Tentang “Kepantasan”

tetsuya-ishida-09Oleh Reza A.A Wattimena

Pendiri Program “Sudut Pandang” (www.rumahfilsafat.com)

Beberapa bulan ini, saya tinggal di dua kota terbesar di Indonesia, yakni Jakarta dan Surabaya. Ada satu hal yang cukup menganggu pikiran saya. Di dua kota besar tersebut, mobil sekaligus motor mewah seri terbaru berkeliaran di jalan raya. Rumah mewah juga bertebaran di mana-mana.

Pesta perkawinan dan ulang tahun dirayakan dengan begitu mewah. Banyak orang juga bergaya hidup mewah, tanpa peduli hal-hal lain, kecuali kenikmatan diri dan kerabatnya. Keadaan ini sebenarnya tak bermasalah, jika Indonesia sudah bisa dianggap sebagai negara makmur. Namun, kenyataan berbicara berbeda: Indonesia masih merupakan negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang terus meningkat (per data Badan Pusat Statistik Juli 2016).

Negara “Berkembang”

Di berbagai tempat di Indonesia, banyak orang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni makanan, pakaian dan rumah yang layak untuk kehidupan. Banyak tempat masih belum tersentuh oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Mereka terjebak di daerah terpencil, dikepung oleh banyak penyakit dan kemiskinan. Mereka belum merasakan nikmatnya buah pembangunan nasional.

Pendidikan juga masih menjadi masalah besar di Indonesia. Banyak tempat masih belum mendapatkan akses pendidikan yang bermutu. Gedung-gedung sekolah dan universitas juga terancam roboh, karena tidak adanya niat pemerintah pusat ataupun daerah untuk sungguh memperbaikinya. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih mencengkram dunia pendidikan kita begitu dalam. Semua hal ini dibarengi dengan miskinnya paradigma pendidikan Indonesia yang masih menekankan kepatuhan buta dan hafalan mati.

Keadaan serupa kiranya juga bisa dilihat di dalam dunia kesehatan Indonesia. Hadirnya BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan) adalah suatu kemajuan besar. Namun, pelayanannya masih banyak kekurangan. Akibatnya, banyak orang tetap kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terutama mereka yang berada di daerah-daerah terpencil.

Jika anda mau melihat dengan lebih jeli, kesenjangan sosial juga tampak begitu tajam di berbagai kota di Indonesia. Orang kaya bisa begitu kaya dan bergaya hidup mewah. Sementara, orang-orang sekitarnya hidup dalam kemiskinan. Kesenjangan yang begitu tajam ini menjadi akar dari beragam masalah sosial, mulai dari kriminalitas sampai dengan konflik sosial yang bermuara pada revolusi politik dengan kekerasan.

Tentang “Kepantasan”

Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya patut kita renungkan: apakah pantas kita bergaya hidup mewah di tengah lautan kemiskinan masyarakat Indonesia? Apakah pantas kita membangun rumah mewah di antara berbagai pemukiman kumuh di sekitar kita? Apakah pantas kita mengendarai kendaraan mewah di tengah sulitnya perekonomian jutaan rakyat di Indonesia lainnya? Apakah pantas kita berpesta pora begitu mewah, ketika banyak saudara kita sebangsa dan setanah air kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya?

Kepantasan adalah bagian dari keutamaan hidup manusia. Para filsuf Stoa di masa Yunani Kuno menekankan kepantasan sebagai ciri utama orang bijaksana. Adam Smith, yang juga terkenal sebagai bapak ekonomi, melihat kepantasan sebagai bagian dari empati terhadap manusia lain. Lepas dari pendapat para pemikir dunia, akal sehat dan hati nurani kita juga menegaskan, bahwa kita harus hidup dengan kepantasan, yakni menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar kita, tanpa hanyut di dalamnya. Dalam bahasa Indonesia, kata “bersahaja” kiranya bisa menangkap semangat kepantasan tersebut.

Hidup dengan “kepantasan” bukan berarti ikut miskin, ketika orang-orang sekitar kita hidup dalam kemiskinan. Hidup dengan “kepantasan” berarti tetap bekerja untuk mencari uang, namun uang itu digunakan dengan sepantasnya, yakni memperhatikan keadaan di sekitar kita. Ada empati yang bermain disini, yakni kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain yang berbeda dari diri kita. Empati ini lalu menjadi dasar bagi solidaritas, yakni hidup dengan niat membantu orang-orang di sekitar kita yang belum mampu mencapai taraf hidup yang layak bagi kemanusiaan.

Kekayaan lalu digunakan untuk pemberdayaan, dan bukan untuk ditimbun demi memuaskan kenikmatan pribadi ataupun kerabat. Inilah kekayaan yang digunakan dengan kepantasan, yakni dengan sikap bersahaja dan peduli. Orang bisa tetap kaya, namun tetap prihatin, karena banyak orang lainnya yang masih terjebak pada lingkaran kemiskinan. Ini sebenarnya bukan hal baru. Namun, mungkin kita lupa, atau memang sekedar buta. Semoga bukan itu soalnya…

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Tentang “Kepantasan””

  1. saya selalu tertarik dan menunggu postingan terbaru pak reza. kajian filsafat yang rumit, begitu sederhana melalui tulisan bapak.

    mengenai tulisan ini, saya mau mengajukan satu pertanyaan kepada bapak. kenapa harus ada kontradiksi ? kaya-miskin, baik-buruk, dll ?

    Suka

  2. Jadi ingat masjid dekat rumah saya; mulai dari pengurusnya yang berkantung tebal karena kebanyakan pengusaha besar yang baru menggebu belajar agama, sampai uang infaq tiap jumatnya yang bisa sampai berpuluh-puluh juta, dan renovasi masjid terus menerus yang sampai menelan biaya ratusan juta, belum lagi jamaahnya yang memang kaya-kaya krn posisi mesjid itu berada di perumahan elit.. tapi nyatanya, tak mampu mengubah barang secuilpun kemiskinan dan kekumuhan orang-orang desa yg padahal, mereka hidup puluhan tahun di belakang masjid itu. Apa artinya keshalehan vertikal-transenden yg menggebu2 itu kalau tak ada pengaruhnya pda keshalehan horizontal dan memilih buta, tuli dan bisu ketika orang2 di sekitar mereka msh hidup dlm labirin kemiskinan?

    Tulisan yg sangat menggugah, pak. Saya senang membaca tulisan-tulisan bapak.

    Salam

    Suka

  3. inilah agama yang tidak peduli pada keadilan sosial… salah satu penyakit lama segala agama di dunia: mudah digunakan untuk membenarkan segala hal buruk… terima kasih sharingnya…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.