
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Kehadiran kelompok-kelompok radikal yang menggunakan bendera agama membuat kita mempertanyakan ulang hubungan antara politik dan agama. Kelompok-kelompok itu tersebar di seluruh dunia, mulai dari Taliban, Boko Haram, Biksu Radikal di Myanmar, Muslim Cyber Army, Ku Klux Klan, ISIS sampai dengan Al-Qaeda.
Beberapa pihak berpendapat, bahwa mereka hanya menggunakan agama sebagai pembenaran bagi tindakan-tindakan mereka yang penuh kekerasan. Ada juga peran orang di belakang layar yang sengaja memelintir berbagai ajaran agama untuk menciptakan ketakutan, dan memecah belah masyarakat.
Pandangan ini tentu semakin mendorong kita untuk melakukan kajian lebih dalam tentang bagaimana agama dan tafsirannya bisa berujung pada kekerasan.
Politik
Sejatinya, politik adalah seni tata kelola hidup bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Politik bukanlah soal perebutan kekuasaan dengan berbagai cara, seperti banyak dipahami sekarang ini.
Politik juga dapat dipahami sebagai seni untuk mewujudkan berbagai kemungkinan. Supaya politik tidak disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan sempit dan korup, ia harus dipandu dengan nilai-nilai kehidupan yang luhur.
Nilai-nilai tersebut adalah keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kemakmuran. Masyarakat majemuk demokratis modern, seperti Indonesia, haruslah menggunakan keempat nilai tersebut, jika ia ingin berkembang secara damai.
Keempat nilai tersebut pun harus dilihat sebagai satu kesatuan. Keadilan, misalnya, haruslah menjadi panduan bagi kebebasan, sehingga kebebasan memiliki arah yang jelas
Kebebasan, misalnya, juga tak bisa dilepaskan dari kesetaraan antar manusia, lepas dari apapun ras, suku, pandangan hidup, gender maupun agamanya. Semua ini akan berujung pada kemakmuran yang menopang keutuhan hidup bersama.
Agama
Di dalam masyarakat, politik tak pernah bisa dilepaskan dari agama. Keduanya saling mempengaruhi, tanpa pernah bisa dipisahkan begitu saja.
Agama lahir dari persentuhan manusia dengan Yang Abadi, atau Tuhan. Dari persentuhan itu lalu lahirlah sistem nilai dan cara hidup yang mampu melahirkan kedamaian, baik di diri pribadi maupun di masyarakat.
Dalam arti ini pulalah politik dan agama selalu berhubungan, yakni soal sistem nilai yang mengelola tata hidup bersama. Di dalam masyarakat majemuk demokratis modern, seperti Indonesia, diskusi yang rasional, bebas dan terbuka lalu terjadi, guna menentukan sistem nilai mana yang cocok diterapkan di masyarakat secara luas yang terdiri dari beragam suku, ras, agama dan pemahaman nilai yang berbeda.
Pada titik inilah tafsir memainkan peranan yang amat penting. Sebuah ajaran di dalam agama selalu membutuhkan tafsir, sebelum ia dipahami dan diterapkan pada tingkat yang lebih luas.
Pertanyaan lalu muncul, bagaimana melakukan tafsir yang baik? Ada beberapa hal yang kiranya perlu diperhatikan.
Tafsir
Manusia memang adalah mahluk penafsir. Ia menafsirkan dunia, merumuskan panduan nilai pribadi, lalu bertindak seturut dengan pemahaman yang ia peroleh tersebut.
Hal yang sama terjadi di dalam agama. Ada empat hal yang kiranya bisa menjadi panduan.
Pertama, tafsiran harus menggunakan cara berpikir historis-logis-kritis. Historis artinya, sebuah ayat harus dibaca seturut dengan latar belakang budaya, politik dan ekonomi dari jaman yang melahirkan ayat tersebut.
Kritis berarti, sebuah ayat dari masa lalu tidak dapat diterapkan begitu saja ke jaman sekarang, tanpa melalui proses diskusi dan bernalar yang sesuai dengan perkembangan jaman. Dan logis berarti, sebuah tafsiran harus menggunakan logika yang runtut, tidak melompat-lompat ke arah kesimpulan yang tanpa arah.
Dua, sebuah tafsir harus sesuai dengan prinsip keadilan. Artinya, hasil dari pembacaan ayat tertentu di dalam agama tidak boleh merugikan pihak lain, dan melanggar prinsip keadilan yang menjadi dasar bagi hidup bersama secara damai.
Tiga, tafsir juga harus sejalan dengan prinsip kemanusiaan. Artinya, manusia tidak boleh dikorbankan, baik harkat maupun martabatnya, demi penerapan sebuah tafsir ayat apapun.
Empat, tafsir juga harus memperhatikan unsur perdamaian. Jika sebuah tafsir terarah pada kekerasan, baik secara pribadi maupun sosial, maka ia harus dirumuskan ulang.
Tafsiran yang bersifat agresif bisa dibenarkan, hanya sebagai jalan akhir, ketika jalan damai tidak lagi bisa ditempuh. Ini terjadi, misalnya, di dalam ranah teologi pembebasan, ketika tafsiran atas ajaran agama mendorong sebuah masyarakat untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap penguasa totaliter yang menindas tanpa ampun.
Politik dan agama tak pernah bisa dipisahkan. Yang menjadi tantangan adalah melakukan tafsir yang historis-kritis-logis, adil, manusiawi dan damai terhadap beragam ajaran agama yang ada, sehingga ia bisa menunjang terciptanya politik yang juga adil, bebas, mendorong kesetaraan serta kemakmuran bersama.
Inilah tantangan kita bersama.
kita tahu politik adalah “permainan yg sangat kotor”, agama pun dipergunakan untuk kepentingan / kekuasaan golongan tertentu. kalau kedua nya saling berhubungan / berkaitan – menurut pandangan saya – hasil nya “sangat menyedihkan”. saya prihatin ke rakyat kecil, mereka hanya korban dari pemimpin2 dan birokrasi.
tulisan diatas sangat bagus dan menarik untuk dibaca, hanya theorie diatas kertas. sayang tidak bisa diterap kan di indonesia.
banyak salam !
SukaSuka
Apa itu filsafat?
Mengapa kita harus berfilsafaf?
Bagaimana filsafat itu?
Untuk siapa filsafat itu?
SukaSuka
Sepakat!
SukaSuka
Hasil pikir yang cukup cemerlang, salut, mari kita kaji hal2 yg sering tampil radikal itu sebaiknya bagaimana, salam kenal bang…
SukaSuka
Vielen Dank. Eigentlich werden die Ideen in diesem Artikel schon in verschiedenen Orten in Indonesien verwendet. Viele Gruppen benutzen die kritische Hermeneutik als ihr Paradigma. Aber diese Fakten können natürlich in den großen Medien gesehen werden, weil sie nicht bombastisch sind. Naja.
SukaSuka
Silahkan anda baca website ini.. salam
SukaSuka
Salam…
SukaSuka
das bleibt letztlich nur als papier in schublade, vielleicht als thema für eine doktorarbeit.
für normalos ist es eine reine utopie. trotz allem, wer weiss, wir sollten die hoffnung nicht verlieren. das leben ist relativ, nichts ist unmöglich (…….toyota / eine uralte autowerbung in tv)
lieben gruss aus der ferne !!
SukaSuka
menurut pengertian saya, filsafat hanya salah satu alat belaka menuju pemikiran bebas tanpa pengaruh apapun (“nalar sehat dan hati nurani”). jadi bukan suatu keharusan.
tanpa filsafat pun kita bisa mencapai tujuan tsb diatas.
salam hangat.
SukaSuka
salam kenal.. mari kita lakukan bersama..
SukaSuka
Neein.. das ist schon eine Wirklichkeit in Indonesien, obwohl es noch eine Minderheit ist… keine Utopie.. Einige Gruppen benutzen diese Methode, neues Verständnis in Religion und im Leben zu bekommen… alles gute…
SukaSuka
alles ist nur ein Werkzeug.. obwohl man sagen kann, dass Philosophie und Zen bester Weg sind, dieser Gedankenzustand zu erreichen… Philosophie ist sehr wichtig, neue Gewohnheit des kritischen und logisches Denken in der Gesellschaft zu entwickeln…
SukaSuka
es wäre schön , wenn unter den teilnehmern selbst einen regen gedankenaustausch stattfinden könnte. eigentlich möchte ich liebensgern wie andere teilnehmer denken.
gruss !!
SukaSuka
ja… die Kunst der vernünftigen Hermeneutik in den Religionen ist der Weg zum Frieden heute
SukaSuka
Mengapa agama selalu dikaitkan dengan radikalisme?
SukaSuka
Itu fenomena abad 21. Agama dijadikan alat untuk politik dan ekonomi.
SukaSuka