Politik di Abad Kegelapan

1934e23f0c7383386b1bf9cdcca4e886Oleh Reza A.A Wattimena

Tampaknya, kita hidup di abad kegelapan. Di dalam abad ini, kesempitan berpikir menjadi semangat jaman (Zeitgeist).

Beragam fenomena menggiring kita menuju abad ini, mulai dari perang tak berkesudahan di Timur Tengah, politik yang semakin semerawut di Indonesia, gunjang ganjing di Uni Eropa, dan terpilihnya para politikus fasistik di AS. Amerika selatan pun menyaksikan jatuhnya berbagai pemerintahan pro rakyat, dan bangkitnya pemerintahan sayap kanan yang tak peduli pada keadilan sosial.

Abad Kegelapan

Kata abad kegelapan (dark age) diambil dari upaya untuk menjelaskan apa yang terjadi di Eropa, setelah kekaisaran Romawi Barat jatuh. Kemiskinan, kebodohan dan fanatisme berkembang biak, seperti anak kelinci.

Ada empat hal yang kiranya menjadi ciri dari abad kegelapan di awal abad 21 ini. Pertama, irasionalitas menjadi menu sehari-hari di dalam politik dunia.

Kesempitan berpikir dianggap sebagai keutamaan. Kemalasan untuk bersikap kritis dianggap sebagai watak mulia, dan kepatuhan buta dianggap sebagai ciri orang bijaksana.

Alhasil, banyak politikus busuk menduduki kursi kekuasaan. Di tangan mereka, berbagai kebijakan konyol muncul, dan merugikan banyak orang.

Dua, mayoritas menjadi diktator yang menyesatkan. Di banyak negara, dukungan mayoritas dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak boleh dipertanyakan.

Padahal, mayoritas kerap kali jatuh pada rayuan media yang seringkali sesat dan penuh kepentingan kotor. Ketika kebenaran disamakan dengan suara mayoritas, maka hidup bersama yang beradab pun akan hilang.

Tiga, irasionalitas lalu melahirkan banyak anak busuk lainnya. Salah satunya adalah fanatisme ideologis. Orang setia pada satu paham tertentu yang dianggap benar secara mutlak, lalu menyerang dan bahkan menghancurkan orang-orang yang berbeda paham dengannya.

Ketiga hal ini lalu membentuk faktor keempat, yakni politik yang dipersempit menjadi politisasi. Ketika segala bidang kehidupan mengalami politisasi, maka kebusukan hidup bersama adalah buahnya.

Politik dan Politisasi

Politisasi adalah upaya untuk menjadikan suatu hal sebagai pertarungan kepentingan tidak sehat yang merugikan banyak orang lainnya. Ini jelas berbeda dengan inti utama dari politik, yakni segala sesuatu yang terkait dengan banyak orang, sekaligus upaya untuk mewujudkan berbagai kemungkinan melalui kerja sama.

Politisasi ini terjadi setidaknya di tiga bidang. Yang pertama adalah bidang politik, terutama politik praktis.

Politisasi membuat semua proses politik, seperti pembuatan kebijakan dan pemilihan kepala daerah, menjadi kotor dan menjijikan. Orang tidak lagi fokus pada hal-hal yang penting di dalam politik, seperti kredibilitas dan keterwakilan kepentingan rakyat banyak, melainkan pada manuver-manuver busuk yang membuat rakyat muak.

Fitnah dan kebohongan lalu menjadi bagian utama politik. Rakyat luas lalu merasa tak berdaya, dan tinggal menunggu waktu, sampai konflik berdarah terjadi, karena penderitaan yang tak lagi tertahankan.

Yang kedua adalah bidang ekonomi. Politisasi di bidang ekonomi berarti pemelintiran segala kebijakan ekonomi demi kepentingan segelintir pihak tertentu yang kaya dan berkuasa dengan mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih luas.

Ekonomi neoliberalisme yang amat menekankan pasar bebas adalah produk nyata dari politisasi ekonomi semacam ini. Di dalam model ini, yang kuat dan kaya akan semakin beruntung, sementara yang sejak awal kekurangan sumber daya akan semakin terjerumus di dalam kemiskinan ekonomi.

Dua hal ini pun berpengaruh langsung bidang ketiga, yakni pendidikan. Politisasi pendidikan mengaburkan inti utama pendidikan yang luhur dan mulia, serta mengubahnya menjadi sistem pencetak robot-robot yang patuh buta terhadap tradisi, agama dan trend ekonomi sesaat.

Pendidikan pun kehilangan jiwanya. Yang tersisa adalah pabrik-pabrik manusia yang menciptakan kecemasan dan penderitaan bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Menanti Fajar Budi

Di dalam sejarah, abad kegelapan justru menjadi titik tolak untuk perubahan mendasar, yang memicu lahirnya jaman fajar budi, atau pencerahan. Di masa ini, akal sehat menjadi pedoman hidup manusia, mulai dari soal hubungan pribadi sampai dengan tata kelola hubungan antar bangsa.

Kita hanya perlu berteguh untuk melalui abad kegelapan ini, dan tetap bekerja sama mewujudkan proyek-proyek pencerahan di sekitar kita. Sampai suatu saat, ketika semua kondisi sudah berjumpa, abad kegelapan akan tertelan oleh matahari akal sehat, dan kita akan memasuki era baru.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Politik di Abad Kegelapan”

  1. Menurut hemat saya persoalannya adalah bagaimana menyelenggarakan kekuasaan berdasarkan nalar dan intuisi masyarakat di sekitar lokalitas. Kita bisa menamakan politik kita saat ini adalah sebagai politik yang kehilangan legitimasi moral dan budaya lokalitas. Politik barat telah memberanguskannya, menyingkirkan tradisi dan peradaban lama yang seharusnya menjadi modal sosial yang dapat dipakai untuk mewujudkan tujuan dan cita masyarakat. Akar kultur budaya yang hilang bukanlah suatu perkara simpel, melainkan segala-galanya, melahirkan meta-perbudakan…

    Suka

  2. Pak terimakasih atas sharingnya….sangat mencerahkan…saya ingin agar bp…..kalau bisa lebih menjelaskan tentang poin “……..rayuan media yang…..”…
    Makasih…..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.