Pendidikan Salah Kaprah

Igor Morski
                                 Igor Morski

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen HI, Universitas Presiden, Cikarang

Mereka naik motor berempat. Semuanya tidak menggunakan helm dan jaket. Saya yakin, mereka tidak memiliki surat-surat resmi kendaraan maupun ijin mengemudi. Jumlahnya ribuan di jalanan Jakarta, apalagi di akhir pekan.

Ini dibarengi dengan tidak adanya ketegasan dari para penegak hukum. Yang terjadi adalah pembiaran pelanggaran peraturan. Pembiaran terus menerus akan berubah menjadi tradisi yang sulit untuk diubah. Gejala ini tidak hanya ditemukan di kalangan para pelanggar lalu lintas, tetapi juga di kalangan para pencuri yang berkedok gelar pemimpin rakyat.

Para maling ini menyusup masuk ke pemerintahan dengan bantuan uang dan tipu daya. Mereka mempesona rakyat dengan tampilan santun sekaligus janji-janji palsu. Ketika naik ke kursi kekuasaan, mereka berubah menjadi pemimpin yang sombong dan malas bekerja. Mereka sibuk memperkaya diri, maupun kerabat dekatnya.

Kegagalan politik sebuah negara bisa ditarik ke mutu pendidikannya. Jika mutu pendidikan tinggi, maka kualitas politik pun akan tinggi, karena terdiri dari manusia-manusia yang memiliki keutamaan dan kemampuan. Sebaliknya, jika mutu pendidikan rendah, maka kualitas politik akan juga rendah, karena diisi oleh manusia-manusia koruptor yang bejat dan tak punya kemampuan. Di Indonesia, pendidikan masih bermutu amat rendah, karena masih menggunakan pola pikir kuno.

Pendidikan Salah Kaprah

Pendidikan yang bermutu rendah adalah pendidikan yang salah kaprah. Ada tiga penyebab dari hal ini. Pertama, pendidikan Indonesia masih mewarisi pola pikir kolonial Belanda. Tandanya adalah pendidikan yang mengedepankan ketrampilan praktis, tanpa ada asah rasa dan pengembangan wawasan kemanusiaan. Yang dicari oleh pemerintah Belanda di masa lalu memang tenaga kerja siap pakai yang tak bisa berpikir kritis.

Pendidikan warisan kolonial bukanlah pendidikan untuk manusia, melainkan pendidikan untuk mesin pabrik, warisan dari semangat revolusi industri di abad 19. Pendidikan semacam ini, yang masih digunakan di Indonesia, melatih orang untuk menjadi budak kasar, dan bukan menjadi manusia yang utuh dan kreatif. Tak heran, indeks pengembangan manusia Indonesia masih amat rendah, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Kedua, para guru Indonesia, yang merupakan garda depan pendidikan, juga masih bermutu rendah. Banyak dari mereka yang masih terpaku pada sertifikasi semata, tanpa ada peningkatan kualitas pembelajaran yang nyata. Mental korup juga masih bercokol di benak mereka, mulai dari penggelapan dana pengembangan pendidikan, sampai dengan korupsi kecil-kecilan di dalam kegiatannya sehari-hari. Jika jajaran gurunya masih bermental korup, bagaimana dengan pola berpikir siswi-siswanya nanti?

Ketiga, pola pengajaran pendidikan di Indonesia juga masih amat terbelakang. Sejak usia amat muda, anak diajar untuk membaca dan menulis. Mereka juga dipaksa untuk menghafal berbagai hal-hal yang sebenarnya tak terlalu diperlukan. Pendidikan berpola hafalan melulu tidak dapat disebut sebagai pendidikan.

Pola pendidikan menghafal membunuh kemampuan analisis. Pola ini juga membunuh kreativitas. Ia mematikan pertanyaan, dan membuat anak berpikir seperti mesin. Pendidikan yang menekankan hafalan adalah pendidikan yang salah kaprah.

Keempat, keterbelakangan pola pendidikan ini juga merasuk ke dalam pendidikan moral. Moral diajarkan sebagai hafalan semata, sehingga tak memberikan inspirasi bagi orang untuk menerapkannya di dalam kehidupan. Moral juga diajarkan dengan paksaan. Jika orang melanggarnya, maka hukumannya adalah neraka.

Tidak ada logika di dalam pendidikan moral semacam ini. Akibatnya, moral dilihat sebagai sesuatu yang dogmatik. Moral dilihat sebagai paksaan. Ketika moral diajarkan sebagai paksaan, maka orang akan cenderung untuk melanggarnya.

Setiap bentuk represi akan melahirkan perlawanan. Represi moral justru akan melahirkan pemberontakan moral. Foucault, pemikir Prancis, pernah menegaskan, bahwa setiap bentuk hegemoni akan melahirkan kontra-hegemoni. Wujud pemberontakan moral adalah pelanggaran moral dan aturan secara besar-besaran, seperti kita saksikan sekarang ini di berbagai penjuru Indonesia.

Revolusi Pendidikan

Pendidikan salah kaprah jelas membutuhkan revolusi pendidikan. Anak-anak berusia amat muda, seperti dibawah 7 tahun, tidak membutuhkan pendidikan hafalan buta. Membaca dan menulis pun cukup diperkenalkan saja. Yang mereka perlukan adalah pendidikan etiket kehidupan.

Dalam arti ini, etiket adalah tata cara berperilaku dasar dalam hidup. Tujuan etiket adalah membantu orang untuk membangun hubunngan baik dengan lingkungan sekitarnya. Etiket juga penting untuk kehidupan bersama, sekaligus keselamatan pribadi orang tersebut. Inilah yang perlu diajarkan, sebelum membaca, menulis, hafalan dan ajaran-ajaran moral yang represif.

Ada enam etiket yang perlu diajarkan. Yang pertama adalah etiket antri. Anak diajarkan untuk bersabar untuk menunggu giliran dengan tertib, sehingga tercipta suasana menunggu bersama yang nyaman untuk semua. Budaya antri memang masih amat asing di Indonesia. Orang suka menyerobot, tanpa peduli pada keadaan sekitar. Ini yang perlu diubah melalui pendidikan sejak usia dini.

Yang kedua adalah etiket menyeberang jalan. Anak diajarkan untuk secara sistematik menyeberang jalan, terutama ketika keadaan jalan raya sedang ramai. Ini amat penting untuk menjaga keselamatannya, sekaligus keselamatan pengendara.

Yang ketiga adalah etiket tepat waktu. Sikap tepat waktu adalah sikap menghargai orang lain. Sikap tepat waktu juga membuat semua pekerjaan menjadi cepat selesai. Bangsa kita memang terkenal tak hormat pada janji dan ketepatan waktu. Ini yang juga amat perlu untuk diubah.

Yang keempat adalah etiket berkendara dengan aman. Ini mungkin salah satu masalah terbesar di kota-kota besar Indonesia. Banyak pengendara tak peduli pada peraturan yang ada. Padahal, peraturan itu dibuat untuk melindungi mereka dan pengendara lainnya. Ini terjadi, karena mereka tak pernah diajarkan etiket berkendara dengan aman.

Etiket berkendara juga meliputi sikap terhadap pejalan kaki. Pejalan kaki kerap menjadi anak tiri di jalan raya. Hak jalannya dirampok. Bahkan, mereka tak bisa menyeberang dengan tenang, walaupun sudah mengikuti peraturan. Sikap tak menghargai pejalan kaki inilah yang merupakan salah satu buah dari pendidikan salah kaprah.

Melampaui Pendidikan Salah Kaprah

Setelah anak menguasai dengan baik etiket-etiket dasar kehidupan, mereka lalu diajarkan dua hal penting lainnya. Yang pertama adalah wawasan dunia yang humanis dan universal. Disini, mereka diajarkan kesadaran diri sebagai manusia, sekaligus wawasan dunia yang melahirkan sikap-sikap terbuka, toleran dan demokratis.

Yang kedua adalah anak diajarkan tentang identitas sejati mereka sebagai mahluk semesta. Anak diajarkan untuk menunda segala status sosial, dan melihat diri mereka apa adanya sebagai bagian dari alam semesta. Pendidikan ini akan menghancurkan segala bentuk sikap tertutup dan radikal. Hanya dengan ini, pendidikan salah kaprah bisa dilampaui.

Bukankah ini yang kita semua inginkan?

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

16 tanggapan untuk “Pendidikan Salah Kaprah”

  1. Sebenarnya saya malas jalan kaki memang karena trotoarnya dipakai berjualan. Nggak tahu apakah itu sesuai aturan atau tidak. Tapi kondisi semacam itu rasanya sulit diubah karena terus diwariskan turun temurun. Padahal saya di kota kecil. Ntah bagaimana kondisi di kota besar, pasti lebih rumit lagi permasalahannya hanya untuk sekadar jalan kaki yg aman.

    Suka

  2. Masyarakat agraris yang lupa harus menanam dan merawat untuk mendapatkan buah yang manis.. ingatnya hanya menjual buah.. bila perlu jual tanahnya sekalian.. he.. he.. he.. Mantap. Salam Kenal.. mohon ijin saya bagikan di fb.. Terimakasih.

    Suka

  3. Good Article pak Reza…… mendidik buksn hanya mengajar spt g selama ini tjd di sebahian ekolah di indo. Meendidik harus bisa menghasilkan siswa/manusia yg berkarater, memiliki keberanian utk berubah, menjdi diri sendiri dan peduli pada sesama

    Suka

  4. Saya kog merasa usulan Pak Reza ini sangat Jepang ya? Penekanan yg sangat keras pada etiket dan karakter. Tapi kog kayaknya mereka jadi stress banget gitu dan bertaburan org bunuh diri.

    Suka

  5. Halo, Pak. Perkenalkan, nama saya Hanun. Saya suka baca blog Bapak sejak tahun 2014 lalu. “Enam Kesesatan Berpikir Orang Indonesia.” Merupakan artikel pertama yang saya baca dari blog ini. Dan dari situ saya mulai sering baca blog ini karena ketertarikan saya terhadap filsafat semakin besar. Kemudian saya baru sadar bahwa Bapak ternyata dosen di President University. Kebetulan saya seorang mahasiswi industrial engineering di PU. Setelah sekian lama menjadi silent reader, pada kali ini saya ingin mengucapkan terima kasih, karena tulisan bapak menambah ilmu saya dan memberikan sudut pandang baru dalam beberapa hal. Semoga Bapak tetap semangat membagikan ilmunya di blog ini. Sekian dan salam kenal ya, Pak 😊

    Suka

  6. bunuh diri dan stress ada penyebab lainnya, bukan pengembangan etiket dan karakter. Coba baca tulisan ini lebih jeli. Di Indonesia, bunuh diri juga banyak, walaupunt tak pernah diberitakan. Ada sebab lain yang mesti digali

    Suka

  7. Saya sangat setuju Pak dengan apa yang bapak tuliskan, tapi sayangnya sepertinya masih membutuhkan waktu lama bagi negara kita ini untuk bisa seperti itu

    Suka

  8. saya pikir etika bisa diajarkan atau didapat di rumah melalui orang tua.
    saya mengenyam semua level pendidikan yang diajarkan dari SD sampai Peerguruan Tinggi jujur semuanya sama. Hal seperti wawasan dunia yang humanis, universal dan tentang identitas sejati manusia sebagai mahluk semesta tidak diajarkan. Mungkin hampir semua pelajar Indonesia mengalaminya. Bagaimana kita memulai?

    Suka

  9. pak reza, ini toyo, murid bapak, UKWMS-Fak. Filsafat,, artikel bapak saya jadikan bahan pengantar rekoleksi guru2, di tempat saya. temanya adalah seputar membangun guru yang berkarakter. tujuannya adalah untuk membangun dan melakukan perubahan kecil dalam pendidikan, melalui perubahan cara pandang dan aksi bagi guru-guru, sebagai mentor-mentor pendidik, di sekolah katolik, di Nganjuk. terima kasih pak. ini, bersama para guru hendak mengembangkan budaya membaca, menulis dan merenung, serta menilai kritis setiap kebijakkan pendidikan untuk kehidupan sehari-hari pendidikan kami.

    Suka

  10. mulai dari diri dan lingkungan kita sendiri.. bekerja sama bersama teman2 yang memiliki visi yang sama untuk mengembangkan visi pendidikan yang humanis, kritis dan universal tersebut…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.