Gedankenlosigkeit

                                                                    Pinterest

atau tentang Ketidakberpikiran

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti Lintas Ilmu, Tinggal di Jakarta

Gedankenlosigkeit… Jangan khawatir, karena istilah ini bukanlah sebuah mantra sihir. Ia tidak memiliki kekuatan gaib untuk menyihir orang, seperti misalnya di film Harry Potter. Ini merupakan kata yang lahir dari rahim filsafat Jerman, terutama dari pemikiran Hannah Arendt dan Martin Heidegger. Artinya sederhana, yakni ketidakberpikiran, atau sebuah keadaan, dimana orang tidak lagi menggunakan pikirannya, sehingga ia hidup hanya mengikuti apa yang ada, tanpa tanya.

Gedankenlosigkeit dialami oleh seseorang, ketika ia tidak lagi berpikir kritis. Ia gampang sekali percaya pada apa yang dikatakan orang, tanpa kecurigaan apapun. Ia gampang disetir, sehingga gampang sekali dipergunakan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Ia bagaikan robot yang diprogram untuk patuh buta pada tuannya.

Agama, Tradisi dan Birokrasi

Di Indonesia, gejala Gedankenlosigkeit sangatlah mudah untuk diamati. Pertama, orang Indonesia gampang sekali diperdaya dengan menggunakan ajaran-ajaran agama. Berhadapan dengan agama, pemikiran kritis mereka seolah mati suri. Mereka mengikuti tanpa pertanyaan, bahkan ketika diminta untuk bersikap rasis dan jahat terhadap kelompok lain.

Akibatnya, agama di Indonesia seringkali digunakan sebagai alat politik dan ekonomi. Inilah taktik yang digunakan pada pilgub Jakarta di awal tahun 2017 ini, sehingga terpilihlah gubernur yang dipertanyakan integritas kepemimpinannya, seperti sekarang ini. Kepatuhan pada agama juga kerap dijadikan mesin pemeras keuntungan ekonomis. Tak heran, banyak agama besar di dunia ini selalu meminta uang dari pemeluknya yang taat dan tak kritis.

Kedua, di Indonesia, orang juga tunduk patuh pada tradisi. Tradisi dianggap mengandung nilai-nilai kesucian dan kebijaksanaan dari generasi sebelumnya. Ini tentu ada benarnya. Namun, tidak ada hal yang 100 persen baik di muka bumi ini, termasuk tradisi.

Tradisi juga kerap menyembunyikan unsur-unsur penindasan. Di banyak tradisi, kaum perempuan dianggap sebagai mahluk nomor dua. Banyak juga tradisi yang melihat perbudakan sebagai sesuatu yang alamiah, sehingga diperbolehkan. Jelaslah bahwa tradisi pun banyak mengandung penindasan, sehingga ia perlu terus dipahami secara kritis.

Ketiga, orang Indonesia juga gampang begitu saja mengikuti kebiasaan. Hal-hal lama diikuti, tanpa tanya. Ini dengan mudah ditemukan di berbagai kehidupan berorganisasi, terutama dalam soal mengikuti SOP (standard operating procedure), atau tata cara melakukan sesuatu. Akibatnya, tata kelola organisasi menjadi lambat dan cenderung menyusahkan banyak orang.

Birokasi menebal, sehingga memperlambat semua proses. Ini paling gampang ditemukan di berbagai institusi pemerintahan. Gedankenlosigkeit, atau ketidakberpikiran, terwujud nyata di dalam kepatuhan buta terhadap kebiasaan dan sistem lama yang tak lagi cocok dengan perubahan jaman. Pola seperti ini membunuh segala bentuk pembaruan, termasuk sikap kreatif yang berbuah pada penemuan hal-hal baru.

Robot dan Kambing

Manusia-manusia yang tak berpikir hidup bagaikan robot-robot patuh, atau kambing-kambing yang patuh buta pada perintah gembalanya. Mereka bisa sangat cerdas. Namun, kecerdasannya dipakai secara terbatas, yakni untuk mengabdi kepentingan politik dan ekonomi yang sempit. Pendek kata, mereka adalah budak-budak cerdas yang patuh buta, dan siap mengabdi tuannya, tanpa tanya.

Mereka merupakan hasil dari sistem pendidikan yang sudah rusak. Pendidikan semacam ini membunuh pertanyaan demi kepatuhan terhadap tradisi dan kebiasaan. Pendidikan semacam ini menyiksa batin, dan membuat orang menjadi putus asa. Hasilnya adalah robot dan kambing patuh yang siap dipakai untuk mengabdi kekuasaan ekonomi dan politik yang cenderung tak beradab.

Namun, Gedankenlosigkeit bukanlah sebuah penyakit yang tak bisa disembuhkan. Ia bisa diubah, jika orang mau belajar untuk mengambil jarak dari tradisi dan kebiasaan yang telah ia ikuti, dan mulai mengajukan pertanyaan. Ini adalah sebuah latihan untuk berpikir kritis. Hanya dengan begini, pembaruan bisa dimulai, dan nalar sehat bisa berkembang menjadi panduan hidup bersama.

Bukankah itu yang kita semua inginkan?

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

4 tanggapan untuk “Gedankenlosigkeit”

  1. saya pikir di Indonesia bukuan lagi kehilangan nalar, melainkan hilangnya akal sehat (commen sense), sehingga tidak bisa melakukan refleksi atas dunia dan sesamanya

    Suka

  2. thema yang sangat menarik untuk direnungkan. menurut pendapat saya, sedari lahir kita di didik di indonesia untuk menurut perkataan orang tua dengan segala akibat nya.
    mendorong kita kearah “blinde gehorsamkeit”, seperti terlaksana di negara komunis , diktatur. keadaan “gedankenlosigkeit” bisa di achiri / di perkecil dengan memulai minat untuk turut mengambil bagian dalam hidup, untuk peminat yang senang membaca, membaca buku2 ringan yang dewasa ini gitu banyak beredar. saya mengutarakan pendapat ini, sebab apa thema diatas sudah teralami. kita tidak perlu “menuding” masa2 lalu , ada baik nya kita mencari jalan keluar dari cengkeraman tradisi, agama dsb dsb, yang bisa menyebab kan kita “gedankenlos”. siapa yang minat dalam hal “geistige reife”, bisa mencari jalan sendiri. yang penting ialah , sadar, bahwa “ketidak pemikiran” perlu diatasi. kalau di tinjau lebih dalam lagi, keadaan tersebut sering kita alami di kalangan yang jalan pikiran nya begitu sempit. bukan hanya di indonesia saja, bahkan di negara barat. saya alami di kalangan sendiri.
    kita hanya bisa lihat, dan memandang dari sudut spirituell . bahkan semua nya sangat berfaedah untuk kita sendiri, dalam hal kematangan jiwa (???) . saya sangat berminat untuk bertukar pikiran di forum ini dan menunggu tanggapan dari peminat2 lain. salam hangat.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.