Ini tentang Ahok…

Ahok dan audit (step-12-11-2013), by Tb Arief Z.
Ahok dan audit (step-12-11-2013), by Tb Arief Z.

Penistaan Agama, Ruang Publik, Permainan Bahasa dan Kritik Diri yang Berkelanjutan

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Naskah Pemancing Diskusi untuk “Ngompol” (Ngomong Politik), Fakultas Humaniora, Universitas Presiden, Cikarang, 16 Februari 2017.  

2012 adalah tahun yang amat penting untuk penduduk Jakarta. Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta.

Keduanya amat fenomenal. Mereka membawa perubahan-perubahan besar bagi perkembangan Jakarta, mulai dari pelaksanaan program Mass Rapid Transportation yang tertunda puluhan tahun, sampai dengan pembebasan Tanah Abang dari cengkraman preman-preman liar.

Tak lama kemudian, Indonesia pun mengalami peristiwa yang mengguncang: Joko Widodo naik menjadi presiden pada 2014. Ahok pun resmi menjadi gubernur Jakarta yang menggantikan Joko Widodo.

Sebagai gubernur, sepak terjang Ahok tak kalah mencengangkan. Birokrasi lambat dan korupsi di kalangan pemerintahan daerah Jakarta dibabat habis. Infrastruktur dan tempat-tempat kumuh juga dibereskan, walaupun banyak mengundang kontroversi.

Di akhir 2016 lalu, Ahok digugat dengan tuduhan penistaan agama, akibat ucapannya tentang salah satu agama tertentu di sebuah acara publik. Gelombang demonstrasi, yang ditunggangi berbagai kepentingan politik tidak jujur, pun mendatangi Jakarta.

Ahok pun menjadi tersangka di dalam kasus penistaan agama tersebut. Harapan musuh-musuhnya yang korup dan busuk, Ahok akan kalah dalam pilkada Jakarta Februari 2017, dan para koruptor bisa kembali berkuasa di Jakarta.

Tulisan kecil ini ingin menjawab pertanyaan berikut: bagaimana kita bisa memahami berbagai peristiwa terkait Ahok ini secara cerdas dan kritis? Apa yang lalu mesti dilakukan untuk menjaga keutuhan Indonesia, sekaligus tetap hidup bersama di dalam perbedaan secara bijak?

Agama: Antara Mistik dan Politik

Agama lahir dari persentuhan yang sesuatu yang lebih besar dari “manusia”. Persentuhan kemudian tersebut lalu melahirkan ajaran, dan kemudian dijadikan lembaga.

Dalam arti ini, agama adalah sebuah lembaga. Ia berada di antara yang mistik dan yang politik.

Sebagai sebuah lembaga buatan manusia, yang juga dikelola oleh manusia, agama juga memiliki banyak masalah tata kelola. Oleh karena itu, ia perlu untuk diperbaiki terus menerus dengan jalan-jalan yang beradab.

Penistaan Agama: KUHP pasal 156

Indonesia masih memiliki KUHP pasal 156 yang berbunyi berikut,

Pasal 156
Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

  1. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
  2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam arti ini, penistaan adalah menyatakan di muka umum perasaan kebencian terhadap agama tertentu. Ini tentu mengundang banyak tafsir: apa ukuran dari perasaan kebencian yang dinyatakan di muka umum?

Seperti sudah banyak menjadi tema diskusi di kalangan ahli hukum, KUHP sendiri memang produk undang-undang yang amat tidak sempurna. Ia memerlukan perbaikan mendasar yang, sayangnya, sampai saat ini belum pernah dilakukan.

Akibatnya, pasal ini sering digunakan untuk menghukum orang secara tidak adil demi memenuhi kepentingan politik yang tidak jujur. Dalam hal ini, bukan hanya Ahok yang menjadi korban, melainkan juga penulis ternama Arswendo Atmowiloto, dan bahkan HB Jassin.

Ruang Publik: Indonesia sebagai Negara Demokrasi Modern

Jürgen Habermas, pemikir Jerman, menulis buku dengan judul Strukturwandel der Öffentlichkeit: Untersuchungen zu einer Kategorie der bürgerlichen Gesellschaft. Di dalam buku itu, ia menjelaskan perkembangan ruang publik sebagai sarana komunikasi rasional antar warga sebagai dasar untuk perkembangan demokrasi masyarakat modern.

Ruang publik itu dimulai dari café dan berbagai tempat publik lainnya, dimana orang bisa saling berbicara dan berdiskusi tentang masalah-masalah hidup bersama. Dari diskusi tersebut lahirlah ide-ide baru yang menjadi inspirasi bagi gerakan perubahan di masyarakat.

Ruang publik adalah unsur penting di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia. Di dalam ruang publik tersebut, berbagai ide saling berjumpa, termasuk saling melakukan kritik satu sama lain.

Jika kritik dianggap penistaan, maka komunikasi akan terhambat. Orang akan takut untuk menyampaikan pendapat mereka.

Akibatnya, hidup bersama pun tidak berkembang, karena diliputi rasa takut yang tak beralasan. Konsep penistaan, baik terhadap agama atau terhadap apapun, harus dipikirkan ulang di dalam ruang publik negara demokrasi modern, seperti Indonesia.

Negara Hukum Modern: Refleksi Kebijakan

Lebih lanjut, Habermas menulis buku lainnya dengan judul Faktizität und Geltung – Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats. Ia berpendapat, bahwa setiap kebijakan yang keluar harus merupakan hasil dari proses diskusi dan komunikasi yang bebas dominasi, terbuka dan setara antara orang-orang yang nantinya terkena dampak dari kebijakan tersebut.

Inilah ide demokrasi radikal di dalam negara hukum modern yang menjadi inti dari buku tersebut. KUHP terkait dengan penistaan agama tidaklah lahir dari proses semacam ini.

Itu merupakan kebijakan yang keluar dari generasi sebelumnya, yang hidup dalam ketakutan dan kesesatan berpikir. Maka, ia tidak bisa dianggap sebagai salah satu kebijakan sah di dalam negara hukum demokratis yang modern, seperti Indonesia.

Permainan Bahasa: Ruang-ruang Kehidupan

Peristiwa penistaan agama yang terkait Ahok ini juga bisa dilihat dari sudut pandang pemikiran Ludwig Wittgenstein, pemikir asal Austria, di dalam bukunya yang berjudul Philosophische Untersuchungen. Konsep penting di dalam buku itu adalah konsep permainan bahasa (Sprachspiel).

Di dalam kehidupan, ada berbagai ruang yang saling terhubung, namun berbeda satu sama lain. Ruang-ruang itu adalah ruang politik, ruang agama, ruang budaya, ruang pribadi dan sebagainya.

Ruang-ruang tersebut punya permainan bahasanya masing-masing yang tak dapat dibandingkan satu sama lain. Artinya, ruang-ruang tersebut memiliki ciri dan aturannya masing-masing yang tidak dapat dibandingkan satu sama lain.

Penistaan agama, pun jika terjadi, terjadi di ruang agama. Ia tidak boleh berdampak pada ruang politik dan ruang hukum, karena ketiganya memiliki permainan bahasa yang berbeda-beda, walaupun saling terhubung satu sama lain.

Jika ruang-ruang tersebut dicampurkan, maka akan tercipta kekacauan. Kekacauan inilah yang kiranya terjadi di Indonesia, akibat pencampuran antara ruang hukum, ruang agama dan ruang politik yang semestinya dipisah.

Dekonstruksi: Menafsirkan Ulang Penistaan

Kita kiranya perlu belajar dari Jacques Derrida, pemikir Prancis, tentang dekonstruksi, yakni seni menunda kepastian makna dari sesuatu, dan kemudian membiarkannya terbuka, guna menghasilkan kebaruan-kebaruan yang tak terduga. Dekonstruksi, sejatinya, sudah selalu ada di dalam setiap makna yang kita buat atas peristiwa tertentu.

Pola berpikir dekonstruksi juga perlu kita terapkan di dalam memahami makna penistaan. Tindak menista, dan bahkan makna penistaan itu sendiri, haruslah ditunda kepastian maknanya, dan dibaca dengan cara-cara lain yang lebih kreatif.

“Penistaan” tidaklah perlu ditanggapi sebagai kejahatan hukum, melainkan sebagai sebentuk kritik diri yang berkelanjutan. Dengan cara ini, alih-alih membuat kerusuhan sosial, kita bisa saling belajar satu sama lain tentang hidup bersama dengan beradab.

Kasus penistaan agama terkait dengan Ahok adalah kasus yang dipolitisir. Ia melanggar semua ciri dari negara demokrasi modern, yakni ruang publik yang bebas, terbuka dan setara, serta kebijakan publik yang sah di mata masyarakat.

Ia juga bentuk percampuran tidak sehat antara berbagai ruang kehidupan yang seharusnya dipisah. Pola berpikir dekonstruksi kiranya bisa menyediakan tafsiran baru, dan membuat kita menjadi lebih tenang di dalam hidup bermasyarakat.

Bukankah itu yang kita semua inginkan?

 

 

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

38 tanggapan untuk “Ini tentang Ahok…”

  1. Kisah Ahok mengajarkan kepada kita bahwa seharusnya urusan agama tidak dicampuradukkan dengan urusan politik, apalagi di negara Indonesia yang mempunyai beragam suku dan agama.

    Suka

  2. Menurut hemat saya pasal.156 dan 156a ,itu hasil dari “Kebanggaan kolektif ” kebanggaan ini lebih sulit penanggulangannya daripada ketakutan dan sesat pikir, karena imbasnya sendiri bisa dibilang cukup besar. Alhasil, timbullah sikap-sikap yang merasa bahwa dirinya dan kelompoknya-lah yang paling benar dan, pada derajat tertentu, berakibat pada munculnya klaim-klaim sepihak yang menyatakan bahwa orang lain adalah sesat-menyesatkan, kafir, ahli bid’ah, ahli syirik, maupun ahli maksiat , kebanggaan kolektif ini ahirnya melahirkan rasa takut, takut kehilangan kebangggaan kolektifnya yang berujung pada sesat pikir yang tiada berkhir.

    Suka

  3. Akhirnya saya bisa baca tulisan bapak lagi. Hehehe…

    Kalau bahas ahok nggak ada habisnya. Setelah saya baca tulisan ini, sempat saya berpikir, apakah orang2 Indonesia mampu memahami hal diatas? Mau perubahan tapi nggak ada yg berani memulai. Sudah ada yg berani memulai, diperlakukan tidak adil. Wkwkwkwkw…

    Suka

  4. PErjuangan memang membutuhkan pengorbanan, walaupun semuanya akan menjadi baik pada akhirnya… kita harus tetap berjuang dan bersabar… sambil belajar menemukan kedamaian di dalam perjalanan ini…

    Suka

  5. memang psl tsb tidak jls ukurannya ut bs menjerat seseorng dgn psl penistaan agama, klo dr tulisan bpk saya melihat ahok hny menyampaikan koreksi thd tafsir ayat agama tertentu. sbenarnya klo dr sdt pandang ini sah sah saja, tp yg jd PR adl redefinisi penistaan agama itu apa Dan klasifikasinya, jgn smpai penglaman ahok ini terulang kembali,

    salam kenal Pak Reza, trima kasih bacaannya yg mengupas dr sisi filsafat. ini sangt penting agar tdk terjebak dlm pikiran yg dangkal

    Suka

  6. Bagi umat islam babi itu haram karena sesuai dengan kitab sucinya. Demikian juga bagi umat lain babi itu haram sesuai dengan kitab sucinya tapi karena tokoh agamanya membolehkan maka menjadi halal. Jadi apa yang di katakan oleh AHOK sama seperti seperti tokoh agama yang mengatakan babi haram jadi halal.. jadi sesuatu yang suci itu bila ingin di rubah pasti banyak penentangnya..sedangkan sesuatu berasal dari kepalsuan pasti tidak ada yang menentangnya.

    Suka

  7. Tulisan yang menarik pak. Pertama, pasal 156 ini perlu diuji di MK. Kedua, mengenai validitas iman, memang yang mendekati benar itu yang berani diuji. Bagaimana menurut bapak?

    Suka

  8. Agama masa depan adalah agama kosmis, melampaui Tuhan sebagai pribadi, mencakup alam semesta maupun spiritual dan menghindari dogma dan teologia.
    Ahok adalah salah satu fenomena kearah sana.

    Suka

  9. Hai pak reza slam kenal…
    Saya mahasiswa baru prodi filsafat keilahian…
    Dan saya masih blm paham btul tentang filsafat…
    Saya penggemar buku2 bpk….
    Tapi buku2 bpk tidak bisa semuanya di unduh…

    Suka

  10. Terimaksih ata pencrh ilmunya, kalau kita memahami bahwa agama adalah urusan private bukan umm, tapi negara kita yg katanya demokrasi agama jadi urusan negara itu namanya cilaka. Trim’s atas ilmu dan tulisannya selama ini

    Suka

  11. Jika memang agama dan politik harus di pisah, Bagaimana dengan dogma “Agama adalah Politik”?

    Suka

  12. Tulisan ini cukup cerdas utk mengelabui orang yg mengandalkan pikiran, tp sangat membosankan bagi orang yg berkeyakinan.

    Suka

  13. Apakah agama tidak perlu dilindungi negara? Bila produk KUHAP 165 sudah basi dan perlu direvisi apa yang mesti ditambah atau dikurangi? Kasus dugaan penghinaan terhadap sebuah kepercayaan bukan hanya terjadi pada Islam saja, di Bali ada beberapa kasus penghinaan terhadap kepercayaan umat hindu di sana dan hukumannya jauh lebih berat dari ini… Bila yang dicermati hanya kasus ini terlihat ada ketidak konsistenan dalam mengkritisi sebuah produk undang-undang…
    kali itu juga bang hehehehe

    Suka

  14. Semua warga dan kelompok berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Ini adalah hak asasi. Namun, ada syaratnya: warga dan kelompok tersebut menaati konstitusi dan hukum negara terkait, termasuk soal dasar negara dan soal perilaku keseharian. Soal UU, banyak sekali pasal yang masih harus dikritisi ulang. Tentu harus dilakukan satu persatu secara bertahap.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.