Peduli

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Rasa peduli rupanya menjadi barang langka di dunia sekarang ini. Orang hanya hidup untuk kepuasaan dirinya semata. Kepentingan orang lain dikorbankan, tanpa rasa salah. Alam pun rusak, karena manusia memeras alam, demi kepuasan dirinya semata.

Rasa Peduli

Padahal, seperti dikatakan oleh Martin Heidegger, filsuf Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Sein und Zeit, rasa peduli (Sorge) adalah hubungan dasariah antara manusia dengan dunianya. Manusia hidup di dalam dunia yang tak ia pilih. Ia “terlempar”, begitu kata Heidegger. Mutu hidup manusia ditentukan dari sejauh mana ia mampu mengembangkan rasa peduli ini di dalam hubungannya dengan dunia.

Rasa peduli juga didasari oleh empati. Empati, dalam arti ini, adalah kemampuan manusia untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Rasa peduli bergerak lebih jauh dengan memikirkan apa yang menjadi kebutuhan orang lain, dan tindakan nyata apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sebenarnya, rasa peduli amatlah penting di dalam hidup bersama. Solidaritas juga tumbuh dari rasa peduli ini. Sayangnya, di berbagai bidang kehidupan, kita menyaksikan krisis rasa peduli. Krisis ini lalu menjadi sumber bagi beragam krisis lainnya.

Krisis Rasa Peduli

Di bidang politik, kita menyaksikan banyak politisi busuk dan korup. Kepala daerah yang terbukti melakukan korupsi. Bahkan, ketua lembaga yang mewakili kepentingan rakyat pun terjebak di dalam dugaan korupsi raksasa. Begitu banyaknya politisi tanpa rasa peduli inilah yang membuat masyarakat curiga pada dunia politik sebagai keseluruhan.

Padahal, kepedulian adalah inti dari politik di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia. Rakyat memiliki para wakil dan pemimpinnya, karena mereka dianggap peduli pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dalam arti ini, pemimpin publik berarti pelayan publik. Rasa peduli adalah bagian yang amat penting di dalam pelayanan.

Hal yang sama dapat ditemukan di bidang bisnis. Orang dibutakan oleh uang dan kenikmatan yang datang dari uang tersebut. Segala hal pun dilakukan, termasuk merugikan pekerja dan masyarakat secara umum, guna mendapatkan keuntungan sebesar mungkin. Hidup mereka dibimbing oleh hasrat kerakusan.

Ini tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam membangun bisnis yang bermutu, menguntungkan dan berkelanjutan. Markus Vogt, di dalam bukunya yang berjudul Prinzip Nachhaltigkeit: Ein Entwurf aus theologisch-ethischer Perspektive, menegaskan pentingnya nilai-nilai yang dibalut di dalam rasa peduli untuk mengembangkan organisasi di dalam berbagai bentuknya. Pembangunan yang berkelanjutan (nachhaltige Entwicklung), demikian katanya, berpijak pada dua hal, yakni solidaritas dan kebebasan pribadi.

Bisnis bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga soal menciptakan sesuatu yang bernilai untuk masyarakat. Nilai tersebut bisa berupa barang ataupun jasa. Keuntungan hanyalah dampak dari tingginya mutu dari nilai yang disediakan oleh sebuah organisasi. Pandangan dasar ini tidaklah boleh dilupakan.

Dunia pendidikan juga dilanda dengan krisis rasa peduli. Peserta didik dilihat sebagai mesin-mesin yang harus patuh mengikuti pelajaran dan ujian. Mereka diberikan kemampuan untuk bisa berkompetisi di dunia bisnis. Sayangnya, di dalam proses itu, pemikiran kritis dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial juga terkikis.

Inilah yang disebut oleh Henry Giroux, di dalam bukunya yang berjudul On Critical Pedagogy, sebagai pedagogi neoliberal. Pendidikan menjadi budak dari bisnis dan ekonomi. Uang menjadi ukuran utama keberhasilan hidup. Nilai-nilai luhur kehidupan dan pendidikan pun tersingkir secara perlahan namun pasti.

Padahal, rasa peduli adalah jantung hati pendidikan. Tanpa rasa peduli, pendidikan hanyalah sekedar pelatihan semata. Ia tidak memberikan inspirasi, membentuk dan mengubah karakter. Ia hanya mengajar, layaknya memindahkan pengetahuan dari komputer satu ke komputer lainnya.

Akhir kata, rasa peduli memang tidak akan pernah hilang. Ia adalah bagian dari kehidupan yang ada di dalam diri setiap mahluk. Namun, ia bisa terlupakan, terutama oleh manusia yang dijajah oleh rasa rakus yang tak terkendali. Tugas kitalah untuk mengingatnya, dan menerapkannya dalam keseharian.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

38 tanggapan untuk “Peduli”

  1. sepakat dengan setiap kata !!
    segala macam kesulitan dalam menjalankan “keperdulian” bisa diatasi dan dimengerti dengan “nalar sehat dan hati nurani”.
    setelah menjalankan syarat tsb diatas, baru lah terasa “apa yang dimaksud sebenar nya”.
    kita mengalami “dunia” lain.
    penerangan tsb sangat sulit untuk digambarkan , hanya dapat di jalankan dengan rendah hati dan pikiran kosong.
    salam hangat !

    Suka

  2. Setia dan peduli..
    Dalam bidang pendidikan. Kami menerapakan sikap peduli. Supaya rasa peduli itu cepat di ingat secara memori, kami menggunakan salam 3 jari. Filosofi salam 3 jari ini bukan adopsi dari sikap politik melainkan Sumpah dari (guard swiss) atau para pengawal paus yg bersumpah menggunakan 3 jari sebagai lambang kepedulian dan setia terhadap Bapa Suci. Mereka mau merelakan diri demi keselamatan Bapa Suci (Bapa Paus). Tentu tiga jari ini di ambil dari tangan Yesus saat di salib. Yesus setia dan peduli pada manusia sehingga ia rela Wafat di Salib.
    Dengan salam 3 jari yg kami jadikan salam setia dan peduli membuat para siswa merekam dalam pikiran mereka.. jika mereka mengangkat tangan dengan salam 3 jari mereka berusaha untuk setia dan peduli.. selain itu kami juga menerapkan salam setia dan peduli itu dalam kegiatan Rekoleksi atau Retret para siswa SMP Atau SMA.
    #salamtigajari
    #salamsetiadanpeduli

    Suka

  3. Iya, dunia pendidikan pun sedang krisis kepedulian.Murid hanya dipandang sebagai mesin yang siap berkompetensi.Sekolah hanya menjadi pabrik untuk memproduksi ‘mesin-mesin’ yang siap terjun ke dunia bisnis, ia patuh tapi telah kehilangan pikiran kritisnya sebagai manusia.Peduli, harus disadarkan jangan biarkan ia terlupakan apalagi lenyap dijajah sama keserakahan.

    Suka

  4. Rasa peduli adalah jantung hati pendidikan. Tanpa rasa peduli, pendidikan hanyalah sekedar pelatihan semata. Ia tidak memberikan inspirasi, membentuk dan mengubah karakter. Ia hanya mengajar, layaknya memindahkan pengetahuan dari komputer satu ke komputer lainnya.
    Setuju sekali dengan kalimat di atas.

    Suka

  5. Tanpa rasa kepedulian, pendidikan menjadi budak dari bisnis dan ekonomi.Inilah yang menimbulkan racun pendidikan: kompetensi dan komperasi.

    Suka

  6. Charvin
    Mas Reza, apakah racun pendidikan (kompetensi dan komparasi) termasuk salah satu hasil dari ‘ketidak pedulian’ tersebut?
    Menurut saya, komparasi adalah bentuk kepedulian yang salah sasaran. Kita peduli pada nilai dan keberhasilan orang lain, tapi kita lupa untuk peduli pada moral dan karakter maupun budi luhur.SIngkat kata, komparasi membuat kita peduli pada nilai luar seseorang tapi lupa untuk peduli pada nilai etika kita sendiri.
    Mohon pencerahanya Mas Reza…….

    Suka

  7. Mas Reza, apakah racun pendidikan (kompetensi dan komparasi) termasuk salah satu hasil dari ‘ketidak pedulian’ tersebut?

    Suka

  8. Tepat sekali. Pendidikan yang berpijak pada kepedulian justru akan mengurangi segala bentuk kompetisi dan komparasi. Keduanya adalah hasil dari kepedulian yang setengah hati.

    Suka

  9. “peduli” sebagai “jalan hidup” menurut pandangan saya bukan hanya mata pelajaran di sekolah, tetapi yg lebih penting “diajarkan” dalam keluarga, lingkungan dimana kita hidup dan verkecimpung.
    sikap “ketidak pedulian” berakar mula nya dari keluarga (orang tua yang hanya berfokus ke materialisme – menurut “perhatian” / “sorotan” saya )
    salam hangat !!

    Suka

  10. Membaca artikel pak Reza ‘Peduli’ yg mana dlm artikel tsb dituliskan – Dunia pendidikan juga dilanda dengan krisis rasa peduli – yg merujuk karya pd Henry A. Giroux dlm ‘On Critical Pedagogy’. Dalam pemahaman sy karya Henry A. Giroux merupakan building on the work of Paulo Freire ‘Pedagogy of the Oppressed’. Pendapat saya, siapa saja khususnya yg mempumyai perhatian thd pendidikan, dpt saja melawan Freire atau bersama Freire, tetapi yg jelas tidak dapat tanpa Freire seperti yg dikatakan para koleganya.
    Tampaknya Giroux bersama Freire, sehingga karya mereka berdua dlm pandangan saya seperti dua sisi mata uang yg sama. Disatu sisi dg krisis rasa peduli yg melanda dunia pendidikan menimbulkan neoliberalism as public pedagogy menurut istilah Giroux dan pd sisi yg lain dlm istilah Freire pendidikan yg lama sbg pendidikan dg ‘sistem bank’. Paolo Freire ingin merontokkan pendidikan ‘sistem bank’ tsb.
    Saya juga tidak menampik ‘pisau bedah’ dari Paulo Freire, termasuk buku yg tidak mudah dibaca (perlu ketekunan dalam mencerna karya tsb). FYI only, sy juga koleksi karya2 Paulo Freire yg lain (5 buku) bgtu juga karya Henry A. Giroux (15 buku). Sementara itu berdasarkan informasi dari beberapa teman dan seingat saya ‘Pedagogy of the Oppressed’ sdh diterjemahkan ke bahasa Indonesia sekitar tahun 1984 dan baru memperoleh perhatian luas di Indonesia pd tahun 1998 stlh runtuhnya regim Orba (penerbit LP3ES). Bgmana menurut pandangan pak Reza, saya just as book lover only.

    Suka

  11. sya memiliki kepedulian yg tinggi, rasa ingin tahu yg besar namun sya sering terjatuh pada pesimisme hidup seperti rasa cemas, rasa malu yg berlebihan (Introvert) trhdap org lain, sehingga sya selalu gagal dlm melangkah.. apa solusinya menurut pak reza buat dri sya?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.