Jakarta, Pilkada,… dan Serigala

Night Wolf by Anastasiya Malakhova
Night Wolf by Anastasiya Malakhova

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Sebagai ibu kota Indonesia, Jakarta memiliki keunikan tersendiri. Ia menjadi tolok ukur bagi semua daerah lainnya di Indonesia.

Apa yang terjadi di Jakarta akan membuka kemungkinan bagi daerah-daerah lainnya untuk mengalami kejadian serupa. Jika Jakarta gagal mewujudkan cita-cita keberadaan negara Indonesia yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali, maka, kemungkinan besar, daerah-daerah lainya juga akan jatuh ke lubang yang sama.

Indonesia lalu menjadi negara gagal. Konflik dan ketidakadilan pun merajalela.

Untuk mencegah itu, Jakarta jelas membutuhkan kepemimpinan yang bersih dan kuat di berbagai jenjang organisasinya. Sudah terlalu lama, Jakarta menjadi kota yang macet, kumuh, banjir dan tidak aman untuk ditinggali.

Preman dan Serigala Ganas

Sayangnya, Realpolitik di Jakarta bukanlah mimpi indah. Harapan selalu berbenturan dengan kenyataan yang penuh dengan kelicikan dan kebohongan.

Mafia dan preman menguasai berbagai bidang kehidupan publik di Jakarta, mulai dari parkir liar, uang keamanan liar, korupsi berbondong-bondong yang dilakukan elit politik, sampai dengan perdagangan manusia. Para mafia dan preman itu bagaikan serigala yang liar dan ganas.

Penegak hukum seringkali tidak diberdaya dibuatnya. Bahkan, dalam banyak hal, para penegak hukum justru menjadi kaki tangan para serigala ganas tersebut.

Bagaimana mewujudkan kepemimpinan yang bersih dan kuat, sehingga mampu menghadapi, dan bahkan menghancurkan, para serigala ganas itu? Pertanyaan ini menjadi amat penting di awal 2017 ini, menjelang pemilihan Gubernur Jakarta.

Dua hal yang perlu diperhatikan, jika kita hendak memilih seorang pemimpin. Yang pertama adalah gagasan yang brilian, dan yang kedua adalah rekam jejak yang mantap.

Gubernur/Serigala

Di 2017 ini, Jakarta membutuhkan pemimpin yang siap menghadapi para serigala liar dan ganas (mafia dan preman). Dan, serigala tidak dapat dikalahkan oleh mahluk lainnya, kecuali oleh serigala itu sendiri.

Ini mengikuti pepatah klasik, bahwa kita membutuhkan serigala untuk berburu serigala (it takes a wolf to catch a wolf). Gubernur Jakarta yang baru harus bersih sekaligus kuat, seperkasa seringala, sehingga mampu mengalahkan para serigala liar (mafia dan preman) yang sudah terlalu lama menganggu Jakarta.

Gubernur/serigala tersebut haruslah bersih. Ia haruslah galak dan kejam terhadap para mafia dan preman, sekaligus sungguh memperhatikan kepentingan warga Jakarta secara luas.

Ia juga harus memiliki pengalaman yang banyak dalam soal kepemimpinan. Rekam jejak yang kuat dan bersih adalah salah satu tolok ukur untuk memilih seorang pemimpin.

Jangan Salah Pilih

Warga Jakarta tidak boleh salah pilih. Mereka tidak boleh memilih kucing dalam karung, entah tokoh baru warisan dari penguasa yang lama, ataupun mantan pejabat yang sakit hati, karena tidak lagi mendapat potongan kue kekuasaan.

Taruhannya terlalu besar. Masa depan warga Jakarta, yang berarti juga anak-anak kita, amat tergantung dari pilkada Februari 2017 nanti.

Jakarta tidak hanya menjadi sorotan dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dunia internasional. Jati diri kita sebagai bangsa dipertaruhkan, apakah kita akan menjadi negara demokrasi modern yang terbuka dan profesional, atau menjadi bangsa yang terbelakang, rasis dan biadab.

Warga Jakarta, keputusan di tanganmu…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Jakarta, Pilkada,… dan Serigala”

  1. Analisa yang tajam pak Reza. Tapi kok perasaan saya ada kecenderungan di tulisan ini ya? Sepertinya bapak pun telah menentukan pilihannya. Interpretasi saya dari tulisan bapak ini pun mengarah kesana.
    Tapi pilihan itu sayapun mengafirmasinya pak. Hehe
    Salam Damai

    Suka

  2. setuju dengan pendapat pak Reza. politik di Jakarta representasi politik di daerah di seluruh Indonesia. Di tengah suhu politik jkt yg panas saya optimis semoga Jakarta bisa lebih baik ke depannya terlepas siapapun yg terpilih semoga pilgub jkt terselenggara secara fair.

    Suka

  3. Tulisan Pak Reza menjawab keraguan saya dulu ketika Pak Jokowi-Ahok berpasangan Pilgub DKI, mengingat keduanya sipil, Ahok minoritas suku dan agama dibandingkan Paslon yang lain serta kompleksitas masalah Jkt sebagaimana didiskripsikan tulisan Pak Reza. Sekalipun dinamika kampanye sangat besar,Pemilih Jakarta sangat cerdas, faktanya Pak Jokowi-Ahok menang. Dinamika Pilgub skrg terulang kembali, koq saya kembali ragu-ragu ya?

    Suka

  4. Ada yang berujar, dulu kita berdoa berdoa dan berdoa mohon datangnya Mahapatih khusus buat benahi negara dari keamburadulan dan korupsi… Doa kita memang dikabulkan, tapi kenyataannya kita masih menolaknya bahkan mau menjatuhkannya karena beda suku, agama dan ras…

    Suka

  5. pandangan seorang pemikir apalagi filsafat, membawa pencerahan tetapi kenyataan yang ditampilkan negeri ini banyak kebodohan. trims tulisan yang imajinatif buat saya.

    Suka

  6. Artikel dengan analisis yang tajam dikoneksikan dengan debat paslon cagub dan cawagub I dan II di mana hanya ada paslon tertentu yang berani menjadi seorang “lupus’ menghadapi para tikus-tikus preman yang selalu mengambil uang bukan hak miliknya dan DKI butuh orang yang berani melawan itu. Terima kasin Nyong Ambon Manise, apakah sudah tidak mengajarlagi di Unika Surabaya lagi?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.