan (apalagi yang mendengar?). Di dalam hati, saya berpikir, mungkin saya perlu bakukan nasihat saya tersebut, supaya bisa jadi semacam rumus manjur anti galau dan anti patah hati. Alhasil jadilah tulisan ini.
Kembali Ke Saat Ini
Pertama, jika pikiran dan emosi kuat melanda, seperti kecewa, marah, takut dan sedih, kita perlu kembali ke saat ini. Apa yang ada di saat ini? Ada suara apa? Apa sensasi yang ada di badan? Apakah ada sesak di dada? Sadari semuanya.
Bisa juga, kita mengamati napas sebagai jangkar untuk kembali ke saat ini. Sejauh pengalaman saya, ada tiga hal yang bisa digunakan, yakni mengamati napas, mendengarkan suara atau merasakan apapun yang terasa di badan. Lakukan ini minimal lima menit.
Semua ini akan membantu anda untuk kembali ke saat ini, dan menemukan kedamaian di tengah penderitaan. Setelah itu, anda bisa melihat masalah dengan lebih jernih dan tenang, sehingga jalan keluar juga bisa terlihat.
Tak Ada Ego
Dua, jika emosi dan pikiran kuat melanda, sadari, bahwa tidak ada “aku” yang mengalaminya. Semua ajaran spiritual dan penelitian ilmiah tentang manusia sudah menegaskan, bahwa “aku”, atau ego, atau “diri”, itu tidak ada. Ia adalah ilusi untuk kepentingan praktis administratif semata. Ia seolah ada, namun sebenarnya tak ada.
Yang tersisa adalah reaksi tubuh dan pikiran atas peristiwa yang terjadi. Marah, takut, benci, dendam dan sedih adalah reaksi-reaksi tubuh atas keadaan. Tak ada inti “aku” di dalamnya. Jika ini disadari, emosi dan pikiran akan datang dan pergi dengan ringan.
Mengamati Secara Obyektif
Tiga, emosi dan pikiran yang kuat bisa juga diamati secara obyektif, yakni dari sudut pandang orang ketiga. Jangan berkata, “Aku sedih.” Cobalah untuk berkata, “Ia sedang sedih”. Dengan cara ini, anda menciptakan jarak dengan pikiran dan emosi yang dirasakan.
Emosi dan pikiran bukanlah milik kita. Ia adalah tanggapan atas keadaan sesuai dengan pola asuh dan pola didik kita sedari kecil. Jika ia menguat dan menciptakan penderitaan, cukup diamati sebagai orang ketiga, yakni sebagai “dia yang mengalami”. Hal ini amat penting di dalam menjaga keseimbangan pikiran dan batin.
Jangan Mengontrol Dunia
Empat, kekecewaan, kemarahan dan kesedihan muncul, karena kita berusaha mengatur apa yang tak bisa diatur. Artinya, kita memaksakan kekuatan kita yang terbatas untuk mengontrol hal-hal yang berada di luar kekuatan kita. Jika ini disadari, maka kita berhenti untuk mengontrol segala sesuatu. Hal ini akan langsung membawa kelegaan.
Apakah anda bisa mengontrol pendapat orang lain? Apakah anda bisa mengontrol perilaku orang lain? Apakah anda bisa mengontrol kematian? Apakah anda bisa mengontrol cuaca? Tentu tidak!
Maka, berhentilah mengontrol dunia. Lakukan apa yang perlu dan bisa dilakukan. Sisanya lepaskan. Biarkan alam bekerja sesuai dengan hukum sebab akibat yang ia punya.
Empat langkah ini saya dapatkan dari Zen yang berkembang dari ajaran Buddha. Secara pribadi, saya menerapkan ini di dalam hidup saya. Terkadang gagal, terkadang berhasil. Namun, setidaknya saya sudah mempunyai metode untuk menanggap berbagai pikiran dan emosi kuat yang akan terjadi. Metode ini sudah berkali-kali menyelamatkan hidup saya.
Semoga bisa menjadi inspirasi di dalam menanggapi hidup yang semakin tak sesuai harapan.
Saya ingin berlangganan bang,
SukaSuka
sepakat!! dalam kehidupan sehari2 kita sering mampu mengerti /melihat kesulitan2 yang dialami / diderita sesama disekitar kita.
hasil untuk menolong mereka yg dalam kesulitan (apapun) umum nya tidak ada. begitu banya alasan untuk tidak mencoba sedikit pun untuk memperbaiki jalan yang salah.
sehingga menurut pendapat saya, cukup kita mengeluarkan pandangan kita dan bersedia menolong.
“hilfe zur selbsthilfe”. umum nya yg bersangkutan tidak bersedia menerima pertolongan.
fazit: kita sendiri yg bertanggung jawab atas diri kita sendiri dgn segala kesulitan. kita sendiri yg mampu menolong diri sendiri untuk keluar dari dilemma.
artikel diatas begitu jitu dan sangat dalam arti, manfaat , sangat menolong. hanya utk dapat memahami, ada baik nya kita baca perlahan2 dengan mata dan hati terbuka.
sangat membantu dalam pikiran kacau, kita mengerjakan pekerjaan yang begitu sederhana, bahkan pekerjaan yang tidak kita senang i, saya yakin, setelah pekerjaan usai kita mengalami “aha”, ini pun jalan setapak untuk kematangan rohani.
setapak demi setapak, kita mengarah ke “nalar sehat dan hati nurani”.
banya salam!!
SukaSuka
Silahkan. Selamat bergabung
SukaSuka
Ambisi itu sendiri ialah ilusi, buat apa mengendalikan ilusi? cukup disadari saja
SukaSuka
Jika ‘aku’ adalah ilusi,apakah ‘aku’ dapat dikendalikan?
SukaSuka
Kok fto artikelnya mirip bapak ya 😀
SukaSuka
Terima kasih
empat jalan menuju empat hal kebenaran yang mulia
Semoga semakin tercerahkan
Amithaba
SukaSuka
Terima kasih. Saya setuju, kita membantu orang untuk menolong dirinya sendiri. Hanya itu yang terbaik bisa dilakukan. Salam hangat
SukaSuka
begitulah.. sepakat
SukaSuka
Tidak…
SukaSuka
Benar juga ya. Ada seorang teman yang bilang begitu..
SukaSuka
Terima kasih. Salam.
SukaSuka
Tadinya saya pikir foto di artikel itu bapak pakai jubah 😃.
Setuju dengan artikel bapak.
SukaSuka
hhahahhaa.. mungkin suatu hari nanti
SukaSuka