Krisis Kewarasan Global

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Pendiri Program “Sudut Pandang”, Peneliti di Bidang Filsafat Politik dan Pengembangan Organisasi

Beberapa minggu belakangan, beberapa belahan dunia diguncang beberapa peristiwa besar. Spanyol masih berkabung, karena serangan teroris di beberapa kotanya. Jumlah korban masih terus bertambah. Rasa takut masih tersebar luas tidak hanya di Spanyol, tetapi juga di berbagai negara Eropa.

Timur Tengah juga masih menjadi kawasan yang penuh dengan konflik. Konflik Israel dan Palestina meruncing beberapa minggu belakangan. Tindak balas dendam memperbesar skala konflik, dan menimbulkan lebih banyak korban. Perang saudara di Suriah, yang meliputi ketegangan regional sekaligus global antara Rusia dan Amerika Serikat,  juga masih jauh dari berakhir.

Di berbagai penjuru Asia Tenggara dan Asia Selatan, hantu radikalisme masih kuat bergentayangan. Radikalisme tersebut lalu berkembang menjadi gerakan terorisme yang menyebar kekerasan dan ketakutan di masyarakat luas. Di Indonesia, gerakan radikal menyusup dalam ke beragam kelompok masyarakat. Dasar negara Indonesia yang bersifat nasionalis dan terbuka pun kini terus mengalami ancaman.

Di tingkat nasional, Indonesia juga banyak mengalami masalah yang bersifat multidimensional. Korupsi di berbagai tingkat institusi pemerintahan dan parlemen masih menjadi masalah terbesar yang menghalangi kemajuan negara. Penegak hukum, yang menjadi ujung tombak upaya memerangi korupsi, justru kerap kali terlibat di dalam korupsi itu sendiri. Ketika ini terjadi, masyarakat luas pun merasa tak berdaya di dalam upaya memerangi korupsi.

Di tingkat yang lebih sempit, beragam organisasi, mulai dari bisnis sampai dengan institusi pendidikan, juga mengalami kegagalan tata kelola. Mereka gagal membangun budaya organisasi yang unggul, dan justru terjebak pada korupsi, budaya menjilat, diskriminasi, iri hati dan berbagai praktek buruk organisasi lainnya. Akibatnya, tingkat perpindahan karyawan amat tinggi, dan kinerja organisasi secara keseluruhan pun menurun. Dalam jangka menengah dan panjang, beragam organisasi tersebut lalu kehilangan kepercayaan masyarakat, dan lenyap dari ingatan.

Di abad 21 ini, banyak orang hanya bisa menemukan ketenangan, jika ia menggunakan obat tertentu. Inilah alasan, mengapa banyak artis yang terjebak kasus narkoba. Bagi mereka, ketenangan batin dan kreativitas berkarya lahir, karena obat yang mereka minum. Inilah salah satu krisis masyarakat yang bahkan bisa mempengaruhi kewarasan pribadi seseorang.

Semua ini, menurut saya, merupakan sebuah bentuk krisis kewarasan yang terjadi di tingkat global. Semua hal menjadi terbalik. Nilai-nilai kebaikan diabaikan, dan nilai-nilai yang buruk justru menjadi dominan di masyarakat. Orang-orang berprestasi tersingkir, sementara para penjilat dan koruptor justru memiliki kedudukan-kedudukan penting di masyarakat. Nietzsche punya istilah yang pas untuk itu, yakni pembalikan semua nilai (die Umwertung aller Werte).

Orang yang waras adalah orang yang melihat dunia apa adanya, lalu bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Ketika orang hanya melihat dunia sebagaimana mereka ciptakan di dalam pikiran maupun ambisi mereka, mereka kehilangan pijakan pada kenyataan. Inilah ciri utama orang-orang yang tidak waras, yakni kegagalan untuk berpijak pada kenyataan sebagaimana adanya. Mengapa ketidakwarasan ini lalu tersebar ke berbagai belahan dunia?

Pertama, untuk memahami ini, kita bisa belajar dari pemikiran Immanuel Kant, salah satu pemikir terbesar di dalam tradisi Jerman. Salah satu konsep terpenting di dalam filsafat politik Kant adalah “penggunaan akal budi secara publik” (öffentlicher Gebrauch der Vernunft). Artinya, kehidupan politik ditata dengan menggunakan prinsip-prinsip yang masuk akal. Dengan prinsip-prinsip yang masuk akal ini, kehidupan bersama lalu bisa ditata dengan damai, dan kemakmuran bersama pun bisa diwujudkan.

Tanpa akal sehat, atau rasionalitas, kehidupan bersama akan jatuh ke dalam kebiadaban. Inilah yang disebut Thomas Hobbes sebagai keadaan Bellum Omnia Contra Omnes, yakni keadaan perang semua melawan semua. Keadaan ini jelas merupakan cerminan ketidakwarasan masyarakat. Keadaan ini membawa dua dampak jelek lainnya, yakni reifikasi (Verdinglichung) dan alienasi (Entfremdung).

Kedua, di dalam ranah teori-teori Neo-Marxis, terutama pemikiran Karl Marx dan Antonio Gramsci, reifikasi dan alienasi dipahami sebagai dua ciri masyarakat kapitalis yang menindas kelas pekerja. Reifikasi adalah gejala pembedaan, dimana manusia dan hasil kerjanya dianggap semata-mata sebagai benda mati yang bisa diperjualbelikan. Sementara, alienasi adalah keadaan keterasingan kelas pekerja dari hasil karyanya, komunitas hidupnya dan bahkan dari dirinya sendiri, karena penindasan ekonomi, sosial dan politik yang ia alami.

Keduanya merupakan ciri masyarakat yang tidak waras. Manusia dinilai sebagai benda. Ia juga saling terasing satu sama lain, sehingga hidup dalam kesepian dan kecurigaan. Reifikasi dan alienasi adalah dua hal yang selalu tertanam di dalam sistem kapitalisme. Ketika sistem tersebut tersebar secara global, maka reifikasi dan alienasi pun juga ikut tersebar.

Tiga, di dalam masyarakat yang mengalami reifikasi dan alienasi, mental pengecut menjadi dominan. Mental ksatria menjadi langka, dan justru dibenci. Penjilat dan pencari aman, walaupun mengorbankan nilai-nilai sejati kehidupan, dianggap sebagai keutamaan yang penting untuk kehidupan. Semuanya menjadi terbalik.

Memang, kita hidup di dunia yang semakin tidak waras. Apa yang baik menjadi buruk, dan apa yang buruk justru menjadi baik. Beberapa orang bilang, bahwa inilah tanda-tanda akhir jaman yang semakin jelas dan nyata. Apakah mereka terlalu pesimis?

Semoga saja…

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

5 tanggapan untuk “Krisis Kewarasan Global”

  1. Dear Rumah Filsafat,

    Saya adalah penulis dan kurator seni ruba dari jogja. Paterna terakhir saya bersama Artjog, menuliskan tentang Changing Perspektif. Dan saya ingin sekali berbincang dengan bapak reza Wattimena. Apakah memungkinkan apabila saya mendapat kontak email beliau. Terkait dengan essai yang sedang saya tulis tentang paska changing perspektif. Terima kasih.

    Salam hangat,

    Ignatia Nilu

    >

    Suka

  2. Terima kasih Pak Reza atas ide yang mengisi ruang berpikir saya. Saya salah satu yang selalu mengikuti surel ini.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.