Menghadapi Tantangan Dunia: Antara Krisis Global dan Hiperkonektivitas

     behance.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Stephen O’Brien, Under-Secretary-General for Humanitarian Affairs and Emergency Relief Coordinator PBB, menyatakan di hadapan Dewan Keamanan PBB, bahwa seluruh dunia saat ini sedang mengalami krisis kemanusiaan yang amat besar. Krisis ini bisa mendorong terjadinya malapetaka di tingkat global.

Di Afrika sendiri misalnya, sekitar 20 juta orang terancam bencana kelaparan, terutama di Nigeria, Somalia dan Sudan. Di sisi lain, seperti ditegaskan oleh UNICEF, bagian dari PBB yang berurusan dengan kesejahteraan anak, sekitar 1,4 juta anak terancam meninggal dunia, akibat kelaparan tahun ini. (Kompas, 12 Maret 2017)

Pernyataan O’Brien ini didukung oleh pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres. Dunia tidak hanya menghadapi tantangan dari berbagai konflik maupun bencana kelaparan, tetapi juga dari perubahan iklim dan pemanasan global.

Di Indonesia sendiri, korupsi E-KTP yang terbongkar baru-baru ini semakin membuka mata masyarakat akan rendahnya mutu para pejabat publik, mulai dari legislatif sampai dengan eksekutif. Dunia jelas memerlukan paradigma baru untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada.  

Apa yang bisa dilakukan?

Ada beberapa hal yang kiranya bisa dan perlu untuk dilakukan. Pertama, kita perlu belajar dari pemikiran Hans Jonas, seorang pemikir Jerman, terutama dari bukunya yang berjudul Das Prinzip Verantwortung: Versuch einer Ethik für die technologische Zivilisation.

Bagi Jonas, pandangan etis yang berasal dari masa lalu tidaklah memadai untuk memahami perkembangan kehidupan manusia. Dewasa ini, hidup kita tidak bisa dipisahkan dari teknologi, terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memicu lahirnya globalisasi dan keterhubungan hiper (hyperconnectedness).

Oleh karena itu, kita memerlukan sebuah sudut pandang baru. Sudut pandang tersebut berpijak pada tanggung jawab tidak hanya pada keluarga dan kerabat satu golongan, tetapi juga kepada seluruh dunia, dan juga tidak hanya kepada kehidupan masa kini, tetapi juga pada kehidupan masa depan.

Dengan dasar pandangan ini, Jonas merumuskan apa yang disebut sebagai imperative ekologis. Bunyinya begini: bertindaklah, sehingga dampak-dampak dari tindakan anda sejalan dengan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini. ini berarti melibatkan dua hal.

Yang pertama adalah pertimbangan pada masa depan sebagai dasar pertimbangan etis (Zukunftsethik) pembuatan keputusan. Yang kedua adalah heuristika ketakutan (Heuristik der Furcht), yakni upaya untuk membayangkan apa yang terburuk terjadi di masa depan, dan menggunakan bayangan tersebut sebagai dasar dari pembuatan keputusan.

Jika kedua hal ini bisa dilakukan, maka akan terjadi perubahan paradigma di dalam menghadapi berbagai tantangan dunia. Keputusan tidak lagi didasarkan pada keuntungan jangka pendek untuk orang-orang terdekat semata, tetapi juga untuk kepentingan masa depan, sekaligus untuk kepentingan seluruh umat manusia.

Kerja Sama, Empati dan Kosmopolitanisme

Ini juga menjadi dasar untuk langkah kedua, yakni membangun kerja sama internasional yang autentik dari berbagai kelompok dan cabang keilmuan, guna menanggapi berbagai tantangan dunia, mulai dari perang, bencana kelaparan sampai dengan bencana ekologis. Kerja sama ini terjadi di tiga tingkat, yakni pemahaman akar masalah, perumuskan jalan keluar yang tepat dan pelaksanaan jalan keluar tersebut, sampai dengan tahap evaluasi.

Kerja sama hanya mungkin, jika kepentingan sempit egoistik bisa dipinggirkan. Inilah langkah ketiga yang perlu diambil. Kepentingan nasional sebuah negara tidak lagi bisa dipahami lepas dari konteks global, yakni perdamaian dan kemakmuran seluruh dunia.

Jika kepentingan nasional sebuah negara bertentangan dengan kedua hal tersebut, maka ia harus diubah, dan dirumuskan ulang. Seperti yang dinyatakan oleh Noam Chomsky, pemikir Amerika Serikat, kita harus memahami keamanan seluruh dunia sebagai bagian dari keamanan nasional.

Untuk itu, kita memerlukan kemampuan manusiawi lainnya, yakni empati. Dalam arti ini, empati adalah kemampuan untuk mengambil alih sudut pandang orang lain (Perspektiveübernahme), dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan di dalam pembuatan keputusan. Inilah langkah keempat yang mesti kita ambil. Empati harus juga menjadi bagian dari pendidikan yang melibatkan tiga hal, yakni pemahaman teoritis, pengalaman dalam hidup bersama dengan orang lain, dan teladan dari orang-orang yang lebih tua.

Kerja sama dan empati adalah bagian dari semangat kosmopolitanisme yang redup ditelan populisme kanan dewasa ini. Kosmopolitanisme mengajak kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai mahluk semesta, dan bukan melulu sebagai bagian dari kelompok sosial sempit semata. Ini adalah pandangan lama yang justru menjadi semakin penting untuk dipahami dan diterapkan di dalam konteks nasional maupun global dewasa ini. Inilah langkah kelima yang harus kita ambil.

Tantangan dunia adalah tantangan kita bersama. Ia hanya dapat dilampaui melalui kerja sama yang kompak dan menyeluruh dari berbagai pihak. Sikap tidak peduli bukanlah sebuah pilihan, karena kita hidup di dunia yang terhubung secara hiper. Seperti yang pernah dinyatakan oleh seorang kerabat dari Spanyol, jika ekonomi Cina mengalami flu, maka Spanyol akan mengalami pneumonia.

Saran saya hanya satu, jangan sampai kita mengalami kanker paru-paru…

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

16 tanggapan untuk “Menghadapi Tantangan Dunia: Antara Krisis Global dan Hiperkonektivitas”

  1. Prinsip imperatif ekologis Jonas cukup kuat karena dilandasi pada etika tanggung jawab yang mana orang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya di hadapan hati nuraninya sendiri.

    Suka

  2. Hallo pak Reza, terimakasih atas artikelnya yang sangat membuka pikiran saya. Saya sangat begitu setuju dengan artikel ini, terutama mengenai ternyata kosmopolitan sebenarnya sekarangpun sangat dibutuhkan. Tapi saya jadi ingin bertanya apakah kosmopolitan relevan atau bisa diterapkan ditengah sistem internasioal sekarang yang lebih multipolar ini? Apa krisis / konflik yang terjadi di dunia sekarang salah satu akibat dari struktur hubungan internasional yang multipolar?. Mohon penjelasannya pak 🙂

    Suka

  3. halo juga. Kosmopolitan juga memiliki banyak cabang. Yang paling realistik adalah menerapkan kosmopolitanisme yang sekaligus mempertimbangkan kepentingan nasional, sekaligus kepentingan kosmos, atau kepentingan keseluruhan. Ini lalu berpengaruh pada pola diplomasi, sekaligus kebijakan politik maupun ekonomi. Dunia, sejatinya, selalu multipolar. Krisis ini terjadi, karena beberapa negara memaksakan kepentingan nasional mereka yang sempit ke seluruh dunia. Akibatnya terjadi penjajahan ekonomi dan politik.

    Suka

  4. Di Indonesia kita mulainya darimana? Membangun kesadaran sebagai warga semesta membutuhkan revolusi, utamanya dari dunia pendidikan kita, dan suritauladan yg mengarah pada pola hidup berkelanjutan. Tulisan Bapak Resa mestinya mengetuk bahkan menjewer para pelaku yg mengambil peran memutuskan akan pelaksanaan arah kita berbsngsa dan bernegara. Dalam UUD 45 sudah cukup jelas tersurat MENJAGA PERDAMAIAN DUNI, tinggal sekarang dijalankan secara Murni dan Konsekwen. Harapan saya Bapak Resa nanti bisa menjadi Mentri Pendidikan, menghapus kebodohan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun kesadaran semesta.

    Suka

  5. Saya suka cara berpikir hans jonas cara berpikir ini menerapkan sesuatu cara pikir yang lebih luas yakni apapun yang ada, sejauh ada, sebaiknya ada. Untuk mempertahankan keberadaanya itu, tanggung jawab manusia tidak terbatas pada manusia melainkan seluruh keutuhan ekosistem alamiah, yang mana karena manusia itu bermoralitas ia juga memiliki suatu posisi istimewa.

    Suka

  6. Thax Pak Reza, tulisannya menginspirasi. Topik spirit kosmopolitan membuat saya teringat kata2 Ajahn Brahm: Dunia ini bak sebuah kapal besar, jika bagian depannya bocor tentu seluruhnya akan tenggelam. Salam.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.