Tentang “Ketidaktahudirian”

Wolfgang Paalen, Fumage (Smoke Painting) (c. 1938), oil, candle burns and soot on canvas, 10-3/4″ x 16-3/8″; courtesy The Morgan Library & Museum

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Sudah berapa kali kita melihat, orang yang telah terbukti melakukan korupsi, bahkan membunuh, masih berani mengajukan diri menjadi pejabat publik, bahkan presiden? Di tempat lain, kita juga bisa melihat, bagaimana orang yang suka berbohong, bahkan melakukan pelecehan seksual, justru menjadi pemimpin dari negara terkuat di dunia sekarang ini.

Di dunia bisnis, kita juga bisa melihat hal yang serupa. Pebisnis, yang sudah terbukti melanggar prinsip-prinsip integritas dalam bisnis, masih percaya diri untuk terus menjabat sebagai pemimpin perusahaan, bahkan punya ambisi maju sebagai presiden. Suara dan dukungan dibeli dengan uang, walaupun dengan mengorbankan kehormatan diri dan prinsip-prinsip kehidupan yang luhur. Padahal, yang diwariskan dari sepak terjangnya hanya satu, yakni keteladanan tentang ketidaktahudirian.  

Ada juga para pemuka agama yang menggunakan peran sosialnya untuk menyebarkan kebencian dan perpecahan. Mereka menggunakan jubah suci pemuka agama, supaya mendapat dukungan. Padahal sejatinya, mereka teroris penyebar petaka. Lagi-lagi, mereka cukup tak tahu diri untuk terus melakukan hal tersebut, tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Yang paling parah mungkin adalah keberadaan para penegak hukum yang tak tak tahu diri. Mereka dipercaya masyarakat untuk menegakkan hukum seadil mungkin. Namun, mereka justru menyelewengkan kepercayaan tersebut demi menumpuk harta pribadi. Bahkan, mereka melakukannya secara terbuka, seringkali justru bangga dengan sikap tidak tahu diri yang ditunjukkan.

Pertanyaan sederhana pun muncul. Mengapa ada orang-orang yang sungguh tak tahu diri di muka bumi ini?

Tentang Ketidaktahudirian

Orang-orang yang tak tahu diri semacam itu memiliki tiga ciri yang sama. Pertama, mereka adalah orang-orang yang buta keadaan. Mereka memainkan peran sebagai badut yang haus kuasa, tanpa sadar, bahwa mereka memperburuk keadaan sekitar mereka, dan hidup mereka sendiri. Kerakusan telah membuat mereka buta terhadap makna kehidupan yang sebenarnya.

Dua, dari kebutaan tersebut, mereka memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Ambisi jadi penguasa menutupi akal sehat dan hati nurani yang mereka punya. Segala cara mewujudkan kehendak menjadi kenyataan ditempuh, termasuk cara-cara yang justru mengorbankan integritas mereka sebagai manusia beradab. Masyarakat akan hancur, jika orang-orang yang tak tahu diri ini terus bermunculan, bahkan bertambah jumlahnya.

Tiga, orang-orang yang tak tahu diri hidup dengan waham kebesaran. Mereka merasa lebih hebat dan lebih luhur dari orang-orang lainnya. Dengan cara berpikir ini, mereka ingin berkuasa, dan menindas orang-orang di sekitarnya. Waham kebesaran ini bisa berujung ke banyak petaka, seperti lahirnya penguasa tunggal di dalam politik totaliter yang menghancurkan struktur pemerintahan yang beradab, serta membunuh musuh-musuh politiknya dengan kejam.

Akar Ketidaktahudirian

Ada empat hal yang kiranya terselip di balik mental tidak tahu diri ini. Pertama, orang dengan mental tak tahu diri memiliki pemahaman yang salah tentang kehidupan. Mereka mengira, mereka bisa menipu dan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan mereka. Mereka tak paham, bahwa keberadaan orang lain secara langsung terkait dengan keberadaan mereka. Ketika orang lain rugi dan menderita, merekapun juga rugi dan menderita.

Dua, masyarakat kita memang mengalami krisis keteladanan. Para pemimpin rakyat dan pemimpin agama tidak hidup dengan nilai-nilai moral yang luhur. Sebaliknya, mereka justru hidup dengan berpijak pada kerakusan dan kesombongan. Tak heran, mayoritas generasi muda hanya hidup mengikuti mereka, yakni mencari cara untuk cepat kaya dan bisa memamerkan kekayaannya. Tanpa keteladanan moral yang hidup dari para pimpinan masyarakat, nilai-nilai moral hanya akan menjadi buih debu yang lenyap ditiup angin.

Tiga, di dalam masyarakat yang miskin pemikiran kritis, struktur sosial dan budaya menjadi lemah. Sedikit perubahan akan membawa goncangan besar di dunia sosial. Pengaruh asing yang menyesatkan pun bisa masuk begitu saja, tanpa ada tanggapan kritis dari masyarakat. Di dalam masyarakat semacam ini, orang-orang bermental tak tahu diri bisa terus tampil ke depan, tanpa terkena sanksi sosial apapun.

Empat, di dalam masyarakat munafik, moralitas akan terus dikumandangkan, namun jarang dilaksanakan. Terciptalah masyarakat sakit jiwa yang terbelah kepribadiannya. Orang-orang tak tahu diri menjadi menjamur di dalam masyarakat semacam itu. Dapat pula dikatakan, bahwa mereka adalah anak-anak dari masyarakat munafik.

Keempat hal ini harus disadari sepenuhnya. Perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, makmur, setara dan beradab hanya bisa terjadi melalui kesadaran terhadap keempat akar ketidaktahudirian di atas. Budaya tahu diri memang tidak bisa diciptakan dalam waktu singkat. Namun, upaya mewujudkannya amatlah penting sekarang ini.

Apakah anda tidak muak menyaksikan orang-orang korup, bejat, tukang fitnah, pembunuh, penipu dan penyebar kebencian tampil sok suci di panggung publik?

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

22 tanggapan untuk “Tentang “Ketidaktahudirian””

  1. begitulah kehidupan!! bagaimanapun juga kita harus kritis. untuk merubah keadaan bobrok dewasa ini, kita tidak mampu/mungkin menjalankan perubahan radikal.
    menurut pandangan saya, jalan satu2 nya: kita atur dulu diri sendiri, suatu ketika kita menemukan kalangan “nalar sehat dan hati nurani”.
    saya yakin bisa tercapai, bagaimanapun juga ada baik nya , kita tidak lupa”keinginan hidup damai” dalam hati. lain2 datang sendiri !
    salam hangat !!

    Suka

  2. Apa sudah muak?
    Pertanyaan saya, apa itu masih perlu ditanyakan?
    Atau kita sudah harus masuk ke pertanyaan berikutnya?
    Ketika vitamin keteladanan, parasetamol keikhlasan dan asam mefenamat keadilan sudah langka di pasaran dan yang tersedia hanya sianida kemunafikan, borax keserakahan dan formalin pendangkalan, mungkinkah membuat formula dari racun?
    Mungkin racun-racun itu sebenarnya juga obat (penawar)–hanya saja kita belum mampu meraciknya.

    Salam hormat bang Reza.

    Suka

  3. Begitulah……
    Masyarakat yang malas berpikir kritis dan pejabat-pejabat yang haus akan kekuasaan hanyalah malapetaka yang sedang berjalan bagaikan bom waktu.Kebiasaan masyarakat saat ini adalah suka-suka ikut-ikutan, tidak masalah kalau yang diikuti adalah orang-orang yang teladan, masalahnya yang sering diikuti justru orang populis yang cenderung ‘sesat’.Alhasil, kekacauan pun terjadi karena mengikuti yang ‘buruk’.

    Suka

  4. Menurut saya salah satu penyebab kondisi di atas adalah pendidikan yang salah kaprah.Karena pendidikan yang tidak tepat membentuk masyarakat yang seperti sekarang ini.Dimana rakyat cenderung malas mengolah dan mengkonfirmasi berbagai informasi yang ada.Tentunya kita semua sadar bahwa pendidikan juga tidak terlepas dari masyarakt itu sendiri.Selain reformasi pendidikan atau setidaknya menetapkan pendidikan yang lebih terarah, kita juga harus mencoba intropeksi diri sebisa mungkin.
    Minimal apa yang bisa kita lakukan adalah memperbaiki diri sebaik mungkin agar bisa menjadi contoh teladan bagi yang lain (note: bukan untuk pamer tapi untuk membentuk pribadi-pribadi yang lebih baik).Contohnya; tidak mudah terperdaya oleh isu hoax, selalu mengkonfirmasi informasi yang ada melalui menulusuri informasi yang serupa dari berbagai sumber terutama sumber yang terpercaya seperti: tirto dan kompas, serta mencoba menalar jangan menelan ‘mentah-mentah’ informasi yang ada

    #hanya opini

    Suka

  5. Bagaimana cara menghentikan mereka? Apa salah satunya masuk dalam dunia politik? Mohon pencerahan…amin..

    Suka

  6. stimmt. Wir fangen von unserem Selbst an. Wir versuchen, unsere Fähigkeiten im Leben zu entwickeln, bevor wir in den verschiedenen sozialen Entwicklungsprojekte aktiv teilnehmen…

    Suka

  7. hehehe.. pertanyaan bagus… proses perubahan ke arah peradaban memang butuh waktu dan usaha.. seringkali, kesabaran memang menipis melihat keadaan yang pelan sekali membaik..

    Suka

  8. in einer geistigen gemeinschaft werden wir getragen. es scheint nichts zu verändern, sinnlos, verzweifelt usw usw , und doch tut es sich sehr viel im innern.
    diese erfahrung haben wir alle schon gehabt. ich bin felsenfest überzeugt, du weisst es davon.
    viele grüsse !!

    Suka

  9. wieviel “ketidaktahudirian” ist in uns selbst ? oft ertappen wir uns, dass das, was wir verteufeln , in uns selbst steckt.
    gruss

    Suka

  10. walau kemungkinan besar manusia akan berhasil atas dirinya sendiri dan orang lain dengan memahami keadaan”saat ini”, tapi tidak semuanya bisa benar-benar memahami itu, bahkan untuk memahaminya pun masih dibutuhkan keinginan dalam mencaritahu. Jika saya tidak mencari, maka saya akan selamanya terkurung dalam pikiran saya. Jadi, akan sangat senang jika bisa diberi pemahaman langsung (saat mas Reza menjadi dosen) dan mungkin saya tidak akan lagi terpenjara atas pertanyaan saya atas tulisan mas Reza. Saya hanya menyampaikan kekecewaan saja dengan pertanyaan harapan, soalnya dapat bocoran kemarin mas Reza hampir jadi dosen di kampus saya hehehe

    Suka

  11. Yang dibutuhkan pemahaman tentang apa yang ada, dan yang tidak ada…. Selama ini tidak jelas, orang akan hidup dalam penjara pikirannya sendiri… kamu sekarang kuliah dimana? Salam hangat

    Suka

  12. dulu di dalam penjara saya, tidak ada orang selain diri saya, setelah baca bukunya mas Reza kemudian muncul orang-orang lain. Saya kemudian berharap tidak hanya untuk diri saya, ini yang kemudian membuat saya semakin tidak paham dan ingin diajarkan langaung hehehehe. Sekarang kuliah di Binus mas, jurusan HI.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.