Dunia dan Kepalsuan

pinterest
pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Ada yang palsu dari debat Pilkada Jakarta 2017. Beberapa calon tampak sekedar mengatakan hal-hal luhur, tanpa sungguh memahami apa maknanya.

Mulut manis dibarengi dandanan mewah. Namun, itu tak mampu menutupi bau kepalsuan yang keluar dari suara dan gerak tubuh.

Kepalsuan lahir dari ketidakjujuran dan ketidaktulusan. Yang satu dititipi pesanan pihak lain, sementara yang lain tampak sakit hati, karena tak lagi diberi kedudukan politis yang tinggi.

Beberapa berkampanye dengan berita-berita fitnah. Masyarakat kita pun semakin muak dengan fitnah bertubi-tubi.

Kebenaran ditutupi dengan fitnah dan gosip yang penuh kepalsuan. Orang baik diserang dengan berita-berita bohong yang dipelintir demi memenuhi kepentingan tertentu yang tidak tulus.

Hal yang sama terjadi di dunia akademik. Banyak peneliti menerbitkan karya mereka bukan dari kejernihan berpikir dan analisis, melainkan semata mengikuti pesanan sponsor-sponsor tertentu yang memiliki kepentingan tidak jujur.

Gejala Global

Kita pun sulit membedakan antara kebohongan dan kejujuran. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia.

Ketika kepalsuan tersebar, dan dipercaya oleh orang-orang yang tidak kritis, maka hal-hal mengejutkan pun terjadi. Kita melihat terpilihnya pemimpin-pemimpin terbelakang di berbagai negara, akibat penyebaran berita palsu yang tak terkontrol ini.

Kepalsuan akan meracuni keputusan. Ketika keputusan yang dibuat didasarkan pada kepalsuan, maka pasti ada korban yang menderita, terutama jika itu adalah keputusan-keputusan politik.

Sejak dulu, kejujuran memang keutamaan yang mahal. Hanya sedikit orang yang mampu memiliki dan menerapkannya.

Namun, dewasa ini, kejujuran telah menjadi barang langka. Kita hidup di dunia yang semakin lama semakin palsu.

Tentang Kepalsuan

Kepalsuan adalah upaya menutupi kebenaran sebagaimana adanya demi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh Noam Chomsky, ada tiga tujuan utama dari penyebaran kepalsuan.

Pertama, kepalsuan adalah alat untuk propaganda. Dalam arti ini, propaganda adalah penyebaran berita secara gencar demi memenuhi kepentingan tertentu, dan seringkali mengabaikan semua kaidah kebenaran dan kejujuran.

Kedua, kepalsuan adalah upaya untuk melakukan fitnah dan pembunuhan karakter. Biasanya, orang baik menjadi korban fitnah, supaya ia tidak menduduki posisi penting di masyarakat, dan orang-orang korup bisa tetap dan bahkan semakin berkuasa.

Ketiga, kepalsuan adalah alat pengalihan isu. Orang digiring untuk membicarakan hal-hal remeh, sementara hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama terbengkalai, seperti misalnya terkait dengan korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan elit politik.

Bungkus

Tentu saja, kepalsuan akan segera hancur, ketika ia dikenali sebagai kepalsuan. Dalam arti ini, kepalsuan membutuhkan bungkus, supaya ia tidak dikenali sebagai kepalsuan.

Ada dua bungkus yang biasanya digunakan untuk menutupi kepalsuan. Kedua bungkus ini adalah bungkus-bungkus luhur yang dengan mudah ternodai, ketika bersentuhan dengan kepalsuan.

Yang pertama adalah agama. Sepanjang sejarah, agama mengajarkan hal-hal luhur kepada umat manusia, supaya mereka bisa hidup di dalam kebahagiaan dan perdamaian satu sama lain.

Karena daya pikatnya yang kuat, agama lalu jadi bungkus paling ampuh untuk menutupi kepalsuan. Ajaran-ajaran luhur agama digunakan untuk membenarkan kepentingan sesaat yang dilumuri kerakusan dan kebohongan.

Yang kedua adalah kepentingan nasional, atau kepentingan rakyat. Dalih ini sering digunakan untuk menutupi kepentingan-kepentingan busuk politisi tertentu.

Padahal, rakyat itu banyak dan beragam. Di dalam pembuatan keputusan, yang paling penting bukanlah kepentingan rakyat semata, tetapi penggunaan akal sehat di dalam memahami kepentingan tersebut.

Melampaui Kepalsuan

Dunia kita memang dipenuhi kepalsuan. Untuk itu, kita membutuhkan pedoman, supaya tidak tertipu oleh berbagai kepalsuan yang ada.

Kepalsuan runtuh dihadapan pertanyaan. Sebaliknya, kepalsuan menemukan air segar di tengah orang-orang yang bodoh dan malas berpikir.

Pertanyaan membelah bungkus kepalsuan, dan langsung menusuk ke akarnya. “Apakah itu benar? Jika benar, apa buktinya? Apa argumennya?” ketiga pertanyaan tersebut akan langsung membuka bungkus kepalsuan, dan mengujinya di hadapan kenyataan.

Jika orang hidup dengan ketiga pertanyaan itu, ia akan terbebas dari kepalsuan. Propaganda, fitnah dan pengalihan isu akan mental secara alamiah.

Bertanya… Inilah kiranya yang mesti kita kerjakan.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Dunia dan Kepalsuan”

  1. Sayangnya budaya bertanya msh jarang d indonesia. Org bertanya nanti dikira ikut campur & ingin tahu..
    Hehehehe…. 😁

    Suka

  2. Debat pilkada yang penuh dengan fallacy dari mulai argumentum ad hominem dll.mo di bawa kemana kalau cara debat saja tidak taat logika taat bahasa.

    Suka

  3. Terinspirasi melihat banyak tokoh positif, meredup melihat lebih banyak lg ‘bungkus’ menutupi “mereka” yang seolah2 pemimpin. Semuanya rame2 mengejar kuasa…
    Terimakasih utk tulisan ini…

    Suka

  4. Era ini adalah era fitnah.. Negara ini sudah dikurung oleh kepalsuan.. Tak hanya politik yang palsu. Cewek cantik juga palsu.. Heheh

    Suka

  5. Politikus banyak yg menjual jiwa mereka kepada iblis sehingga mereka kahilangan moralitas dn kasih sayang
    yg tersisah hanyalah keserakahan, kekuasaan dn uang !

    sangat ironis bahwa kebanyakn duduk di kursi2 penting negara

    Suka

  6. Bertanya menjadi penangkal kepalsuan, saya kira belajar bertanya dan membudayakan bertanya harus menjadi konsumsi manusia hidup.
    Terimakasih tulisannya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.