Emosi dan Pengampunan

Rate-P

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Para pengendara di Jakarta pasti pernah mengalami gejolak emosi yang kuat. Cuaca yang panas datang berbarengan dengan macetnya jalan raya. Ini semua ditambah dengan perilaku para pengendara yang kerap kali tidak patuh aturan, dan mau seenaknya sendiri. Gejolak rasa marah memang telah menjadi sahabat akrab para pengendara Jakarta.

Gejolak emosi yang kuat juga kerap kali muncul, ketika kita berhadapan dengan keluarga di rumah. Fakta hubungan darah tidak mengurangi dorongan untuk marah, ketika berhadapan dengan anggota keluarga yang menyebalkan, seperti anak yang sulit diatur, sampai suami atau istri yang tidak menjalankan fungsi sosialnya di dalam keluarga. Gejolak emosi marah biasanya bermuara pada tindakan ataupun kata-kata kasar yang justru memperkeruh suasana. Yang paling buruk, keluarga tersebut bisa pecah.

Gejolak emosi terkuat biasanya dialami di tempat kerja. Atasan yang bertindak seenaknya, dan suka menindas, atau bawahan yang bekerja tanpa profesionalitas. Ini semua ditambah dengan beban kerja yang terus meningkat dengan dateline yang amat pendek. Gejolak emosi yang tak terkelola akan bermuara pada penyakit fisik maupun mental yang beragam.

Keadaan, Keinginan dan Emosi

Gejolak emosi kuat terjadi, ketika keadaan tak berjalan sesuai dengan keinginan kita. Artinya, kita tidak dapat mengatur keadaan sebagaimana kita inginkan. Semua berjalan seolah tanpa arah, dan tak sesuai rencana. Rasa takut pun muncul yang kemudian diikuti dengan rasa marah.

Marah dan takut adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Marah hanya dapat ada, karena ada rasa takut. Takut muncul, karena orang merasa tak mampu mengatur keadaan yang ada. Jika emosi marah dan takut tak dikelola, maka keduanya akan bermuara pada beragam bentuk penderitaan dan penyakit, baik fisik maupun mental.

Beragam kelainan organ, baik itu jantung, paru-paru, darah tinggi, ginjal, usus, tumor dan bahkan kanker, muncul karena emosi yang terpendam. Emosi yang kuat tak terkelola dengan baik, lalu menciptakan ketidakseimbangan di dalam diri. Ketidakseimbangan inilah yang membuat beragam organ tubuh tak berfungsi semestinya. Segala bentuk pengobatan kedokteran modern akan percuma, jika tidak ada upaya untuk mengenali dan mengelola gejolak emosi kuat yang terpendam.

Emosi dan Jejak-jejaknya

Kajian tentang emosi sudah cukup tua di dalam sejarah manusia. Sekitar 300 tahun sebelum Masehi, Aristoteles, pemikir Yunani kuno, memahami emosi sebagai semua bentuk perasaan yang terus berubah. Emosi tersebut mempengaruhi cara berpikir dan kemampuan manusia di dalam membuat keputusan. Ia juga kerap kali dibarengi dengan rasa sakit ataupun nikmat di bagian-bagian tubuh tertentu.

Di dalam penelitian ilmu pengetahuan modern, emosi juga secara sederhana dibagi menjadi dua, yakni emosi baik dan emosi buruk. Emosi baik adalah emosi yang memberikan kenyamanan untuk tubuh, sekaligus dapat diterima secara sosial, misalnya menangis karena berduka, atau gembira karena mendapatkan hadiah. Emosi buruk adalah emosi yang menyakiti tubuh, karena menciptakan ketegangan dan ketidakseimbangan, seperti marah dan takut. Sebuah gejolak emosi juga dianggap buruk, jika ia tidak dapat diterima secara sosial, misalnya marah besar di depan umum, dan sebagainya.

Emosi juga tidak hanya merupakan gejala mental, tetapi juga fisik. Ketika memahami manusia, mental dan fisik memang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Gejolak emosi yang kuat juga selalu dibarengi dengan gejolak fisik yang kuat, mulai dengan pola napas, tekanan darah sampai dengan keringat di tubuh. Emosi yang amat sangat kuat bahkan bisa memicu kematian, terutama ketika pembuluh darah pecah, karena tekanan darah yang terlalu tinggi.

Emosi dan Pengampunan

Kebanyakan emosi manusia bersifat normal. Tubuh masih bisa mengelolanya secara alami. Namun, beberapa gejolak emosi negatif yang kuat, seperti marah dan takut, meninggalkan jejak-jejaknya di dalam tubuh. Dampaknya pun beragam, mulai dari keresahan batin, sakit di badan, melemahnya daya tahan tubuh (sehingga orang mudah terkenal infeksi bateri ataupun virus dari luar) sampai dengan kelainan fungsi organ.

Bagaimana mengelola emosi negatif yang kuat yang meninggalkan jejaknya di dalam tubuh? Ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, emosi negatif yang muncul perlu untuk dikenali. Pengenalan ini penting dilakukan, supaya orang tidak hanyut ke dalamnya.

Dua, pengenalan emosi negatif lalu diikuti dengan pemberian ruang. Artinya, emosi negatif tersebut harus diberikan ruang di dalam diri. Ia tidak ditolak dan juga tidak diikuti. Ia diberikan ruang dengan disadari sepenuhnya keberadaannya.

Tiga, emosi negatif yang kuat itu pada dasarnya merusak tubuh. Tubuh menjadi tidak seimbang, ketika emosi negatif yang kuat datang berkunjung. Maka dari itu, orang harus belajar mengampuni semua emosi negatif yang muncul di dalam dirinya. Pengampunan bukanlah penolakan terhadap emosi, melainkan upaya mengembalikan keseimbangan dengan menerima emosi negatif tersebut apa adanya sebagai bagian dari diri.

Pengampunan ini bagaikan sihir yang membersihkan diri. Ketika kita mengampuni emosi-emosi negatif yang bercokol di dalam diri, kita akan merasakan kelegaan dan kedamaian yang luar biasa besar. Kita akan memperoleh pembebasan dari kesalahpahaman yang selama ini menjadi beban hidup kita. Mengampuni jejak-jejak emosi di dalam diri juga berarti mengampuni diri kita sendiri, beserta segala kesalahan, kekecewaan dan rasa bersalah yang dibawanya selama ini.

Hanya jika kita bisa mengampuni diri kita sendiri, kita lalu bisa mengampuni orang lain sepenuhnya. Setelah pengampunan datang, cinta yang sejati pun juga bertumbuh, yakni cinta yang tanpa pamrih. Ketenangan, kedamaian dan keseimbangan adalah buah dari proses ini. Orang lalu menjadi dirinya sendiri yang penuh welas asih dan kedamaian yang sejati.

Bagaimana?

Bagaimana caranya? Cukup pejamkan mata, rasakan sensasi di tubuh, tarik napas, dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua emosi negatif di dalam diriku.” Hening sejenak, dan rasakan sensasi di tubuh. Lalu tarik napas lagi, dan ketika mengeluarkan napas, katakan, “Aku mengampuni semua kemarahan di dalam diriku.” Kalimat ketiga pada saat mengeluarkan napas adalah, “Aku mengampuni semua ketakutan di dalam diriku.”

Lakukan beberapa kali, lalu coba rasakan kedamaian yang muncul di dalam hati selama beberapa saat. Lakukan ini secara rutin di setiap kesempatan yang mungkin. Idealnya, ini dilakukan minimal 15 menit dalam sehari. Namun, beragam kesempatan juga bisa dimanfaatkan, semisal ketika macet di jalan raya atau sedang menunggu seseorang.

Selama melakukan ini, jangan lupa untuk tersenyum. Senyum memberikan rasa tenang. Senyum adalah dampak sekaligus sebab bagi kebahagiaan. Silahkan dicoba. Saya tunggu sharing-nya di comment section.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

18 tanggapan untuk “Emosi dan Pengampunan”

  1. bener pak !! kalau kita melatih diri kita seperti diatas dengan tekun dan sabar, saya hanya mampu berkomentar “benar2 dahsyat”!!
    lain kata tidak ada yang cocok !
    salam hangat!
    gasho !

    Suka

  2. Salam pak, trima kasih untk uraian yg menyegarkan dan mencerahkan. Bagi saya penguasaan emosi positif adalah kunci hidup bahagia. Orang yg kaya pun jika emosinya lebih bnyak negatif mlulu tntu tidk akan bhagia. Maka perlu platihan diri sbagaimana yg bapa ktkan pada bagian akhir. Saya jga sdah sering lakukan ini jika mnemukan tantangan dan efeknya mmang baik. Tapi pak yg mau saya tnya apakah hal penanganan emosi juga bisa dilakukan dalam konteks doa. Bukanlah praktek tarik nafas ini juga bagian dari meditasi yg slalu dilakukan para agamawan saat latihan rohani. Seorang teman saya pernah sharing, setiap kena macet total di jakarta banyak org frustasi, bunyi klakson mobil berdering tak hentinya, polusi bau asap mnyengat, panas trik gerah.. Di saat itulah dia menyiasatinya dengan melafalkan doa2 dan itu mmbuatnya nyaman, tdk trkontaminasi situasi d skitarnya.

    Suka

  3. Artikel ini sangat membantu saya.. Keterbatasan tubuh kita harus kita ampuni dan memberikan senyum. Dan lebih menerima siapa kita sebenarnya drpda selalu berkutat dengan standart yg diciptakan oleh pikiran kita yg sering kita tidak sadari dan biasanya kita lebih terorientasi oleh lingkungan padahal semuanya berpusat dr dalan dirii.

    Suka

  4. sebuah metode yang sangat menarik, terlepas dari semua konsep yang bung reza paparkan, semua itu bermuara tentang cara kita menerima setiap kehidupan yang kita jalani, dengan begitu ketakutan, ambisi, harapan, kecemasan akan terberangus dengan sendirinya. sallam

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.