Paranoia Global

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti Lintas Ilmu, Tinggal di Jakarta

Ia selalu gelisah. Di dalam kepalanya, seluruh dunia adalah musuhnya. Ia merasa, semua orang membencinya. Mereka siap untuk bersekongkol untuk menjatuhkan semua usahanya.

Pikiran-pikiran semacam itu amat menyiksanya. Ia sulit untuk tidur. Makan pun terasa tidak nikmat. Karena kekalutan pikirannya ini, ia cenderung bersikap kejam tidak hanya kepada teman-temannya, tetapi juga pada keluarganya.

Pikirannya pun cenderung tidak jernih, ketika membuat keputusan. Akibatnya, ia banyak membuat keputusan yang merugikan dirinya sendiri, dan orang lain. Karirnya pun selalu berada di ujung tanduk. Secara keseluruhan, ia hidup dalam penderitaan.

Paranoia

Inilah gejala paranoia. Paranoia adalah keadaan pikiran manusia yang dipenuhi dengan kecemasan, iri hati, kecemburuan dan rasa bangga diri berlebihan. Ia disebabkan gangguan kepribadian tertentu, penggunaan obat-obat terlarang dan schizophrenia, yakni keadaan, ketika orang tercabut sepenuhnya dari kenyataan yang ada. Paranoia juga ditandai dengan kecurigaan berlebihan terhadap orang-orang sekitar, tanpa bukti-bukti yang nyata.

Kata paranoia berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni paranoos, yang berarti pikiran yang teralihkan. Akar katanya adalah para, yakni tak biasa, dan noos yang berarti pikiran. Orang tak lagi bisa memisahkan antara kenyataan dan khayalan. Orang yang mengalami paranoia masih bisa tetap menjalankan perannya di masyarakat, walaupun dengan banyak hambatan.

Paranoia lahir dari pikiran dan perasaan yang ditekan. Orang menolak untuk mengakui dan menyadari perasaan-perasaan di dalam dirinya. Perasaan dan pikiran itu lalu menjadi bom waktu, dan meledak menjadi paranoia. Karena rasa takut dan marah terhadap dunia yang berlebihan, penderita paranoia cenderung hidup dalam kesendirian.

Di dalam ilmu psikiatri modern, paranoia terkait erat dengan gejala lainnya, yakni delusi. Delusi berarti kepercayaan mutlak seseorang tentang sesuatu yang sudah terbukti tidak ada di dalam kenyataan. Ada dua bentuk dasar dari delusi. Yang pertama adalah delusi, bahwa seseorang itu lebih hebat dari orang-orang lainnya, maka ia menjadi sombong. Yang kedua adalah delusi, bahwa semua orang membenci dan akan menghancurkan hidup orang tersebut.

Unsur Lebih Luas

Paranoia menjadi gejala umum di dalam masyarakat kapitalis materialistik, seperti yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia dewasa ini. Di dalam masyarakat semacam ini, ikatan sosial menjadi lemah, dan orang hidup dalam tembok-tembok kecil yang mereka bangun masing-masing. Di dalam kesendirian tersebut, orang lalu merasa cemas akan segala sesuatu, seringkali tanpa dasar yang nyata. Kecemasan menjadi begitu kuat, sehingga orang terjerumus ke dalam berbagai gangguan kepribadian, bahkan bunuh diri.

Paranoia global, sebagai hasil dari tersebarnya pola masyarakat kapitalistik materialistik yang hanya mementingkan keuntungan ekonomi belaka di atas segala sisi kehidupan manusia, juga ditandai dengan kelupaan mendasar terhadap arti kehidupan. Sebenarnya, kehidupan manusia itu memiliki banyak sisi, mulai dari sosial, spiritual, rohaniah, dan fisik. Semuanya saling terkait. Jika hanya unsur fisik saja yang terpenuhi, maka sisi-sisi lainnya akan terlupakan.

Kelupaan akan sisi-sisi lain kehidupan manusia ini menghasilkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini lalu menjadi sumber dari berbagai penyakit fisik maupun mental. Pada tingkat yang lebih luas, ketidakseimbangan ini adalah sumber dari beragam konflik dan perang. Keterpakuan pada unsur ekonomi, sebagai pemenuh kebutuhan fisik, adalah kesalahan berpikir yang amat merugikan.

Di dalam hidup berorganisasi, paranoia akan menghasilkan mental pengecut dan penuh rasa iri hati. Orang bekerja, semata karena rasa takut. Keputusan dibuat di atas dasar yang rapuh dan tidak adil, karena didasari pada iri hati kerdil dan prasangka buruk. Banyak oranisasi di Indonesia dikelola dengan pola-pola ini, sehingga kinerjanya rendah, dan daya saingnya amat lemah di tingkat internasional.

Pada tingkat global, ketegangan antara Korea Utara dan Amerika Serikat ini adalah buah dari paranoia yang tidak dikelola. Kedua pemimpin tersebut dibimbing rasa curiga dan ketakutan yang berlebihan, sehingga mereka bertindak tanpa akal sehat. Perang dunia ketiga pun menjadi kemungkinan nyata, ketika diplomasi didasari ketakutan dan prasangka buruk. Diplomasi dengan paranoia di antara negara-negara berkekuatan nuklir adalah titik awal dari kehancuran kita.

Melampaui Paranoia

Paranoia bisa dilampaui dengan kesadaran. Tidak ada terapi instan untuk menarik orang keluar dari paranoia. Orang hanya perlu menyadari gerak pikiran yang penuh kecurigaan dan kecemasan yang muncul di dalam dirinya. Dari kesadaran tersebut, orang lalu bisa membuat keputusan secara jernih, dan tidak hanyut ke dalam paranoia yang ada.

Ini tentu terdengar mudah. Namun, ia perlu dilatih terus menerus. Kesadaran sudah selalu ada di dalam diri manusia. Akan tetapi, karena keberadaanya tidak pernah diamati, maka orang cenderung melupakannya, dan lalu hanyut ke dalam paranoia dan delusi.

Pada tingkat yang lebih luas, sebuah bangsa bisa terjebak ke dalam paranoia kolektif. Bangsa tersebut akan terus mencari musuh, dan bahkan menciptakan musuh baru sendiri, jika tidak ada musuh yang nyata. Teknologi persenjataan akan berkembang pesat, guna menghancurkan musuh bayangan tersebut. Paranoia kolektif ini dengan mudah menyeret sebuah bangsa ke dalam peperangan tanpa faedah dengan negara lain.

Dengan demikian, paranoia jelas bukan masalah sederhana. Ia adalah masalah nyata yang menjadi akar dari banyak penderitaan dan konflik di dunia. Sudah waktunya, kita semua menyadari hal tersebut, dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengubahnya. Akhir kata, semoga tulisan ini tidak membuat anda terjebak ke dalam paranoia….

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Paranoia Global”

  1. sepertinya saya mengalami hal seperti di atas, bagaimana cara mengatasinya? give me some advice, thanks.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.