Dunia Pasca Fakta

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang dan Peneliti di President Center for International Studies (PRECIS)

Dunia memang terus berubah. Kadang, perubahannya begitu cepat, sampai tak masuk akal lagi. Di tahun 2016 lalu, kata masyarakat pasca fakta (postfaktische Gesellschaft) menjadi kata tahun ini di Jerman. Di tahun 2017 ini, yang mengalami keadaan “pasca fakta” bukan hanya masyarakat Jerman, tetapi juga dunia.

Di dalam dunia pasca fakta (postfaktische Welt), kebenaran tak lagi penting. Yang dicari adalah kehebohan sesaat. Politisi bisa memenangkan pemilu bukan karena ia berpijak pada nilai-nilai kebenaran, melainkan karena ia mampu menghibur massa dengan kebohongan dan kehebohan yang dangkal. Orang bisa menjadi pemimpin organisasi, bukan karena ia mampu memimpin dengan prinsip-prinsip yang benar, melainkan karena ia mampu berkelit dalam kebohongan dan tipu daya, sehingga mempesona penguasa.

Fakta dan data pun tak lagi menjadi unsur penting. Yang dicari adalah sensasi yang mengaduk-aduk emosi. Berita di jaringan sosial lebih punya pengaruh besar, daripada data dan fakta tentang kenyataan yang ada. Ini semua lalu menjadi pembenaran untuk kemalasan dan kedangkalan berpikir.

Fakta memang tak sama dengan kebenaran. Fakta adalah unsur pembentuk kebenaran. Sementara, kebenaran itu lebih tinggi daripada fakta. Fakta pun tak pernah bebas nilai, karena ia selalu mengandung sudut pandang tertentu. Keduanya amat penting untuk dasar hidup pribadi dan hidup bersama.

Kebohongan, Fitnah dan Diskriminasi

Ketika fakta dan kebenaran tak lagi penting, kebohongan pun merajalela. Tipu daya menjadi keutamaan yang dibanggakan. Inilah yang disebut Nietzsche sebagai pembalikan semua nilai (Umwertung aller Werte). Orang tak lagi bisa membedakan, yang mana yang benar, dan yang mana yang palsu.

Di dalam dunia semacam ini, fitnah pun menjadi senjata untuk merebut kekuasaan. Fitnah, yang didasarkan atas kebencian, bisa mempengaruhi keputusan hukum dan politik. Orang bisa kehilangan karir, karena fitnah dan kebencian yang disebarkan. Orang bisa membunuh orang lain, karena termakan fitnah yang disebarkan oleh pihak-pihak yang penuh kebencian.

Dunia yang penuh fitnah adalah dunia yang terbelakang. Di dalam dunia yang terbelakang, intoleransi menjadi bagian hidup sehari-hari. Diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok minoritas sudah dianggap hal biasa. Konflik pun cenderung tak bisa dihindari di dalam hidup sehari-hari.

Fitnah, kebohongan dan diskriminasi juga akhirnya mempengaruhi tata kelola politik. Bentuk paling bejatnya adalah korupsi. Ketika fakta dan kebenaran tak lagi dianggap, korupsi akan menjadi penyakit sistemik di dalam politik maupun ekonomi. Orang dengan gampang mencuri uang rakyat demi memperkaya diri dan keluarganya semata.

Masyarakat luas pun akan mengalami kedangkalan berpikir. Ketika para pimpinan masyarakat sudah melupakan fakta dan kebenaran, ini akan menjadi teladan yang salah untuk masyarakat luas. Orang jadi malas untuk mengolah fakta dan data, guna mengambil keputusan dalam hidup. Kedangkalan berpikir dan perilaku pun adalah buah yang kemudian dipetik.

Mengembalikan Fakta dan Kebenaran

Fakta dan kebenaran haruslah dikembalikan sebagai unsur penting kehidupan bersama. Sikap kritis terhadap fitnah dan kebohongan yang tersebar haruslah dikembangkan tidak hanya dalam hidup sehari-hari, tetapi terutama di dalam sistem pendidikan nasional yang ada. Ini tentu bukanlah usaha mudah. Sebuah gerakan sosial yang melibatkan banyak pihak tentu amat diperlukan.

Setiap perubahan sosial yang penting selalu lahir dari gerakan sosial yang konsisten. Itulah yang kiranya amat kurang di Indonesia. Banyak gerakan sosial lahir dari pesanan sponsor semata, yang seringkali memiliki kepentingan yang tak jujur. Gerakan sosial untuk mengembalikan fakta dan kebenaran ke dalam hidup bersama jelas merupakan sebuah gerakan yang penting. Jika tak diperjuangkan, hidup bersama akan jatuh ke dalam kebohongan, kebencian, diskriminasi dan kedangkalan.

Apakah itu yang kita inginkan?

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Dunia Pasca Fakta”

  1. Saya sepakat dengan bung Reza A.A Wattimena bahwa fakta tidak sama dengan kebenaran. Karena fakta tidak bebas nilai sehingga cenderung konstruktif -dalam konteks politik konstruksi untuk kekuasaan

    Suka

  2. Bukankah kebenaran buat mereka cuma ada di kumpulan sel abu-abu di kepala ini mas Reza?
    Buat saya pribadi kesadaran itu lebih penting daripada kebenaran

    Suka

  3. Apakah sama dengan “post truth”? Kata ini terpilih menjadi “kata internasional tahun 2016” oleh Oxford Dictionaries [Wikipedia]

    Suka

  4. jika tidak ada perubahan dari pikiran dan cara bertindak kita, maka keadaan ini akan terus berlanjut. Filsafat menawarkan perubahan cara berpikir dan cara bertindak tersebut.

    Suka

  5. Terima kasih atas pemikiran Bung Reza…
    Gejala ini mewabah sejak pemilu di AS atas kemenangan Trump.
    “Apa yang saya katakan adalah fakta, ia menjadi fakta karena saya katakan”
    Demikianlah ‘jurus’ Trump mereduksi nilai kemenangan..

    Suka

  6. Terima kasih atas pemikiran Bung Reza…
    Gejala ini mewabah sejak pemilu di AS atas kemenangan Trump.
    “Apa yang saya katakan adalah fakta, ia menjadi fakta karena saya katakan”
    Demikianlah ‘jurus’ Trump mereduksi nilai kemenangan..

    Suka

  7. Terima kasih atas pemikiran Bung Reza…
    Gejala ini mewabah sejak pemilu di AS atas kemenangan Trump.
    “Apa yang saya katakan adalah fakta, ia menjadi fakta karena saya katakan”
    Demikianlah ‘jurus’ Trump mereduksi nilai kemenangan..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.