Masyarakat “Mata Keranjang”

Saatchi Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Kita hidup di masyarakat “mata keranjang”. Di dalam masyarakat semacam ini, segala hal dikaitkan dengan seksualitas, tepatnya dengan hubungan seks. Tubuh perempuan terbuka sedikit, pikiran banyak orang langsung ke arah seks. Tubuh pria kekar sedikit, pikiran mereka pun langsung tertarik secara seksual.

Tak heran, di masyarakat semacam ini, banyak mata keranjang dan hidung belang. Ini adalah julukan bagi orang-orang yang suka melihat orang lain secara seksual. Ia hanya ingin menggunakan orang lain untuk kenikmatan dirinya, tanpa peduli pada harkat dan martabat orang lain sebagai manusia. Tak heran pula, di masyarakat semacam ini, pemerkosaan dan pelecehan seksual menjadi salah satu tindak kriminal yang paling banyak terjadi.

Sebagai reaksi dangkal atas hal ini, banyak orang lalu menjadi tertutup. Mereka memenjara tubuh dengan beragam kain, supaya tak mengundang rangsangan seksual. Tubuh tertutup bagaikan ninja di siang hari bolong, sehingga jauh dari tatapan mata para hidung belang dan mata keranjang. Tentu saja, reaksi semacam ini justru menciptakan banyak masalah lain, mulai dari pelanggaran hak-hak asasi manusia, kemunafikan moral sampai masalah kesehatan.

Mengapa?

Mengapa kita berubah menjadi masyarakat “mata keranjang”? Ada tiga hal yang kiranya bisa diperhatikan. Pertama, energi seksual meletus secara kolektif di dalam masyarakat, karena energi tersebut tak menemukan penyaluran yang cocok. Ini terjadi, karena kita tidak memiliki cara dan pemahaman untuk mengelola energi yang ada. Akibatnya, energi tersebut berubah menjadi frustasi, dan meletus ke tempat-tempat yang tak semestinya, seperti konflik dan seks tanpa arah.

Dua, kita tidak memiliki cara dan pemahaman tentang energi kehidupan, karena kita hidup dengan ajaran-ajaran yang salah. Alih-alih memahami energi, kita menekan energi, terutama energi seksual, atas nama agama dan moralitas. Akibatnya, energi itu mampet, dan meledak di berbagai ranah kehidupan lainnya, seperti seks dan belanja tanpa arah. Tak heran, mata orang begitu mudah melotot, ketika melihat tubuh cantik atau ganteng di jalan, dan langsung berpikir ke arah seks.

Tiga, semua ini tentu tak lepas dari menyebarnya pornografi di masyarakat kita. Ini merupakan salah satu sisi negatif dari berkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah Indonesia telah berupaya melakukan kontrol. Namun, usaha ini tak cukup, karena tayangan pornografi masih begitu mudah didapatkan dan dilihat di Internet.

Bagaimana?

Pemahaman akan tiga hal di atas akan mengantarkan kita pada tiga hal lainnya yang bisa dilakukan. Pertama, kita perlu belajar untuk memahami dan mengelola energi di dalam diri. Ini bisa dilakukan dengan cara meditasi. Namun, meditasi terkait dengan energi tidak hanya dengan duduk diam, melainkan meditasi dalam gerak. Seni tari, musik dan bela diri bisa menjadi beberapa pilihan yang mungkin.

Dua, pemahaman ini hanya mungkin, jika kita mampu keluar dari ajaran-ajaran masyarakat yang salah, yang menekan energi seksual atas nama moralitas dan agama, sehingga jatuh ke dalam kemunafikan. Dengan kata lain, kita harus bisa berbicara tentang seks secara sehat dan rasional sebagai manusia dewasa, dan bukan sebagai manusia yang tunduk patuh buta terhadap tradisi. Tradisi memang berharga. Namun, jika ia dipuja secara buta, ia akan menjadi penghalang terbesar kehidupan manusia.

Tiga, mekanisme kontrol terhadap pornografi tetap harus dilakukan, dan ditingkatkan. Namun, yang terpenting adalah kita memahami hakikat tubuh manusia sebagai mahluk yang bermartabat. Tubuh yang cantik, ganteng dan seksi tidak bisa menjadi obyek untuk kepuasan sesaat. Tubuh adalah subyek yang memiliki martabat luhur, maka harus dihargai dan dihormati, tanpa jatuh pada pemenjaraan baru.

Masyarakat “mata keranjang” akan ditinggalkan peradaban. Negara-negara lain sudah memikirkan energi alternatif dan mencari peluang di planet baru di jagad raya yang nyaris tak terbatas. Sementara itu, negara kita masih saja berperilaku biadab. Revolusi mental adalah revolusi pemahaman di dalam mengelola energi dan kehidupan secara menyeluruh, bukan hanya soal membangun jembatan.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Masyarakat “Mata Keranjang””

  1. Menurut mas Reza, apakah melegalkan pornografi bisa menjadi solusi untuk mengurangi tingkat kejahatan seksual. Sebagai perbandingan, Jepang memiliki tingkat kejahatan seksual yang rendah padahal mereka melegalkan pornografi. Sedangkan di Mesir dimana pornografi dilarang keras justru memiliki tingkat kejahatan seksual yang cukup tinggi. Kenapa pula masyarakat sering menekan energi seksual atas nama agama dan moralitas.
    Semoga artikel ini bisa menjadi renungan untuk kita semua…….

    Suka

  2. sepakat dengan karya tsb diatas.
    ingin saya utarakan, sex perlu dalam hidup untuk perkembang biak an setiap mahluk. dalam dunia binatang “sederhana” pun dipergunakan sex.
    sering saya alami dalam pergaulan di manapun juga, banya orang yang gitu sok suci taat , tekun agama selalu berdoa dari aliran apapun, dengan pakaian sepadan dgn kata 2 nya, justru untuk manusia jenis ini thema sex jadi bahan utama dalam pembicaraan, sering 2 begitu jorok dan begitu memalukan.
    dalam suasana tsb ada baik nya, kita kontrol diri kita, bagaimana layak nya kita menangani suasana dan sikap yang sepadan dengan pribadi kita, tanpa nilai dan tanpa mengejek / menghina. utk saya, ini “latihan “/”percobaan” yang sangat berguna dalam spiritual.
    thema sexual hanya lah sebagian kecil dari kehidupan seluruh nya ( sudah tertulis diatas ).
    untuk mengutarakan di forum ini bahwa : “hidup itu tak terbatas”, adalah terlalu jauh untuk di jangkau.
    tapi toch saya utara kan, hanya untuk peminat.
    salam hangat !!

    Suka

  3. Itulah kemunafikan moral yang sering terjadi di masyarakat yang sok2 agamis dan moralis… Jangan sampai kita jatuh seperti itu… saya sepakat… Kehidupan sebagai keseluruhan tidak dapat dipahami dengan akal budi… ia hanya bisa dialami dalam kepenuhannya…

    Suka

  4. menanggapi komentar sdr anonim di negara barat pun pornografi bebas, kami juga berdikusi ttg sex, tapi bukan dgn cara spt di negara2 yg melarang pornografi.
    apa yg dilarang itu justru merangsang kita, untuk mendapatkan apa yg di larang dengan segala daya upaya dan fantasi. menurut saya, dengan legal nya pornografi bukanlah kejahatan dalam bidang ini menghilang, tetapi mengecil dan bahkan harus terkendali oleh hukum.
    di literatur 2 tua kita dapat membaca, bahkan mönche2 di jepang / cina setelah sesshin berachir, mereka pergi kerumah pelacuran. begitu lah hidup, kita terima dan lihat apa ada nya, sebaik nya tanpa nilai.
    salam hangat !!

    Suka

  5. Lantas menurut mas reza, apakah agama tidak mempunyai peran sedikit pun? Padahal yang salah sesungguhnya ada pd diri manusia. Mungkin tulisan mas reza mengenai kebebasan dan empati serta tentang diri, dpt memberi jawaban yg cukup jelas bahwa terlepas dari suku, ras, dan agamanya, manusia lah yg sepenuhnya bertanggungjawab

    Suka

  6. n.b.: saya lupa bilang, di youtube “jürgen becker”/ kabarettist köln sangat menyegarkan, dia membahas sex, agama, politik dsb dsb dengan begitu mudah / ringan untuk di mengerti.
    apalagi programm aktuell “volksbegehren”( belum ada di youtube)

    Suka

  7. Apa yang membedakan pemahaman seks berdasar preferensi seks itu sendiri dengan agama atau tradisi tertentu?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.