Bagaikan Tidur Sambil Berjalan

Jake Baddeley

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Saya sedang membaca buku. Tiba-tiba, saya teringat, bahwa saya belum membayar tagihan listrik. Saya pun mengambil telepon seluler untuk mentransfer uang. Ternyata, banyak pesan di media sosial yang saya punya. Akhirnya, saya hanyut di dalam media sosial tersebut.

Ketika melihat sebuah foto di media sosial, saya teringat sebuah kejadian di masa lalu. Di dalam kejadian itu, saya bersama mantan kekasih saya. Kini, kami sudah berpisah. Saya pun bertanya-tanya tentang kabarnya.

Tiba-tiba, terdengar suara tukang nasi goreng lewat. Perut tiba-tiba terasa lapar, padahal saya sudah makan. Konsep nasi goreng kini memenuhi pikiran saya. Tapi tunggu dulu, saya kan sedang diet?!

Apakah anda pernah mengalami hal tersebut? Pikiran melompat dari satu hal ke hal lainnya, tanpa jarak dan tanpa sadar. Satu hal belum selesai, hal lain sudah berdatangan. Tenang saja, anda tak sendiri. Saya, dan milyaran orang lainnya, juga sering mengalaminya.

Menurut Thomas Metzinger, pemikir neurosains dari Jerman, gerak melompat dari pikiran ini memenuhi sebagian besar hidup manusia. Ini semua terjadi antara kesadaran dan ketidaksadaran. Artinya, terkadang kita sadar, bahwa pikiran melompat, namun seringkali tidak. Kita bagaikan orang yang tidur, sambil berjalan. Ada beberapa hal menarik dari penelitian Metzinger.

Pikiran yang Melompat

Pertama, setelah melalui beberapa penelitian lebih lanjut, ternyata jumlah saat-saat sadar dalam hidup manusia jauh lebih sedikit, daripada saat-saat tidak sadar. Artinya, sebagian besar pikiran kita di dalam hidup adalah pikiran yang melompat-lompat secara tidak sadar, seperti contoh di atas. Hal ini berdampak luas. Jika kesadaran hanya bagian kecil dalam hidup, lalu bagaimana dengan identitas dan kebebasan kita sebagai manusia? Jika sebagian besar hidup kita diisi dengan pikiran yang melompat tanpa arah, lalu apakah ada yang disebut sebagai “hidup kita”?

Tema “pikiran yang melompat” ini memang sedang menjadi kajian para peneliti neurosains di berbagai negara. Intinya adalah upaya untuk melihat pola pikiran manusia dari saat ke saat. Hasilnya ternyata mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, moralitas dan politik. Apa yang kita sebut sebagai pikiran bebas dan sadar ternyata hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupan kita.

Dua, secara rata-rata, orang menghabiskan dua pertiga hidupnya dalam beragam lompatan pikiran. Mereka bagaikan tidur sambil berjalan. Mereka tidak sadar akan isi dan arah pikiran mereka. Apa yang disebut sebagai “diri” atau “aku” pun sebenarnya hanya disadari beberapa saat saja di dalam hidup.

Jika “diri” dan “aku” merupakan konsep yang tak jelas, maka kebebasan dan kesadaran pun juga menjadi tak jelas. Jika kebebasan dan kesadaran adalah sesuatu yang ambigu, maka moralitas dan hukuman terhadap pelaku kejahatan menjadi bermasalah. Orang hanya dapat dinilai dan dihukum, jika ia melakukan sesuatu secara bebas dan sadar. Pilihan politik, misalnya di dalam pilkada maupun pilpres, pun lalu juga bukan hasil dari kebebasan dan kesadaran.

Tiga, di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern, ada pembicaraan lama tentang kebebasan dan determinasi. Di satu sisi, ada paham tentang kebebasan dan kehendak bebas manusia. Di sisi lain, ada paham yang menekankan, bahwa kebebasan itu tidak ada. Semua sudah ditentukan alam dan masyarakat sebelumnya.

Ada juga pembicaraan soal kesadaran dan ketidaksadaran. Ada paham yang menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang sadar, dan maka ia bebas. Ada paham yang menekankan, bahwa manusia adalah mahluk yang tidak sadar. Perilakunya ditentukan oleh pola asuhnya dari kecil sampai ia besar.

Penelitian neurosains tentang pikiran yang melompat ini bisa memberikan jawaban terhadap beragam diskusi tersebut. Kita bukanlah diri yang bebas dan sadar. Kita juga bukan sekedar robot hasil dari masa lalu dan latar belakang sosial kita. Apa yang kita sebut sebagai kesadaran dan kebebasan adalah hal yang datang dan pergi dari saat ke saat di dalam hidup, seringkali tanpa bisa diatur.

Dampak dari Pikiran yang Melompat

Fakta tentang pikiran yang suka melompat ini juga berdampak besar bagi kehidupan. Pertama, ketika orang hanyut ke dalam pikirannya yang suka melompat, ia akan sulit fokus. Ia akan mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaan di depan mata. Akibatnya, apapun yang ia lakukan akan terbengkalai, karena terlalu sedikitnya fokus yang diberikan.

Prestasi kerja menurun. Prestasi belajar menurun. Hubungan dengan orang lain pun menjadi tidak bermutu, karena orang lebih suka hanyut di dalam pikirannya sendiri. Ketika orang susah berkonsentrasi melakukan apapun, maka hidupnya pun akan mengalami banyak kesulitan.

Dua, jika pikiran yang suka melompat ini menjadi amat tak terkendali, maka penderitaan adalah buahnya. Orang terlempar kembali ke masa lalu, dan hidup dalam penyesalan. Orang terlempar ke masa depan, lalu terjebak dalam kecemasan. Ini semua menciptakan ketidakseimbangan di dalam hidup yang kemudian melahirkan beragam bentuk penyakit, baik penyakit batin maupun penyakit badan.

Tiga, ada dua bentuk penyakit batin yang kerap muncul, ketika pikiran seseorang melompat tanpa arah, yakni depresi dan insomnia. Di dalam keadaan ini, pikiran seperti kereta super cepat yang tak bisa dikendalikan. Orang kehabisan energi hanya untuk sekedar berpikir tanpa arah. Banyak orang lalu lari ke narkoba dan bahkan bunuh diri, guna melepaskan diri dari keadaan ini.

Beragam bentuk penyakit kronis, yakni kelainan organ, seperti jantung, darah tinggi, kanker dan sebagainya, juga hasil dari ketidakseimbangan. Ini sebenarnya bukanlah penyakit, melainkan gejala. Akarnya adalah pola hidup yang tak seimbang, terutama pikiran-pikiran yang suka melompat tanpa arah, dan menimbulkan ketegangan di dalam pikiran maupun badan.

Empat, akan tetapi, jika pikiran melompat ini bisa disadari, ia juga bisa menjadi alat penyembuhan. Orang tak lagi terpaku pada pengalaman buruknya, tetapi bisa mengarahkan pikirannya ke saat atau tempat yang menyenangkan. Dalam arti ini, pikiran yang melompat menjadi mekanisme pertahanan diri dari depresi dan trauma. Ia bisa membawa orang ke tempat yang membahagiakan di dalam pikirannya, walaupun hanya sesaat.

Lima, bagi para pekerja seni, pikiran yang melompat juga bisa menjadi sumber kreativitas. Ide-ide baru muncul, bukan dari nalar sehari-hari, tetapi dari lompatan logika yang tak terduga. Inilah sumber kejeniusan para pemikir dan seniman besar dunia. Orang bisa melihat dunia dari kaca mata yang berbeda, ketika pikirannya melompat ke berbagai arah.

Membangun Otonomi Batin

Tentu saja, kita ingin menjadi pribadi yang kreatif, namun jauh dari depresi dan beragam penyakit lainnya. Kita ingin bisa memanfaatkan dampak baik dari pikiran yang suka melompat tersebut, serta menjauh dari dampak negatifnya. Apakah ada cara untuk melakukan ini? Ironisnya, penelitian yang baru saja dilakukan di bidang neurosains ini juga sudah menjadi tema pergulatan para pemikir filsafat Timur, seperti Shiva, Buddha dan Lao Tzu. Ada dua hal yang kiranya bisa dilakukan.

Pertama, memahami pikiran yang melompat dan memanfaatkan dampak baiknya dapat disebut juga sebagai otonomi batin. Ini adalah kemampuan manusia untuk menentukan arah maupun isi pikirannya. Hal ini memang tidak bisa dilakukan seratus persen. Namun, dengan latihan yang tepat, orang bisa mengisi sebagian besar hidupnya dengan kesadaran dan kebebasan.

Dua, latihan tepat yang dimaksud adalah yoga dan meditasi. Keduanya sudah berkembang lama di dalam tradisi pemikiran Timur. Meditasi berarti berupaya untuk sepenuhnya hidup dengan kesadaran penuh disini dan saat ini dari saat ke saat, sehingga orang paham akan jati dirinya yang sebenarnya. Yoga adalah sebentuk meditasi yang dilakukan dalam gerak. Keduanya berupaya mengembalikan pikiran ke dalam tubuh, sehingga pikiran tidak lagi terlalu banyak melompat tanpa arah.

Meditasi bukanlah sekedar duduk, tetapi juga merupakan gaya hidup. Gaya hidup meditatif berarti orang hidup dalam kesadaran saat ke saat akan segala sesuatu yang terjadi. Ia tidak hanyut dalam lompatan pikiran yang kerap kali tanpa arah, dan menyiksa. Jika ini diterapkan dengan konsisten, orang akan memperoleh otonomi batin yang membuat hidupnya lebih bermutu.

Isi dan arah pikiran pun bisa dipilih dengan sadar. Inilah kebebasan yang sejati. Kita pun tidak lagi tidur sambil berjalan…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bottom of Form

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

16 tanggapan untuk “Bagaikan Tidur Sambil Berjalan”

  1. sepakat!! inti tulisan diatas, adalah gambaran hidup manusia,sepertinya “monyet mabuk disengat kakajengking lompat dari pohon kepohon tanpa beristirahat”.
    kalau kita menerima keadaan tsb dengan senyum damai, dan memulai fokus dari saat ke saat lagi, sangatlah “membangun nalar sehat dan hati nurani”.
    monyet dalam kepala (das ego-bewusstsein) selalu berkomentar atas hidup kita, kalau kita tidak menguasai monyet tsb, hidup kita jadi sulit. monyet tsb selalu hidup bersama kita.
    fazit: kita terima monyet yang berkomentar dan ada baiknya kita menggunakan olah monyet tsb utk kematangan hati nurani. (sudah tertulis di cela2 kalimat diatas )
    dalam hidup semua relative.
    untuk memahami “kehidupan/jalan hidup” manusia ada jalan, hanya ada baiknya kita sendiri sebagai peminat mengambil tindakan tanpa berpikir panjang2. ( tertulis di literatur2 tua )
    awal dari semua tindakan cukup lah hanya duduk dan napas, lain2 tidak ada dan tidak perlu.
    salam hangat!

    Suka

  2. Saya juga sering mengalami ini, dan benar benar menyiksa….terima kasih pak, tulisannya sangat bermanfaat👍

    Suka

  3. Apakah introspeksi diri sama dengan meditasi pak? Ataukah bagian daripada meditasi? Atau malah berbeda dengan meditasi pak?

    Suka

  4. Bagi sya sebagai orang yg enggan berfikir dlm arti tidak tahu harus berfikir spti apa dn apa yg hrs dilakukan.. Apa yg hrs sya perbuat pak??

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.