Kedewasaan Beragama dan Perdamaian Dunia

surrealistic_room_by_mcrace
deviantart.net

Dari Hakekat Agama, Kesadaran Murni sampai dengan Perdamaian Dunia

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Tulisan untuk Buku “GKI di mata Sahabat”, KOMISI NETWORK & MISI

GEREJA KRISTEN INDONESIA, KLASIS BOJONEGORO,

Anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Tulisan ini merupakan pengembangan ide dari berbagai tulisan yang dimuat di http://www.rumahfilsafat.com.

Agama lahir dan berkembang sebagai bagian dari peradaban manusia. Ia lahir dari rasa kagum sekaligus gentar manusia terhadap segala yang ada, yakni alam dan seisinya.

Agama memberikan makna terhadap hidup manusia. Ketika krisis melanda, agama memberikan arah dan penguat harapan.

Sayangnya, agama kini banyak menjadi permainan kekuasaan. Ajaran dan tradisi religius digunakan untuk mengabdi pada kepentingan politik dan ekonomi yang tidak sehat.

Akibatnya, agama kini justru menjadi alat pemecah. Ia menjadi ideologi yang keras dan jahat terhadap hal-hal yang berbeda dari dirinya.

Padahal, Hank Kueng, pemikir Jerman, pernah menegaskan, bahwa perdamaian dunia hanya mungkin terjadi, jika ada perdamaian antar agama. Ketika agama menjadi pemecah, maka perdamaian dunia tidak akan pernah terwujud.

Tentu saja, ada hal-hal yang bisa dilakukan, supaya itu tidak terjadi. Ada empat hal yang kiranya bisa dilakukan.

Empat Langkah

Pertama, setiap agama di dunia harus mengembangkan ilmu tafsir historis kritis di dalam memahami dan menerapkan ajarannya. Tafsir historis kritis berarti mampu memahami teks dan ajaran agama sesuai dengan konteks ajaran dan teks itu dibuat, lalu disesuaikan secara kritis dengan keadaan di masa kini yang telah banyak berubah.

Sebuah teks dan ajaran lahir dari keadaan jaman tertentu. Ia tidak bisa diterapkan begitu saja secara harafiah ke jaman sekarang.

Maka dari itu, tafsir historis kritis amat penting untuk diterapkan. Penyesuaian dengan keadaan jaman adalah kunci, supaya agama tidak gampang digunakan membenarkan kepentingan ekonomi dan politik licik.

Untuk bisa menafsir, orang perlu menggunakan akal sehat dan pikiran kritisnya. Maka dari itu, agama juga perlu mengajarkan pemeluknya cara-cara untuk mengembangkan akal sehat dan berpikir kritis.

Dua, setiap agama juga perlu memahami dan mengembangkan ajaran sosialnya masing-masing. Ajaran sosial agama selalu merupakan penerapan ajaran-ajaran luhur agama ke dalam konteks hidup bersama.

Ia berisi nilai-nilai yang mendorong orang untuk keluar dari kemiskinan dan kebodohan. Ia perlu dirawat, dikembangkan, disebarkan dan diterapkan di dalam hidup sehari-hari orang beragama.

Tiga, setiap agama perlu kembali ke akar mistiknya, yakni akar pengalaman persentuhan dengan “yang transenden”, yang biasa disebut sebagai Tuhan. Ketika masuk ke dalam pengalaman ini, orang menyatu dengan segala sesuatu.

Ia tidak melihat lagi orang ataupun mahluk lain sebagai pihak asing, apalagi sebagai musuh. Cinta dan kedamaian yang sejati secara alamiah muncul di dalam hati dan tindakannya.

Untuk bisa masuk ke akar mistik ini, orang perlu untuk sungguh mendalami agamanya. Jika hanya terjebak pada permukaan, orang kerap kali jatuh pada salah paham yang mengantarkan pada banyak masalah.

Empat, setiap agama juga harus mulai membenahi tata kelola organisasinya. Bagaimanapun, agama adalah sebuah organisasi yang membutuhkan tata kelola yang tepat.

Jika tidak, maka agama bisa berubah menjadi organisasi yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang terjadi kemudian adalah agama justru menjadi alat pemecah belah yang merugikan banyak pihak.

Empat langkah ini juga mengajak orang untuk dewasa di dalam beragama.

Kedewasaan

Sementara bangsa lain sudah berusaha mencari sumber energi alternatif, mengembangkan industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta mencari kemungkinan adanya tempat tinggal di planet lain, bangsa kita masih diskusi soal boleh-tidak boleh, suci-tidak suci dan berbagai hal remeh lainnya. Sementara kita sibuk berbicara tentang hal-hal remeh, kehidupan ekonomi, politik dan budaya kita dijajah oleh bangsa-bangsa lain.

Akibatnya, kesenjangan sosial makin tinggi, dan kemiskinan tetap merajalela di Indonesia. Kita pun menjadi bangsa terbelakang yang (mengaku) religius.

Jelaslah, agama di Indonesia masihlah agama untuk anak kecil. Anak kecil perlu diatur.

Jika tidak diatur, ia akan merusak dirinya sendiri, dan orang sekitarnya. Anak kecil suka merengek, jika keinginannya tak dituruti. Anak kecil belum bisa diberikan kebebasan beserta tanggung jawab yang mengikutinya.

Di Indonesia, agama juga masih sekedar hiasan saja. Agama dipakai untuk tampil baik dan soleh di hadapan umum, walaupun perilaku dan cara berpikir aslinya amatlah bejat dan korup.

Tak heran, para koruptor tiba-tiba terlihat mengenakan pakaian agamis, ketika menjalani sidang tindak pidana korupsi. Tak heran pula, para pencuri uang rakyat rajin menyumbang ke rumah-rumah ibadah, guna menutupi kebejatan sikapnya yang sesungguhnya.

Hakekat Agama

Jelaslah, bahwa ini tidak boleh berlangsung terus. Agama di Indonesia harus dikembalikan ke peran asalinya.

Ia tidak boleh digunakan untuk kepentingan memperbodoh rakyat umum. Ia juga tidak boleh dipelintir untuk berbagai kepentingan busuk lainnya, termasuk kepentingan nafsu birahi yang tak terkontrol.

Sejatinya, setiap agama selalu lahir dari persentuhan dengan Yang Transenden. Ia memiliki banyak nama, seperti Tuhan, Yahwe, Allah, Dewa dan sebagainya.

Nama tidaklah penting. Yang penting adalah, bahwa persentuhan itu mengubah orang menjadi lebih penuh kasih, bijaksana dan bebas.

Agama lalu menawarkan jalan bagi hidup manusia menuju perdamaian. Perdamaian itu lahir dari hati yang penuh kasih yang kemudian tampak di dalam hidup sehari-hari.

Agama juga menawarkan pencerahan batin yang mendalam. Orang lepas dari kebodohan, dan masuk ke dalam pengetahuan yang sejati tentang kehidupan sebagaimana adanya.

Agama lalu menjadi penerang bagi hidup manusia. Agama ada untuk membantu manusia mengenali segala yang ada, dan menjadi penuh welas asih.

Agama tidak boleh menjadi tujuan pada dirinya sendiri, apalagi dengan mengorbankan kepentingan dan kehidupan manusia. Agama yang sibuk dengan dirinya sendiri adalah agama yang sakit.

Agama untuk Orang Dewasa

Dengan mengembalikan agama ke peran asalinya, maka kita bisa menjadi dewasa di dalam beragama. Agama untuk orang dewasa adalah agama yang membebaskan.

Ia membebaskan orang dari penderitaan dan kebodohan. Berikutnya, ia memberikan kesehatan batin, dan berarti juga kesehatan badan, bagi pemeluknya.

Agama untuk orang dewasa tidak membelenggu orang dengan aturan-aturan yang bertentangan dengan kemanusiaan dan akal sehat. Agama tersebut bisa ditafsirkan secara terus menerus, sesuai dengan perubahan jaman.

Agama tersebut memelihara dan mengembangkan kehidupan di dalam segala bentuknya. Agama untuk orang dewasa tidak memenjara orang di dalam cara berpikir yang terbelakang.

Sebaliknya, agama untuk orang dewasa mengajak orang untuk berpikir secara mandiri. Orang juga diajak untuk mendengarkan hati nuraninya secara jernih dan rasional.

Agama untuk orang dewasa tidak sibuk memuntahkan aturan-aturan yang menghina akal budi seseorang. Ia bukanlah tiran yang mengambil keuntungan dari ketakutan dan kebodohan manusia.

Tidak Gampang Dipelintir

Agama untuk orang dewasa mengajarkan, bahwa kita semua, sejatinya, adalah satu. Warna kulit, ras, bahasa, jenis kelamin, dan orientasi seksual boleh berbeda.

Namun, itu semua hanya permukaan belaka. Inti diri kita, dan semua mahluk di alam semesta ini, adalah satu dan sama.

Agama untuk orang dewasa tidak mudah dipelintir untuk kepentingan memecah belah. Ia tidak memisahkan orang berdasarkan warna kulit, ras, jenis kelamin dan orientasi seksual.

Ia tidak bisa dipakai untuk membenarkan penindasan pada manusia lain, ataupun pada alam. Ia kebal dari permainan politik, ekonomi ataupun pembodohan publik.

Ketika ada upaya untuk memelintir agama demi mencapai kepentingan-kepentingan rakus dan busuk, sikap kritis otomatis akan muncul. Orang akan mengajukan pertanyaan, berdebat dan bahkan berdemonstrasi di jalan, demi meluruskan kembali agamanya ke jalan yang luhur.

Sayangnya, ini belum terjadi di Indonesia. Berulang kali, agama digunakan sebagai kendaraan politik untuk memenuhi kerakusan manusia belaka.

Namun, kita hanya terdiam menyaksikan. Bahkan, kita ikut bermain di dalamnya, dan memperoleh keuntungan darinya.

Akibatnya, agama semakin terpuruk di dalam permainan politik dan ekonomi yang penuh kebusukan. Jika sudah begitu, kita semua yang rugi. Kita terjatuh ke dalam kemunafikan.

Melampaui Kemunafikan

Ada dua pandangan tentang kaitan antara agama dan kemunafikan. Di satu sisi, orang bodoh dan munafik memeluk agama tertentu, sehingga agama tersebut membenarkan kemunafikan dan kebodohannya.

Inilah cikal bakal segala bentuk kemunafikan dan kebodohan atas nama agama yang banyak kita lihat sehari-hari, mulai dari pembenaran atas kekerasan, nafsu birahi, sampai dengan kerakusan atas harta dan kuasa yang dibalut dengan ayat-ayat suci.

Di sisi lain, agama itu sendiri sudah selalu mengandung kemunafikan di dalamnya. Dengan kata lain, jauh di jantung agama-agama, ada hal yang membuat orang biasa menjadi munafik dan bodoh.

Pandangan kontroversial inilah yang perlu dipahami lebih dalam.

Ketidakmungkinan

Agama adalah lembaga yang dibangun berdasarkan pada seperangkat nilai dan prinsip tertentu yang, menurut keyakinan mereka, berasal dari Tuhan, atau entitas transenden lainnya. Agama menawarkan arah kehidupan yang ideal pada pemeluknya.

Arah kehidupan tersebut, juga menurut keyakinan mereka, akan menuntun orang ke Surga, atau tempat indah lainnya di dalam bayangan mereka. Jika melanggar atau melawan ajarannnya, maka neraka, atau tempat terkutuk lainnya, sudah siap menanti.

Masalahnya, prinsip dan nilai yang diajarkan agama tersebut tidak akan pernah terwujud di dalam kehidupan. Bahkan, para pemuka agama tersebut pun yang, seringkali secara tersembunyi, melanggarnya.

Ketidakmungkinan dari prinsip dan nilai tersebut membuat banyak orang frustasi. Mereka selalu merasa kurang, berdosa dan tak berdaya.

Ada orang yang memilih untuk tetap merasa berdosa, dan kemudian menjadi semakin saleh menekuni agamanya. Orang-orang semacam ini mudah sekali diperalat oleh para pemuka agama untuk menjadi robot-robot patuh yang siap dihisap uangnya, atau diminta menggendong bom bunuh diri, demi harapan surga setelah mati.

Ada orang yang kemudian menyerah, dan kemudian memilih untuk menggunakan ajaran dan prinsip moral agamis untuk membenarkan hal-hal bejat di hati dan perbuatannya. Inilah orang-orang munafik yang berjubah dan fasih mengutip ayat suci, tetapi penuh cela di hati dan kehidupan sehari-harinya. Kita banyak melihat orang semacam ini di Indonesia.

Di hadapan keluruhan prinsip dan ajaran agamis, yang tak akan pernah mungkin menjadi kenyataan, orang jatuh ke dalam perasaan tak berdaya dan kemunafikan. Keduanya adalah penderitaan, baik bagi orang yang mengalaminya, maupun orang-orang sekitarnya.

Ini tentu bukan merupakan keniscayaan. Ada jalan lain yang tentu bisa ditempuh.

Tegangan Kreatif

Akar kemunafikan adalah perbedaan yang begitu tajam antara kata dan tindakan. Perbedaan ini tentu tidak selalu bermuara pada kemunafikan.

Ia bisa menjadi tegangan kreatif untuk mendorong orang untuk menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Ia juga bisa membawa orang untuk berkembang keluar dari kesempitan pikiran dan pertimbangannya.

Bagaimana menumbuhkan tegangan kreatif ini, dan menjauhkan orang dari kemunafikan? Caranya adalah dengan menumbuhkan sikap kritis di dalam hidup beragama.

Orang terbiasa untuk berpikir, bertanya dan menganalisis sebelum menerima ajaran apapun, termasuk ajaran agama. Orang menggunakan nalar dan akal sehatnya untuk mempertimbangkan, ajaran apa yang akan dipeluknya.

Sayangnya, sikap kritis pun juga kerap kali dianggap berbahaya oleh para pemuka agama. Banyak agama hidup dan berkembang dari kebodohan dan kemunafikan pemeluknya.

Lembaga agama memperoleh banyak uang dan pengaruh politik, persis karena pemeluknya takut berpikir mandiri dan kritis. Yang dilestarikan kemudian adalah sikap patuh yang berdasarkan pada kepercayaan buta belaka.

Alhasil, orang dicabut dari keunikannya, dan dipaksa untuk menyatu dengan kerumunan. Orang menjadi gerombolan yang bisa disetir untuk kepentingan politik, mengeruk uang atau bahkan mengobarkan perang.

Pola semacam ini jamak ditemukan di dalam sejarah agama-agama besar dunia. Di dalam agama semacam ini, kemunafikan dan kekerasan adalah makanan sehari-hari.

Ajaran indah agama hanya menjadi buih moral yang jauh dari tindakan nyata. Para pemuka agama dan orang-orang yang mengaku saleh berkhotbah tentang pentingnya nilai-nilai luhur.

Walaupun, seringkali merekalah yang menjadi pelanggar utama dari nilai-nilai yang dikoarkannya sendiri. Kemunafikan bagaikan polusi yang tersebar di udara, walaupun orang kerap kali takut mengungkapkannya.

Sikap kritis terhadap ajaran agama akan menuntun orang ke dalam spiritualitas, yakni cara hidup spiritual yang tulus terungkap dari penghayatan batin, dan bukan dari kepercayaan buta terhadap sekelompok orang berjubah. Spiritualitas selalu bersifat revolusioner.

Ia mengubah orang dari dalam. Ia mencela kemunafikan, sekaligus, pada saat yang sama, bersikap lembut dan penuh cinta pada orang-orang munafik.

Perubahan batin dari dalam ini akan mengantarkan orang pada kebijaksanaan dan welas asih. Keduanya akan mengantarkan orang pada pemahaman mendalam tentang apa yang terpenting di dalam hidup ini.

Yang Terpenting

Lalu, apa yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan uang. Saya bahkan berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam hidup ini pun bukan hidup itu sendiri.

Keluarga, bahkan memahami “tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup ini. Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, tetapi bukanlah yang terpenting.

Yang terpenting dalam hidup ini adalah memahami, siapa kita sebenarnya. Kita punya tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia.

Jika kita bisa menyadari ini, maka kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang sejati. Kita pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan masyarakat kita.

Ini bukan hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai belahan dunia juga berpendapat yang sama.

Tradisi Vedanta di India, filsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufisme di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah kita sesungguhnya?

Pertanyaan ini adalah pertanyaan terpenting di dalam hidup manusia.

Jati Diri Sejati

Yang jelas, kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang tua.

Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. Semua itu bisa berubah.

Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri sejati kita sebagai manusia.

Jati diri ini adalah kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun, kesadaran bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita jelas bukanlah tubuh kita.

Kesadaran inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini. Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas.

Ia adalah sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan ketika kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.

Kesadaran Murni

Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, bahwa kita bukanlah identitas sosial kita.

Kita melupakan jati diri sejati kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan semacam ini, ada satu metode yang bisa digunakan, yakni metode mencerap (perceiving method).

Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. Kita merasakan segala sesuatu secara langsung.

Kita tidak menilai ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, karena kita memiliki kesadaran murni di dalam diri kita.

Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga belajar di sekolah.

Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, dan selalu menggunakan daya analisis dan daya penilaian di dalam hidup kita.

Ketika ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesadaran murni kita. Kita terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis.

Kita menilai segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup kita, karena terlalu banyak berpikir.

Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian juga amat penting.

Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang terpenting adalah kesadaran murni kita.

Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, tetapi dapat dengan mudah dirasakan.

Kita hanya perlu berhenti untuk menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.

Ketika ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri.

Kita lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi dengan baik sebagai manusia.

Melampaui Kelekatan

Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala kelekatan pun hilang. Kita tidak lagi melekat pada harta, uang, jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu sendiri. Kita menemukan kebebasan yang sejati.

Dengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa menggunakan itu semua sesuai fungsinya.

Kita juga bisa menggunakan itu semua untuk membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati untuk menyelamatkan orang lain.

Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita.

Kita lalu sadar, bahwa itu semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.

Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat.

Kita menggunakan analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.

Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber bagi konflik, melainkan sumber bagi dialog.

Politik menjadi efektif dan efisien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan. Setelah itu, perdamaian dunia yang sesungguhnya bisa terwujud.

Perdamaian Dunia

Perdamaian dunia hanya bisa terjadi, jika ada perdamaian antar agama. Perdamaian antara agama bisa terjadi, jika empat langkah diatas dipahami dan diterapkan.

Perdamaian antar agama bisa terjadi, jika masing-masing agama bisa memberikan kedamaian yang sejati kepada pemeluknya. Semua hal ini terhubung secara erat, dan dimulai dari pembenahan di dalam diri agama-agama itu sendiri.

Kita memasuki masa apa yang disebut Juergen Habermas, pemikir Jerman, sebagai masa pasca sekularisme. Agama memiliki tempat baru untuk menanam dan menyebarkan nilai-nilai luhur peradaban dalam dialog dengan agama-agama ataupun pandangan dunia lainnya.

Jangan sampai peran ini terlupakan, dan kita jatuh ke dalam perpecahan, akibat kesempitan berpikir, ataupun pengaruh kepentingan-kepentingan politik ekonomi sesaat. GKI berperan besar untuk mencegah itu semua.

Jangan sampai peran ini terlupakan!!

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

15 tanggapan untuk “Kedewasaan Beragama dan Perdamaian Dunia”

  1. Agama itu adalah akal, tiada agamanya untuk orang yang tidak berakal ….
    Tuhan menciptakan segala sesuatu itu dengan ilmu pengetahuan ,dan agama menjadi dimensi sosialnya diruang publik

    Suka

  2. Salam kenal pak Reza, saya sangat menikmati tulisan bapak yang mencerahkan. Saya melihat tersirat dari tulisan pak Reza bahwa bapak mengikuti filosofi Buddhisme tentang tiga corak kehidupan yaitu anicca, anatta, dan dukkha. Selain itu soal Tuhan punya banyak nama mengikuti jalur dari John Hick. Hanya penasaran saja pak. Terima kasih dan ditunggu tulisan-tulisan selanjutnya yang mencerahkan!

    Suka

  3. Salam kenal juga. Saya memang salah seorang pengikut Buddha Dharma. Saya sangat mengagumi ajaran Buddhis tentang kenyataan dan pencerahan. Namun, saya tidak mendalami John Hick. Ok, terima kasih dan sampai jumpa.

    Disukai oleh 1 orang

  4. menurut penalaran saya Agama tidak pernah menyimpang dri akidah² yg membawa ketentraman jiwa untuk membentuk pribadi dinamis membentuk budi pekerti luhur, pemahaman saya hanya tingkah laku mreka sendiri telah menutup personalitas diri’a hingga melalaikan budi pekerti luhur itu sendiri.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.