Membina Hubungan di Era Sosial Media

Key of Love, Vladimir Kush

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Mempunyai hubungan dengan orang lain adalah dorongan alami setiap manusia. Bagaimana pun, kita adalah mahluk sosial. Kita butuh orang lain tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga kebutuhan batin kita akan afeksi. Kerinduan untuk merasa dekat dengan orang lain merupakan salah satu dorongan paling alami sekaligus paling kuat di dalam diri manusia.

Pernikahan merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Di dalam sejarah, pernikahan dilihat sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan keadaan ekonomi sebuah keluarga. Pernikahan juga bisa dilihat sebagai upaya untuk naik status di mata masyarakat, terutama pernikahan dengan keluarga bangsawan atau kaya raya. Pola pikir semacam ini masih banyak tersebar di masyarakat kita.

Kedekatan dengan orang lain ini juga dianggap sebagai sumber kebahagiaan manusia. Memang, uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Hanya hubungan yang harmonis dan dekat dengan orang lain yang bisa memberikan kebahagiaan yang seutuhnya. Ketika uang berlimpah, namun hubungan dekat dengan orang lain menghilang, maka kesepian dan penderitaan adalah buahnya.

Namun, sangatlah sulit untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain sekarang ini. Begitu banyak hal yang menghalangi kedekatan batin antara dua pribadi yang saling mencintai. Di kota-kota besar dunia, kita justru bisa menemukan orang-orang yang sangat kesepian. Abad 21 adalah abad dengan tingkat bunuh diri tertinggi di sepanjang sejarah manusia.

Tantangan Hubungan

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, di abad 21 ini, budaya egoisme dan individualisme berkembang begitu cepat. Orang hanya memikirkan diri dan kepentingannya sendiri. Hubungan dengan orang lain dibuat, jika menguntungkan diri sendiri, bahkan jika itu merugikan orang lain.

Dua, hubungan manusia berubah menjadi sekedar transaksi. Aku menghitung untung rugi di dalam hubunganku dengan orang lain, bahkan dengan keluarga. Untung rugi tersebut dihitung dengan uang yang dikeluarkan, dan yang mungkin diperoleh dari hubungan tersebut. Uang lalu menjadi ukuran bagi segala-galanya.

Tiga, budaya berkorban menjadi asing, dan nyaris punah. Orang tidak lagi mengenal arti pengorbanan. Mengalah di dalam sebuah perdebatan langsung dianggap sebagai suatu kelemahan yang mesti dihancurkan. Tak heran, tingkat perceraian di dalam rumah tangga di tingkat internasional lebih dari 50 persen di tahun 2016 lalu.

Empat, hubungan yang bermakna dan tulus juga menjadi semakin sulit di era sosial media. Teknologi informasi komunikasi memang mendekatkan yang jauh, namun menjauhkan yang dekat. Orang sibuk mempercantik profil di sosial media, namun lupa memperhatikan teman dan kerabat yang ada di sekitarnya. Keterasingan antar manusia yang melahirkan penderitaan lalu menjadi buahnya.

Lima, di era sosial media, dan perkembangan teknologi informasi serta komunikasi secara umum, perselingkuhan menjadi sangat mudah. Orang menjalin kasih dengan pihak lain, dan melukai pasangannya, lewat internet. Mantan lama yang sudah putus bisa terhubung lagi berkat keajaiban sosial media. Jika tidak dikelola dengan nalar sehat dan hati nurani, sosial media bisa menjadi rumah perselingkuhan virtual yang merusak tidak hanya hubungan, tetapi juga rumah tangga.

Enam, di sosial media, orang bisa saling menipu satu sama lain. Profil dipalsukan, guna memikat orang lain. Orang menciptakan identitas baru yang sama sekali berbeda dari kehidupan nyatanya sehari-hari. Hubungan yang didasarkan oleh kepalsuan virtual semacam ini sudah pasti akan hancur di tengah jalan.

Tujuh, sosial media juga menjadi tempat untuk mengincar orang lain. Foto-foto seksi dipamerkan. Jika orang tak mampu mengelola nafsunya, foto-foto itu kerap kali dijadikan bahan untuk memuaskan diri sendiri, tak peduli jika yang punya foto sudah memiliki hubungan dekat dengan orang lain. Dengan kata lain, sosial media kerap menjadi lahan bagi para penjahat kelamin dan pemerkosa.

Delapan, sosial media juga kerap menjadi lahan untuk mengumbar badan, demi memikat orang lain. Pada hemat saya, ini sah untuk dilakukan, ketika orang masih sendiri, dan masih mencari hubungan yang serius. Namun, jika itu sudah didapatkan, hal ini tentu tidak perlu lagi dilakukan. Mengumbar badan kerap membuka kemungkinan besar untuk perselingkuhan dan bahkan penjahat kelamin yang pasti melukai banyak pihak.

Membina Hubungan

Delapan hal di atas tentu perlu diperhatikan, jika orang ingin membina hubungan yang bermakna di era sosial media sekarang ini. Budaya egoisme dan individualisme harus disadari sepenuhnya, sehingga ia tidak merusak hubungan yang bermakna dengan orang lain. Orang juga perlu belajar berkorban, yakni memperhatikan kepentingan yang lebih luas sekaligus lebih tinggi, daripada kepentingan dirinya. Ini merupakan syarat untuk membangun sekaligus merawat sebuah hubungan yang bermakna dewasa ini.

Di era sosial media, orang perlu membersihkan profil online-nya, ketika ia memasuki sebuah hubungan yang serius. Tidak hanya itu, secara umum, norma kepantasan dan kesopanan perlu diperhatikan disini, guna menghindari para penjahat kelamin dan pemerkosa yang mengintai setiap saat di dunia maya. Kebebasan berekspresi memang bernilai tinggi. Namun, jangan sampai kebebasan tersebut menghancurkan hubungan yang bermakna, apalagi rumah tangga, apalagi mengancam keselamatan diri.

Pada akhirnya, membina sebuah hubungan adalah soal kerja sama dua pihak. Perpisahan bisa terjadi, jika salah satu pihak memang sudah tak lagi mampu atau tak mau melanjutkan hubungan. Ini membutuhkan sebuah proses belajar yang tak pernah selesai. Pertanyaan yang menggantung berikutnya adalah, apakah anda siap?

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Membina Hubungan di Era Sosial Media”

  1. Setuju sekali dengan mas Reza. Seringkali di kota-kota besar, hubungan antar manusia hanya sekedar transaksi.Berteman apabila ada keuntungan yang bisa didapatkan. Selalu ada motif tersembunyi di balik perkenalan atau istilahnya ada udang di balik batu. Masalahnya adalah apakah setiap individu mampu melepaskan egoisme masing-masing dan mencoba memahami makna pengorbanan dan persahabatan sejati? Hidup tidak sekedar untung dan rugi, ia melampaui nilai-nilai ekonomi, dan juga harus dirasakan dengan pemikiran yang jernih bebas dari “nafsu” tertentu.
    Nice article

    Suka

  2. Setuju sekali dengan mas Reza. Seringkali di kota-kota besar, hubungan antar manusia hanya sekedar transaksi.Berteman apabila ada keuntungan yang bisa didapatkan. Selalu ada motif tersembunyi di balik perkenalan atau istilahnya ada udang di balik batu. Masalahnya adalah apakah setiap individu mampu melepaskan egoisme masing-masing dan mencoba memahami makna pengorbanan? Hidup tidak sekedar untung dan rugi, ia melampaui nilai-nilai ekonomi, dan juga harus dirasakan dengan pemikiran yang jernih bebas dari “nafsu” tertentu.
    Nice article

    Suka

  3. sepakat dengan semua points pak.
    diselip2 begitu banya kalimat saya tersandung dengan kata “nalar sehat dan hati nurani”. hanya ini lah jalan keluar dari dilemma sosmed.
    bagaimanapun juga ada baiknya kita kasih chance untuk menemui kalangan”nalar sehat dan hati nurani”. dengan ketekunan dan kesabaran saya yakin , tujuan tersebut terjangkau.
    salam hangat !

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Reza A.A Wattimena

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.