Tentang Ego yang Tak (Pernah) Ada

Peter Gric, “Dissolution of Ego IV”

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Ada dua misteri semesta yang masih menjadi pergulatan para ilmuwan. Yang pertama adalah hakekat dari alam semesta, termasuk seberapa besar dan unsur-unsur apa saja yang menyusunnya. Yang kedua adalah hakekat dari diri, atau ego, termasuk eksistensi dan unsur-unsur pembentuknya. Yang kedua ini lebih menarik untuk diperhatikan.

Sejarah “Ego”

Penyelidikan tentang ego sudah lama berlangsung di dalam sejarah pemikiran manusia. Pemikiran Jawa kuno, misalnya, membedakan antara ego kecil dan ego besar. Ego kecil adalah bentukan sosial, yakni hasil dari hubungan dengan keluarga dan masyarakat secara luas. Ego besar adalah energi semesta yang sudah selalu ada, dan menjadi sumber dari kebijaksanaan hidup yang tertinggi.

Pemikiran Eropa, terutama psikoanalisis Sigmund Freud, mencoba membagi ego ke dalam tiga unsur, yakni id, ego dan superego. Id adalah dorongan-dorongan liar manusia, termasuk di dalamnya hasrat dan keinginan yang tak rasional. Ego adalah unsur pembuat keputusan dan pertimbangan. Superego adalah kumpulan ajaran moral dari masyarakat yang mengatur perilaku maupun keputusan seseorang.

Freud juga menekankan, bahwa ego yang sadar hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan ego itu sendiri. Sebagian besar pribadi manusia terdiri dari unsur ketidaksadaran (Unbewusstsein) yang justru amat mempengaruh cara berpikir dan perilakunya. Pandangan ini dilanjutkan oleh Carl Gustav Jung di tingkat sosial, yakni dengan merumuskan konsep ketidaksadaran kolektif (kollektives Unbewusstsein). Pandangan Freud dan Jung masih menjadi acuan di dalam melakukan terapi psikoanalisis sekaligus analisis sosial sekarang ini.

Eksistensi Ego

Di dalam kebijaksanaan Timur, ego dianggap ilusi. Ia tidaklah ada. Ego, sebagai bentukan sosial, adalah hasil dari kesalahan berpikir yang berkembang menjadi kebiasaan. Ilusi yang terus dipercaya akan seolah menjadi kenyataan yang tak bisa disanggah.

Apa yang disebut sebagai “diri” atau ego adalah kumpulan dari berbagai unsur yang terpisah, seperti tubuh dan pikiran. Tubuh sendiri bukanlah satu kesatuan, melainkan juga kumpulan dari organ, darah, tulang dan saraf. Pikiran juga merupakan hasil pembiasaan sosial (social conditioning) dalam hubungan dengan keluarga dan masyarakat. Perpaduan dari semua ini membentuk ego yang tanpa inti, tanpa esensi.

Pandangan ini juga didukung oleh penelitian neurosains. Beberapa pemikir besar, seperti Thomas Metzinger dari Jerman, Anil Seth dari Inggris dan Daniel Dennet dari Amerika Serikat, telah melakukan penelitian mendalam soal ego dari sudut pandang filsafat dan neurosains. Mereka sampai pada kesimpulan serupa, bahwa ego itu hanya bentukan yang tidak mempunyai inti nyata. Ego itu seperti asap atau bayangan.

Untuk Hidup Kita

Apa implikasi dari beragam teori dan hasil penelitian yang sudah sedikit disinggung sebelumnya? Jika ego tidak ada, maka pikiran dan emosi yang dialami adalah tanpa inti. Mereka semua kosong. Mereka datang dan pergi, seperti asap.

Berbagai masalah muncul, karena orang mempercayai pikiran dan emosi yang mereka rasakan. Mereka mengira, itu semua adalah kebenaran. Padahal, keduanya adalah tanpa inti dan tanpa esensi. Bentuk dasar dari keduanya adalah kosong dan ilusif.

Jika orang paham, bahwa pikiran dan emosinya adalah ilusi, maka masalah tidak lagi menjadi berat. Penderitaan yang dirasakan juga tidak lagi menjadi berat dan panjang. Semuanya hanya akan menjadi tamu yang numpang lewat, dan akan segera pergi. Hidup pun akan jauh dari penderitaan batin yang tak perlu.

Ini kiranya sesuai dengan pandangan dari kebijaksanaan Timur, terutama ajaran Buddha. Ego, dari sudut pandang Buddha, adalah sumber penderitaan. Dengan ego, orang melihat dunia melulu dari sudut pandang kepentingan dirinya. Ambisi, nafsu dan keserakahan lalu muncul tak terkendali. Padahal, ini semua adalah upaya yang sia-sia, karena ego, sesungguhnya, tak pernah ada (Anatta).

Kesadaran akan tidak adanya ego membuat segala sesuatu menjadi ringan. Pikiran dan emosi tidak lagi menekan begitu kuat. Penderitaan datang dan pergi dengan cepat. Depresi dan beragam penyakit pikiran lainnya pun tak lagi muncul dan berkembang. Ketika ego disadari sebagai tidak ada, maka kesadaran semesta di dalam diri akan secara alami tumbuh. Kesadaran semesta inilah sumber kebijaksanaan tertinggi yang bisa disadari oleh manusia.

Ketika ini dialami, maka kesehatan mental dan kedamaian batin adalah buahnya. Orang menjadi sepenuhnya rileks di dalam menjalani hidupnya, tanpa terjatuh ke dalam kemalasan dan sikap tak peduli. Inilah kunci terdalam perdamaian dunia yang bergerak lebih mendasar daripada berbagai dialog dan kebijakan politik di tingkat global. Kesadaran akan ketiadaan ego bisa menggiring orang pada kedamaian batin dan perdamaian dunia.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

16 tanggapan untuk “Tentang Ego yang Tak (Pernah) Ada”

  1. saya jadi tertawa sendiri, separuh pertama penerangan diatas (freud, jung dkk) saya sama sekali tidak mengerti , tidak ada minat untuk mendalami nya, terlalu ruwet untuk orang awam.
    tetapi penerangan lanjut nya, saya langsung ngerti dan gitu sepakat.
    pengertian “ego” dari segi “ketimuran” jauh lebih mudah ditangkap, saya alami sendiri.
    fazit kata2/kalimat terachir sangat tepat penerangan nya. itu yang saya alami dan saya jalan kan.

    Suka

  2. mit einem satz, ego ist nur vorstellung und konzept.
    gut , wenn wir ego haben aber nicht dran festklammern, so eine art eine selbstbeobachtung vor einem spiegel und laut lachen , wenn wir uns einiges erkennen und ertappen, dass wir eigentlich ein “nichts” ist, mehr gibt es nicht. vielleicht ist hier gemeint “form ist leere/ leere ist form” (????)
    viele grüsse !!

    Suka

  3. Memang benar bahwa ego adalah sumber dari semua penderitaan kita karena kita selalu memiliki keputusan terakhir dalam cara kita berpikir dan merasakan. Namun itu bukan hanya penyebab rasa sakit seseorang; sebagai ‘rasa’ dari ‘diri’ kita, itu adalah kunci dari kepuasan dan kebahagiaan kita yang ditemukan.Definisi inti dari ego bahwa ‘aku-an’.yang berarti semua pikiran, keyakinan, ingatan, dan emosi kita – baik ‘baik’ dan ‘buruk’ – ditangkap di dalamnya. Selain itu, neurologi yang terletak di dalam otak-tubuh kita, termasuk di dalam usus dan hati kita, tidak menghasilkan kesadaran kita, tetapi merancang dan menariknya dari kesadarannya sendiri. Walaupun ada beberapa ajaran yang menyarankan kita harus ‘mengatasi ego kita’, atau melakukan kematian ego. Menurut hemat saya Ini salah arah dan tidak membantu. Secara harfiah tidak mungkin saat menjadi manusia.ego buat saya di jadikan alat pertahanan ( ego defense mechanisme ) pada waktu yang tepat

    Suka

  4. Maaf, apakah buku dengan judul Tentang Manusia masih tesedia dalam versi cetak? saya sudah mencoba mengirim email tetapi belum mendapat balasan, email pertama saya kirim mungkin sudah hampir setahun yang lalu & tanggal 5 april kemarin. masih berharap punya versi cetaknya.. 😪

    Suka

  5. es fühlt sich wie ein triumph, wenn man bewusst ist, was “ego” eigentlich ist. wenn wir in der lage”ego” klein zu halten, fühlen wir uns innerlich gestärkt und auf diesem wege kommen wir ” im leben” schritt für schritt voran .
    oft beobachten wir wie “unser umfeld”sich mit “ego” umgeht , und wir lächeln und uns herrlich amüsieren auch ohne worte.
    womöglich andere mitmenschen uns bei der gelegenheit beobachten und halten uns mit unserem verhalten für verrückt.
    fazit: wir sehen solche phänomene in den alten zen-geschichten.
    noch eins was ich so gerne hier hinzufügen.
    auch texte von oldies könnten uns helfen, unser weg zu finden.
    ich bitte um entschuligung, das kommentar nicht auf indonedisch zu schreiben, da mir der wortschatz sehr dürftig ist.
    sorry !!

    Suka

  6. Ja. Ich verstehe. Es fühlt sich wie eine reine Freiheit, wenn wir bewusst sind, dass Ego eigentlich eine Illussion ist. Texte können natürlich uns in Zen-Weg helfen. Aber wir müssen die Texte am Ende verlassen, damit wir die Bedeutung des Zens wirklich begreifen und erleben können. Alles in Ordnung. Keine Sorge.

    Suka

  7. Jika ego tidak pernah ada, kenapa masih ada keserakan dan kebencian?
    Jika ego tidak pernah ada, kenapa manusia sibuk mencari harta, tahta, dan haus akan cinta?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.