Lex iniusta non est lex: Refleksi tentang Hukum, Keadilan dan “Fenomena Ahok”

 

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang,  

Sejak 2014 lalu, “fenomena Ahok” tidak hanya menggetarkan Jakarta, tetapi juga dunia. Dengan berbagai tindakan dan keputusannya, Ahok, sebagai Gubernur Jakarta, menggoyang tata politik Jakarta. Tindakannya mengundang kecaman, sekaligus pujian dari berbagai pihak. Ia bahkan memperoleh penghargaan sebagai salah satu gubernur terbaik di dunia. Banyak gubernur di Indonesia menjadikan Ahok sebagai teladan kepemimpinan dan tata kelola kota. Berbagai penelitian pun dibuat untuk menganalisis gaya kepemimpinan Ahok yang memang berbeda dibandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya di Jakarta.

“Fenomena Ahok” ini semakin memanas, ketika ia terserat kasus penodaan agama, dan diputuskan bersalah oleh hakim. Seketika itu pula, tanggapan dari berbagai penjuru dunia datang. “Fenomena Ahok” pun justru menjadi semakin fenomenal. Saya ingin meninjau fenomena ini dari sudut pandang perdebatan di dalam kajian hukum klasik, yakni tegangan antara hukum dan keadilan. Lebih dari itu, saya juga ingin melihat pengaruh unsur politik di dalam kaitan antara hukum dan keadilan tersebut. 

Hukum dan Keadilan: Akar dan Tantangan

Hukum adalah seperangkat aturan yang mengikat. Ia diciptakan untuk menata kehidupan bersama, termasuk berbagai institusi yang mengelola kehidupan bersama tersebut, seperti pemerintahan, partai politik, BUMN dan sebagainya. Di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia, hukum diciptakan oleh lembaga legislatif, yakni perwakilan rakyat. Negara kemudian meresmikan hukum tersebut sebagai sah, dan berlaku bagi semua subyek yang tertera di dalam hukum tersebut. Tujuan tertinggi dari hukum adalah menciptakan keadilan (Gerechtigkeit) di dalam hidup bersama. Keadilan tersebut ditopang oleh tatanan sosial politik (Ordnung) yang dianggap sah oleh seluruh rakyat.

Di sisi lain, keadilan adalah keutamaan yang menjadi jangkar bagi hidup bersama. Dengan kata lain, tidak ada kehidupan bersama antar manusia, tanpa keadilan. Secara umum, keadilan bisa dipahami sebagai keutamaan yang memberikan kepada setiap orang segala yang menjadi hak dan kewajibannya. Ketika orang mendapatkan apa yang menjadi haknya dan dijamin untuk melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka tata hidup bersama yang damai bisa terwujud.

Keadilan tersebut berusaha diwujudkan secara nyata melalui penciptaan dan penerapan pasal-pasal hukum di dalam hidup bersama. Namun, ada satu hal yang mesti diperhatikan disini. Hukum tidak akan pernah sepenuhnya adil. Keadilan adalah cita-cita hukum yang tidak akan pernah menjadi kenyataan, walaupun ia harus terus diupayakan, supaya terwujud di dalam kehidupan.

Pendek kata, hukum selalu mendekati keadilan, tanpa pernah bisa sama persis dengannya. Ini bukan berarti, bahwa kita harus menerima dengan pasrah segala ketidakadilan yang terjadi pada kita, termasuk ketidakadilan yang disahkan sebagai hukum. Tentang hukum yang secara jelas menyiratkan ketidakadilan, kita perlu mendengar salah satu prinsip utama hukum, yakni Lex iniusta non est lex. Artinya, hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali. Berhadapan dengan hukum yang menyiratkan ketidakadilan, rakyat wajib untuk tidak mematuhinya. Rakyat wajib mengajukan banding, mempertanyakan, menguji hukum tersebut, dan bahkan melawannya, jika diperlukan.

Beberapa Contoh: Dari Perbudakan sampai Eksploitasi Anak

Sejarah manusia, sayangnya, dipenuhi dengan hukum-hukum yang tidak adil. Sampai abad 19, perbudakan masih legal di berbagai penjuru dunia. Beberapa bangsa merasa mempunyai hak memperbudak bangsa lainnya demi keuntungan ekonomi mereka. Dengan perjuangan hak-hak sipil dan hak-hak asasi manusia yang amat panjang dan melelahkan, hukum yang memperbolehkan perbudakan akhirnya dicabut.

Selama ratusan tahun, penjajahan terhadap negara lain juga dianggap sebagai sesuatu yang sah. Ratusan negara hidup di bawah penindasan dan penjajahan negara-negara lainnya selama ratusan tahun. Gerakan kemerdekaan mulai muncul ke atas, setelah perang dunia kedua berakhir. Kolonialisme politik berakhir bukan karena kebaikan hati para penjajah, melainkan karena para penjajah telah menjadi lemah, setelah perang dunia berakhir. Kelemahan itulah yang dimanfaatkan oleh berbagai bangsa untuk merebut kemerdekaan mereka.

Kaum perempuan pun hidup di dalam diskriminasi selama ribuan tahun. Sampai dengan pertengahan abad 20, banyak negara masih melarang perempuan untuk memilih di dalam pemilihan umum. Mereka dianggap sebagai mahluk yang tak bisa berpikir rasional. Bahkan, mereka dilihat sebagai barang milik ayah ataupun suami mereka semata. Semua ini dibenarkan secara legal. Dunia membutuhkan gerakan hak-hak kaum perempuan yang intensif dan panjang untuk mengubah hukum ini.

Anak-anak pun kerap dieksploitasi sebagai pekerja murah di berbagai penjuru dunia selama ratusan tahun. Revolusi industri di Inggris mengubah pola kerja pertanian menjadi pabrik. Pabrik membutuhkan tenaga kerja yang murah, guna meningkatkan keuntungan ekonomis mereka. Oleh karena itu, mereka mengambil anak-anak sebagai pekerja. Hal ini dianggap sah oleh hukum selama ratusan tahun. Hukum tersebut baru berubah, setelah muncul kesadaran baru tentang hak-hak anak.

Ini semua menjadi contoh, bahwa hukum tak selalu adil. Hukum bisa membenarkan ketidakadilan yang terjadi. Para penegak hukum pun seringkali mendapatkan keuntungan politik dan ekonomis, karena membenarkan ketidakadilan yang ada. Karena hukum tidak selalu adil, maka ia harus dirumuskan ulang terus menerus, sesuai dengan perkembangan jaman. Hukum-hukum yang tidak adil harus dibuang, dan digantikan dengan hukum-hukum yang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya dengan begitu, hukum bisa mendekati keadilan, dan mengundang rasa hormat dari orang-orang yang terkait dengan hukum tersebut.

Lacunae Legis: Lubang-lubang Hukum

Mengapa hukum bisa memuat ketidakadilan? Hukum adalah buatan manusia. Apapun yang keluar dari tangan manusia pasti memiliki cacat. Dalam soal hukum, ada lima lubang-lubang hukum yang perlu dicermati, guna membuat hukum yang bisa mendekati keadilan.

Lubang pertama adalah lubang legislasi, atau lubang pembuatan hukum. Setiap hukum selalu dibuat di dalam ruang dan waktu tertentu. Ia mencerminkan pemahaman manusia pada jamannya. Karena sebab inilah kita bisa melihat adanya hukum-hukum yang membenarkan perbudakan, penjajahan, diskriminasi terhadap perempuan dan eksploitasi anak. Perbedaan waktu dan ruang di dalam menciptakan hukum membuat sebuah pasal hukum menjadi terasa primitif di masa sekarang. Oleh karena itulah hukum harus terus diperbarui dengan mengikuti perkembangan peradaban manusia.

Lubang kedua adalah lubang penafsiran. Hukum selalu merupakan sebuah penafsiran. Yang pertama adalah penafsiran atas keadaan hidup manusiawi dengan berpijak pada prinsip-prinsip moral yang jelas, seperti keadilan, pengampunan, dan sebagainya. Yang kedua adalah penafsiran terhadap bahasa-bahasa hukum itu sendiri yang memang tidak pernah pasti. Karena hukum adalah soal penafsiran, maka ia terbuka untuk ketidakpastian. Di dalam ketidakpastian inilah terselip kemungkinan bagi terjadinya ketidakadilan.

Lubang ketiga adalah lubang bahasa. Hukum terdiri dari kumpulan kata dan kalimat di dalam bahasa tertentu. Bahasa sendiri selalu merupakan tafsiran. Satu kata bisa bermakna berbeda bagi orang-orang yang berbeda, atau di konteks yang berbeda. Ketidaksepahaman akan makna sebuah kata ini tentu menjadi peluang untuk kesalahpahaman. Dan dari kesalahpahaman, ketidakadilan bisa lahir. Cara berpikir di dalam memahami makna sebuah pasal hukum amat menentukan keputusan hukum yang nantinya dibuat.

Lubang keempat adalah lubang pelaksanaan. Sebuah keputusan hukum pun bisa mengundang banyak penafsiran. Para penegak hukum melaksanakan keputusan hukum juga seturut dengan cara berpikir dan pandangan dunianya. Ketidakpastian yang lahir dari kemungkinan beragam tafsir ini juga menciptakan ruang bagi ketidakadilan.

Lubang terakhir adalah lubang kepentingan. Hukum bukanlah sesuatu yang netral. Ia lahir dari konteks budaya, politik dan moral tertentu. Para penguasa politik seringkali ikut campur dalam membuat pasal ataupun keputusan hukum tertentu. Pengaruh uang dan kepentingan politik kotor juga seringkali mengotori berbagai pasal dan keputusan hukum. Inilah yang kerap kali sebuah pasal ataupun keputusan hukum melukai rasa keadilan masyarakat luas.

Kelima lubang hukum tersebut sudah selalu ada di dalam pasal maupun keputusan hukum yang dibuat. Kelima lubang inilah yang membuat hukum tidak pernah sepenuhnya adil. Hukum harus terus diperbarui, sesuai dengan perkembangan pemahaman dan kesadaran manusia di masa kini. Di dalam masyarakat demokratis, ini adalah tugas para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Sayangnya, di berbagai negara, lembaga ini tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, banyak pasal hukum tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman, sehingga terbuka kemungkinan besar untuk ketidakadilan.

Hukum jelas amat diperlukan. Namun, ia harus terus ditelaah ulang. Cara-cara demokratis dan damai amat diperlukan untuk menelaah suatu pasal ataupun keputusan hukum yang dipandang tak adil. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Pertama, ketika keputusan hukum mencerminkan ketidakadilan, maka naik banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi bisa menjadi kemungkinan. Harapannya, pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi, keadilan lebih mungkin untuk dicapai. Pada tingkat nasional, orang bisa meminta pengampunan dari presiden. Di tingkat lebih tinggi, sebuah perkara hukum juga bisa diangkat ke tingkat internasional dengan bantuan dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Ini tentu sebuah cara yang mungkin untuk menelaah ulang keputusan hukum yang telah dibuat.

Kedua, peninjauan ulang atas keputusan hakim bisa dibuat. Integritas dari hakim yang memutuskan pun bisa diuji ulang, terutama ketika ia membuat keputusan yang sungguh melukai rasa keadilan masyarakat. Bagaimanapun, hakim adalah manusia biasa. Ia bisa menjadi korup, atau mendapatkan tekanan dari luar untuk menghasilkan keputusan hukum tertentu.

Ketiga, pemerintah harus juga kuat di dalam menegakkan keadilan. Negara yang gagal mewujudkan keadilan bagi rakyatnya bisa dianggap sebagai negara lemah, atau bahkan negara gagal. Ketika negara telah lemah atau gagal, maka hukum rimba pun berkuasa di masyarakat. Yang kuat akan memakan yang lemah, dan kekacauan akan merusak kedamaian hidup bersama.

Keempat, peran masyarakat luas amat penting di sini. Rakyat harus melakukan kontrol terus menerus atas sepak terjang para penegak hukum, tentu dengan memperhatikan keadaban dan moralitas publik yang berlaku. Rakyat juga harus menekan pemerintah untuk menciptakan negara hukum yang adil. Ini tentu proses yang lama dan melelahkan, namun amat penting untuk keberlangsungan hidup bersama yang adil, damai dan makmur.

Fenomena Ahok”: Sikap Beradab dan Keutuhan Bangsa

“Fenomena Ahok” memang dipenuhi ketidakadilan, mulai dari sepak terjang Ahok sendiri, sampai dengan vonis hakim yang mengundang ketidaksetujuan dari seluruh penjuru dunia. Justru karena inilah keterlibatan masyarakat luas amat diperlukan, terutama di dalam menekan para pemerintah dan penegak hukum, guna membentuk negara kuat yang berdasarkan pada hukum yang menjamin keadilan dan kemakmuran untuk semua.

Keadilan yang sejati itu melampaui tekanan massa. Keadilan yang sejati juga melampaui suara mayoritas. Dua hal itu yang kiranya amat penting diperhatikan untuk para penegak hukum dan penyelenggara negara di Indonesia. Hukum yang adil adalah hukum-hukum yang memperhatikan hak-hak asasi manusia (Menschenrechte) setiap orang dan hukum kodrat (Naturrecht). Dalam arti ini, hukum kodrat adalah hukum yang berpijak pada keadaan manusiawi setiap orang. Hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan melanggar kodrat atau keadaan manusiawi seseorang wajib untuk tidak dipatuhi dan dilawan.

Dalam hal ini, sikap beradab juga diperlukan, terutama di dalam menyingkapi ‘”fenomena Ahok”. Keputusan hakim, walaupun bersifat sementara, harus tetap dihormati. Segala ketidaksetujuan harus disalurkan dengan cara-cara yang demokratis dan beradab. Keutuhan bangsa adalah taruhannya. Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Barry Buzan, pakar Hubungan Internasional asal Inggris, keadilan memang membutuhkan tatanan yang stabil. Namun, jangan sampai tatanan itu justru menyembunyikan ketidakadilan. Jangan sampai kepatuhan pada hukum membenarkan ketidakadilan…

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Lex iniusta non est lex: Refleksi tentang Hukum, Keadilan dan “Fenomena Ahok””

  1. Jadi ingat eyang Pascal dan Mbah aristoteles tentang benturan hukum dan keadilan itu mas Reza,terlepas dari fakta bahwa hukum yang telah ditetapkan ini adalah produk negara otoriter maupun produk hukum negara demokrasi dimana hukum dibuat oleh suara terbanyak, makna keadilan sebagai kesetaraan tetap dapat terancam eksistensinya. Keadilan sebagai fakta (legalitas) dapat berbenturan dengan keadilan sebagai nilai (kesetaraan, kesamaan).
    Kenapa berbenturan ?
    Yang jelas ada KEPENTINGAN entahlah kepentingan macam apa.

    Suka

  2. Masalah ktidakadilan harus diatasi dgn cra2 yg beradab, trmasuk kasus ahok. Saya setuju.. Trima kasih utk pemcrahan pak..

    Suka

  3. Tulisan yang sangat bagus,Sir. Anda bisa mengkaji fenomena Ahok ke dalam sebuah tulisan yang apik dan menarik

    Suka

  4. Inilah tentangan dan benturan antara keadilan legalitas dan kepentingan.Terlepas dari fakta bahwa hukum yang telah ditetapkan ini adalah produk negara otoriter maupun produk hukum negara demokrasi dimana hukum dibuat oleh suara terbanyak, makna keadilan sebagai kesetaraan tetap dapat terancam eksistensinya. Keadilan sebagai “fakta” legalitas dapat berbenturan dengan keadilan sebagai “nilai” kesetaraan, kesamaan.keadilan agar eksis harus ada yang mempertahankannya keadilan akan menjadi kebajikan saat ia mampu mempertahankan kesetaraan hak setiap orang di hadapannya.
    Semoga mas Reza dan saudara saudara lain menjadi bagian dari laskar laskar orang yang mempertahankan keadilan ditengah berkecamuknya berbagai kepentingan sesaat

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.