Kompetisi dan Komparasi: Dua Racun Mematikan Pendidikan

Words like Poison (•Katie)

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta, Sedang Menulis Buku Berjudul “Pendidikan sebagai Pembebasan: Terobosan untuk Pendidikan Abad 21’”

Secara global, keadaan pendidikan amatlah memprihatinkan. Pendidikan berubah  menjadi proses dehumanisasi, dimana orang kehilangan kemanusiaannya justru dengan belajar untuk mengembangkan dirinya. Inilah ironi pendidikan terbesar di abad 21. Tak heran jika Noam Chomsky, salah satu pemikir terbesar dunia sekarang ini, menulis di dalam bukunya yang berjudul Class Warfare, bahwa pendidikan justru membunuh kecerdasan, kepekaan moral dan kebahagiaan yang merupakan tiga ciri utama kemanusiaan.

Kompetisi dan Komparasi

Mari kita cermati keadaan pendidikan global sekarang ini. Di semua negara, dua prinsip pendidikan diterapkan, tanpa ada sikap kritis, yakni kompetisi dan komparasi, atau perbandingan. Kompetisi dianggap sebagai prinsip suci yang tak boleh dibantah. Anak didorong untuk berkompetisi menjadi yang terbaik dari antara teman-temannya, jika perlu dengan mengorbankan kebahagiaan maupun kecerdasan alami yang ia punya.

Kompetisi menjadi ukuran di berbagai tingkat pendidikan. Sang juara dipuja layaknya dewa. Sementara, nomor dua dan seterusnya dianggap pecundang yang terus terabaikan. Tak heran, banyak anak justru kehilangan keceriaan dan kebahagiaan alaminya, karena ia pergi ke sekolah untuk memperoleh pendidikan.

Prinsip kedua adalah komparasi, atau perbandingan. Di dunia pendidikan, ranking menjadi nomor satu. Komparasi memang tak bisa dipisahkan dari kompetisi. Keduanya bertaut erat tidak hanya di dalam menghancurkan keluhuran pendidikan, tetapi juga di dalam membunuh vitalitas kehidupan itu sendiri.

Akibatnya, anak tak pernah merasa puas dan bahagia dengan dirinya sendiri. Ia selalu merasa tertekan, guna memenuhi keinginan lingkungan sosialnya, terutama dengan memenangkan kompetisi dan menjadi yang terbaik dibandingkan dengan teman-temannya. Tak heran pula, tingkat bunuh diri anak usia sekolah meningkat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di berbagai negara, lemahnya dukungan keluarga dan terus meningkatnya beban pendidikan di sekolah menjadi faktor utama, sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti di The University of Southern Mississippi di dalam penelitian yang berjudul Student Suicide: A Negligence Issue in Higher Education.

Pendidikan Ketinggalan Jaman

Ada dua hal yang kiranya menjadi penyebab. Pertama, pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia, masih menggunakan cara berpikir di masa revolusi industri pertama. Di dalam cara berpikir ini, pendidikan itu adalah proses manufaktur, seperti di pabrik. Semua bahan diolah dengan cara yang sama, dan kemudian keluar dalam bentuk dan mutu yang sama. Keseragaman menjadi ukuran utama dari keberhasilan pabrik yang bernama pendidikan.

Ken Robinson, di dalam bukunya yang berjudul Creative Schools: The Grassroots Revolution That’s Transforming Education, berulang kali menegaskan hal ini. Pendidikan yang dilihat seperti pabrik justru membunuh unsur utama pendidikan itu sendiri, yakni kreativitas. Kreativitas muncul dari keberagaman dan perbedaan. Ia juga muncul dari kemanusiaan dan kebahagiaan yang dibiarkan tumbuh secara alami di dalam pendidikan.  

Dua, pendidikan di abad 21 juga sudah terkena virus neoliberalisme. Di dalam paham ini, segala unsur kehidupan diukur semata dengan nilai ekonomi. Uang menjadi dewa, dan segala nilai lain terpinggirkan. Akibatnya, pendidikan justru merusak budaya demokrasi yang membutuhkan pemikiran kritis dan kepekaan moral kemanusiaan, serta menjadi semata pengabdi kepentingan pasar.

Inilah argumen yang ditawarkan oleh Henry Giroux di dalam bukunya yang berjudul On Critical Pedagogy. Neoliberalisme telah memasuki tidak hanya sistem birokrasi adminstratif pendidikan, tetapi juga roh pendidikan itu sendiri. Kompetisi dan komparasi dilihat sebagai sesuatu yang jauh lebih berharga, daripada kerja sama dan keberagaman minat serta dorongan alami manusia. Yang tersisih adalah mereka yang miskin, karena tak mampu mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, atau bahkan mendapatkan pendidikan sama sekali.

Revolusi Mental Pendidikan

Menanggapi racun-racun pendidikan di atas, dua hal kiranya bisa dilakukan. Pertama, arah dan filsafat dasar pendidikan harus diubah sama sekali. Pendidikan sebagai pabrik dan pendidikan yang mengabdi pada kepentingan pasar haruslah diubah sampai ke akarnya. Yang kemudian diterapkan adalah pendidikan kritis dan humanis, sebagaimana dirumuskan oleh Julian Nida-Rümelin, pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung.

Pendidikan kritis adalah pendidikan yang mengedepankan pertanyaan dan analisis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di masyarakat. Analisis ini kemudian dibalut dengan kepekaan moral dan rasa kemanusiaan tertentu, guna menentukan langkah yang tepat untuk mengubah keadaan. Ini semua lalu mendorong tindakan bersama dalam ragam bentuk gerakan sosial untuk mendorong perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, demokratis dan makmur. Pendidikan yang kritis dan humanis, demikian kata Nida-Rümelin, akan membuat pendidikan kembali relevan untuk kehidupan manusia sebagai keseluruhan.

Dua, pandangan Jaggi Vasudev, di dalam bukunya yang berjudul Inner Engineering: A Yogi’s Guide to Joy, kiranya juga penting untuk diperhatikan. Ia menekankan, bahwa pendidikan yang pertama dan terutama adalah pendidikan untuk memahami jati diri manusia yang sebenarnya sebagai mahluk semesta. Ia berdiri setara dengan semua mahluk yang ada di alam semesta ini. Inilah inti utama dari pendidikan kosmopolit, sebagaimana juga dirumuskan oleh para pemikir Stoa, terutama Markus Aurelius di dalam bukunya yang berjudul Meditations.

Sebagai warga semesta, perbedaan lalu dilihat sebagai kulit semata. Pada intinya, semua mahluk itu sama dan setara, baik secara biologis maupun metafisis. Kesamaan ini lalu mendasari berbagai keberagaman yang dirayakan dalam perdamaian dan kebahagiaan. Dalam keadaan seperti ini, jauh dari kompetisi dan komparasi, kemampuan alami manusia bisa bertumbuh dengan gemilang.

Kompetisi dan komparasi memang merupakan dua racun mematikan pendidikan. Ia membunuh pendidikan itu sendiri, beserta kemanusiaan para pendidik dan peserta didik. Kebahagiaan dan spontanitas kehidupan dilenyapkan atas dasar kepatuhan buta dan ambisi untuk menjadi yang nomor satu. Mau sampai kapan kita menyiksa anak-anak kita dengan cara seperti ini?

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

18 tanggapan untuk “Kompetisi dan Komparasi: Dua Racun Mematikan Pendidikan”

  1. na endlich wird über erziehung / schulsystem besprochen. nun hoffentlich liest die kompetenz diese schrift, und noch besser wenn diese kompetenz den tenor versteht und wer weiss , noch beherrzigen und in die tat wirklich konsequent umsetzen.
    wir wissen, dass eigentlich nichts zu erreichen gibt. es ist alles vorhanden, wir müssen nur mit dem vorgegebenen richtig umgehen können. hier liegt die kunst des lebens, m.e.n.
    lieben gruss aus der ferne !

    n.b.: noch zu erwähnen, der druck auf die armen hilflosen kinder / schüler kommen von den eltern selbst und von dem schulsystem.

    Suka

  2. jadi teringat buku lainnya “PROFIT over PEOPLE ” karya lain dari noam chomsky dan bukunya PAULO FREIRE PEDAGOGY of the OPPRESSED
    Semoga sukses bukunya mas Reza untuk perubahan

    Salam perubahan ..!

    Suka

  3. Ja, das ist natürlich die Hoffnung. Zen ist auch auf das kritische Denken und die humane Bildung basiert, obwohl es zu anderer Stufe sich bewegt, nämlich die Stufe ohne Stufe. Ich stimme zu, dass das Problem auch in den Eltern liegt…

    Suka

  4. Tulisan yg sngat brilian, sngat btul bhwa kdua rcun tsb sngat mrajalela dibdang pendidikan ataupun diluar pndidikan, tak heran bhw bkat seseorg yg ia bawa sjak lhir justru tdk di kmbangkan semata2 demi 2 hal tsb..
    jika ini trus diprthanakan smpai kpan pndidikan akan mnjadi lbih baik.sbnarx kita pux kreative msing2 tp krn kedua racun itu maka kita khilangn jati diri n ini mnjdi sbuah tgas bgi kita anak bangsa trutama di bdang pndidikan….
    salam……

    Suka

  5. Bicara ketertinggalan suatu bangsa selalu dikaitkan dengan lemahnya daya saing, seperti Indonesia. Lantas, apakah bicara ukuran daya saing harus dikaitkan dengan kemampuan berkompetisi ? Bagaimana menurut pendapat Mas Reza ?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.