Kebebasan dan Empati

Abed Alem

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita ingin menjadi manusia bebas. Kita ingin bisa membuat keputusan kita sendiri terkait dengan hidup yang kita jalani. Kita ingin bisa berpikir bebas. Kita ingin bisa bertindak bebas, seturut dengan pilihan yang kita buat.

Kita ingin bisa memilih hobi yang ingin kita tekuni. Kita ingin bisa memilih orang yang kita cintai. Kita juga ingin bisa memilih agama yang kita anut. Namun, kebebasan juga memiliki banyak tantangan.

Kita dibatasi oleh kemampuan kita. Kita dibatasi oleh keadaan diri kita. Kita dibatasi oleh masyarakat yang ingin memenjara kita dengan norma-norma yang tak masuk akal. Pada akhirnya, kita juga dibatasi dengan kematian.

Pada tingkat yang lebih dalam, kita dibatasi oleh hukum sebab akibat. Kehendak bebas pun seolah menjadi ilusi. Dibaliknya terdapat kaitan sebab akibat yang tak terhitung banyaknya. Semua pilihan sudah dapat diramal dengan perhitungan yang tepat.

Namun, ironisnya, menyadari bahwa kita tidak bebas adalah sebuah bentuk kebebasan. Menyadari bahwa kita hidup di bawah hukum sebab akibat adalah sebentuk kebebasan. Kesadaran adalah simbol dari kebebasan. Dengan kesadaran, semua hal menjadi mungkin.

Sayangnya, kerap kali, kita salah memahami arti kebebasan. Kita menyamakan kebebasan dengan bertindak seenaknya. Kita mengumbar nafsu dan keserakahan atas nama kebebasan, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini, kita membutuhkan empati.

Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Kita tidak ingin disakiti, maka kita tidak boleh menyakiti orang lain. Kita tidak ingin ditipu, maka jangan menipu orang lain. Empati adalah dasar bagi hidup bersama.

Jadi, kebebasan membutuhkan empati, dan empati membutuhkan kebebasan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi. Jika salah satu hilang, maka yang lainnya akan menjadi pincang, lalu justru merusak.

Jadi, silahkan jalani hidup anda dengan bebas dengan empati di dalamnya…

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

18 tanggapan untuk “Kebebasan dan Empati”

  1. sepaham pak, betul2 jitu.
    pengalaman saya untuk “merasakan kebebasan”sangatlah berkaitan dengan kesadaran, perhatian, los lassen, erst dann erfahren wir, dass das leben grenzenlos ist, wir spüren die freiheit. schon der ansatz, der wille zum zazen führen uns zum richtigen lebendigen leben. semua nya balik ke “nalar sehat dan hati nurani”. unser versuch “zurück zum urgrund” ist schon der richtige weg zur freiheit. letztlich ist die gemeinte freiheit m.e.n. eine art das leben voll zu geniessen. also wenn wir bei der übung bleiben, kommen die “anderen dinge” von alleine.
    salam hangat.

    Suka

  2. “paham”, eng verwandt mit verstand. den begriff sollten wir möglichst klein halten, dann spüren wir “kebebasan”, auch es wenn nur für eine kurze dauer ist. die “übung” schmeckt nach “mehr”.
    gasho !!

    Suka

  3. Artikel ini mengingatkan saya pada konsep FREE WILL VS DETERMINATION, atau dikenal sebagai kehendak bebas vs ketetapan.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Das wahre Selbst als die Grundlage der Freiheit und des Bewusstseins. Es ist auch die Wurzel der Empathie. Aber leider erreichen viele Leute noch nicht diese Ebene. Sie denken, dass Freiheit bedeutet, alle Dinge ohne Verantwortung zu tun. Dieses Verständnis ist natürlich falsch und gefährlich für das Leben. Deswegen brauchen sie die Empathie als die Grenze der Freiheit.

    Suka

  5. Iya. Itu salah satu perdebatan tertua di dalam sejarah manusia. Namun, fakta bahwa kita sebagai manusia bisa menyadari keterbatasan yang kita punya justru merupakan tanda kebebasan. Bagaimana menurut anda?

    Suka

  6. ich bin mit ihrem o.g. komentar einverstanden. es hilft sehr viel , wenn wir im alltag versuchen in kleinen schritten wertzuschätzen. so wie sie geschrieben haben in “prihatin 2018”.

    Suka

  7. Salam pak reza. tulisan yg mendamaikan. Saya sering berkunjung ke situs bapak dan baca2 karya bapak, dari tahun2 sebelumnya sampai akhir2 ini. Namun saya merasa ada kejanggalan pada gaya tulisan bapak di tahun sebelumnya agak berbeda pada tahun2 sekarang. Saya tidak bisa membahas satu persatu. Tetapi saya lebih suka atau lebih tepatnya lebih setuju dengan gaya tulisan bapak yang sekarang, mulai dari judul argumen bapak dll. Apakah penilain saya tepat atau sebaliknya pak ? Thk uu

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.