Heidegger, “Ada” dan Utopia

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Ilmu pengetahuan modern lahir dari rahim filsafat. Filsafat sendiri dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk memahami segala yang ada secara kritis, rasional dan sistematik. Buah dari filsafat adalah pengetahuan tentang kehidupan. Walaupun begitu, menurut Martin Heidegger, filsafat haruslah bergerak lebih dalam dengan mempertanyakan dasar dari keberadaan segala sesuatu itu sendiri, atau yang disebutnya sebagai “Ada” (Sein).

Filsafat berkembang melalui pertanyaan tentang alam. Inilah yang disebut sebagai kosmosentrisme. Alam menjadi obyek utama berbagai diskusi dan refleksi filosofis. Inilah akar dari ilmu fisika modern, sebagaimana dipahami sekarang ini. Walaupun begitu, alam adalah bagian dari Ada, dan bukan merupakan Ada itu sendiri.

Filsafat pun mengalihkan pertanyaan ke arah Tuhan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Teosentrisme. Tuhan menjadi obyek kajian dan renungan filosofis. Walaupun begitu, ketika Tuhan disempitkan menjadi semata konsep, maka ia pun bukan merupakan Ada yang merupakan dasar dari keberadaan itu sendiri.

Masa berikutnya ditandai dengan pergulatan tentang manusia. Filsafat pun memasuki masa antroposentrisme. Manusia menjadi titik tolak dari renungan dan kajian filosofis. Namun, manusia pun merupakan bagian dari Ada, dan bukan Ada itu sendiri.

Heidegger menyebut filsafat yang gagal memahami Ada ini sebagai Seinsvergessenheit, atau kelupaan akan Ada. Filsafat mencoba mendekati dasar dari kenyataan, namun gagal, karena terjebak hanya pada unsur-unsur dari kenyataan itu sendiri. Filsafat sibuk pada permukaan, dan lupa pada inti. Maka dari itu, Heidegger mencoba mengarahkan kembali filsafat pada apa yang sungguh penting, yakni Ada sebagai dasar dari keberadaan itu sendiri.

Walaupun begitu, sejauh saya amati, Heidegger pun jatuh pada salah kaprah baru. Ia menyamakan Ada sebagai dasar dari keberadaaan yang bisa didekati melalui manusia, bahasa dan pikiran. Ada pun lalu kembali menjadi konsep dan bahasa. Ini berarti Ada kembali disempitkan pada sesuatu yang bukan-Ada.

Pendek kata, Heidegger jatuh pada apa yang menjadi kritiknya sendiri terhadap filsafat. Ini memang penyakit yang lumrah ditemukan di kalangan filsuf. Contoh paling klasik adalah kritik Immanuel Kant terhadap metafisika tradisional yang justru melahirkan metafisika baru. Walaupun begitu, perkembangan dan perubahan di dalam filsafat justru terjadi, karena hal ini.

Lalu bagaimana dengan Ada itu sendiri? Ada itu, menurut saya, adalah utopia. Dalam arti ini, utopia berarti “tanpa tempat”. Ia tidak ada dalam bahasa ataupun pikiran, karena ia justru menjadi dasar dari bahasa ataupun pikiran itu sendiri.

Ada itu haruslah dicerap dalam keseluruhannya. Ia merupakan pengalaman langsung serentak dengan dunia sebagai keseluruhan. Ketika dikurung dalam konsep dan bahasa, ia kehilangan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Ada harus dibiarkan “ada”.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

30 tanggapan untuk “Heidegger, “Ada” dan Utopia”

  1. Mau bertanya mas bro.
    1. Apakah Ada itu wajib ada atau sekedar Ada saja, atau tidak perlu ada.?
    2. Sebelum Ada itu ada.
    Apakah itu?

    Suka

  2. menurut hemat saya kosmosentrisme antroposentrise dan Teosentrisme bergerak secara pelan atau protopia ke arah kosmosophi, antroposophi dan teosophi dan biarkan semua itu ada seperti apa adanya sebagai bagian dari ada itu sendiri

    Suka

  3. heidegger’s “ada” ist mir zu hoch. ein thema mit sieben siegeln ich habe den artikel nicht verstanden. ich bin nur “ada”, einfach so entstanden und führe den alltag möglichst mit achsamkeit und nichts denken.
    ein frohes osterfest und lieben gruss!!

    Suka

  4. Sein als Begriff ist ein bisschen kompliziert. Aber die Bedeutung ist eingentlich einfach, Sein als die Grundlage der Existenz. Es ist kein Begriff und existiert bevor Begrriffe und Sprache. Ein frohes Osterfest ebenso.. Achtsamkeit ist natürlich immer der Besteg Weg, ein Leben zu führen..

    Suka

  5. setelah membaca karya2 dan komentar2 berulang2 juga yg lampau, perlahan2 saya berpendapat (so unpräzise nur “umrisse”), ada baiknya kita mengenal “utopia”, walau kita yakin, itu tak mungkin terwujud, untuk setidak2 nya mengkoreksi keadaan / jalan yg salah.
    hoffentlich drücke ich richtig aus, damit keine missvertändnisse entstehen. also einfach “utopia” nur als weit entfernte vorstellung und konsept (????), die wir leicht wieder loslassen nur, um den “holzweg” etwas zum “grünen zweig” umzuwandeln.
    es ist sehr interessant schliesslich festzustellen, die “vereinbarkeit” des “zen-lebens”mit “utopia” , und jedoch an nichts festhalten.
    frage : wo führt diese einstellung hin ?
    dann kommen wir zurück zum anfang, wir wissen gar nichts, also anfängergeist.
    es ist ein bedürfnis für mich schon , den inhalt der themen und die ganzen kommentare mehrfach zu lesen. es tut gut und hoffentlich hilft etwas, also doch keine verlorene zeit sich damit kritisch zu beschäftigen.
    viele grüsse aus der ferne !!

    Suka

  6. schon das wort “zen-denken” ist mit höchster vorsicht zu geniessen. ich bin mir nicht sicher , ob den begriff gibt. es ist wirklich schwierig punkt genau auszudrücken.

    Suka

  7. Utopia ist eigentlich wichtig als ein Ziel, eine Orientierung des Lebens. Aber natürlich müssen wir keine Anhaftung für dieses Ziel besitzen. Viele Dank für das Teilnehmen in dieser Website. Alles gute.

    Suka

  8. Sebelum ada itu ada. Apakah itu?
    Pertanyaan bagus dan belum terjawab logis oleh penulis.
    Akhirnya, “ada” itu hakikatnya tidak ada selain Dia yang “Maha ada”. Sama halnya tidak akan pernah ada itu utopia karena paradoks baik dan buruk adalah keniscayaan dalam kehidupan, makanya ada distopia.
    Kecuali utopia itu di dalam diri masing2 dan di surga kelak, sy sepakat.

    Sehat Semua!

    Suka

  9. pak mau nanya, saya masih binggung mengenai ada, apakah ada itu harus terikat ruang dan waktu dan mesti di tangkap oleh pengetahuan atau ada hanya sebuah simbol akan kebenaran yg dianut sesorang untuk menyatakan keberadaan suatu unsur tanpa terikat oleh ruang dan waktu??

    Suka

  10. pak mau nanya, saya masih binggung mengenai ada, apakah ada itu harus terikat ruang dan waktu dan mesti di tangkap oleh pengetahuan atau ada hanya sebuah simbol akan kebenaran yg dianut sesorang untuk menyatakan keberadaan suatu unsur tanpa terikat oleh ruang dan waktu??

    Suka

  11. Diluar kesadaran, apakah itu konsep benar atau salah, hitam dan putih dan utopia protopia distopia lain lainnya , pada hemat saya , bqhea saya akan segera menemukan bahwa segala sesuatu di luar kesadaran adalah warna abu-abu di otak saya ….

    Suka

  12. Jika demikian, maka manusia tidak akan bisa menemukan “Ada”, sebab alat manusia mendekatinya adalah konsep atau bahasa.

    Suka

  13. setelah saya baca thema “ada” dan semua komentar berulang kali.
    saya hanya bertanya: apa maksud /mau heidegger dgn “ada “.
    dan apa yg diterangan bung mena ??
    achir nya samar2, mungkin “ada” ialah semua mahluk yg bernyawa dan bernapas. “ada”=”kehidupan”( dlm bentuk apa pun ).
    sbb kalau tubuh kita tidak bernyawa / bernapas, kita tidak “ada”.
    saya tunggu komentar lain.
    banya salam !

    Suka

  14. indah.
    boleh kasih tambahan yang selalu “nyangkut” di otak saya? kanapa hanya Ya dan Tidak? kenapa hanya 0 dan 1? apakah “ada” yang diantara mereka? dan kenapa kita cuma tau pilihan itu? apa karena kita hanya di berikan pilihan itu supaya terus-menerus di dalam putaran/loop yang sama? bak salju dalam gelas kaca?

    – trims

    Suka

  15. Luar biasa penjelasan dasar yang paling sederhana tentang ada, kalau disederhanakan lagi jadi tidak ada penjelasan tentang “ada”. Saya setuju

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.