Oleh Reza A.A Wattimena
Pendiri Program “Sudut Pandang” (www.rumahfilsafat.com)
Seduksi adalah rayuan. Namun, ia tidak sekedar rayuan. Rayuan normal bersifat pribadi. Lawan jenis saling merayu untuk mencapai kenikmatan bersama, atau untuk tujuan lainnya, seperti uang dan kuasa. Seduksi adalah rayuan yang bersifat sistemik. Seluruh unsur kehidupan kita, mulai dari politik sampai dengan hiburan, merayu kita untuk melupakan jati diri kita, dan hanyut di dalam sistem.
Seduksi Sistemik
Sistem politik melakukan seduksi, supaya kita memberikan suara kita, ketika pemilihan umum tiba. Janji-janji cemerlang diucapkan, guna memikat hati rakyat. Hadiah-hadiah mewah dibagikan, kerap kali dengan cara-cara yang melanggar hukum. Seduksi politik adalah seduksi yang memoles kepercayaan rakyat terhadap kekuasaan.
Ekonomi dan bisnis melakukan seduksi, supaya kita terus mengeluarkan uang, bahkan untuk kebutuhan-kebutuhan palsu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Orang diseduksi, supaya terus bekerja, memeras tenaga dan keringat, lalu bisa belanja lebih banyak barang. Pepatah lama kiranya benar. Kita melakukan pekerjaan yang kita benci, guna membeli barang yang tidak kita butuhkan, dan demi menyenangkan hati orang-orang yang tak penting dalam hidup kita.
Agama pun menjalani peran yang sama. Ia adalah alat seduksi, supaya kita melepaskan akal sehat kita, dan menjadi patuh buta. Orang diminta menunda pertimbangan kritis dan rasionalnya, serta mengikuti apa kata tradisi, tanpa tanya. Seduksi agama adalah seduksi untuk melakukan kontrol sosial dengan mengatasnamakan kesucian palsu. Agama yang sejati tidak melakukan seduksi, melainkan membebaskan orang untuk mencapai kedamaian dan kebijaksanaan.
Budaya massa pun melakukan seduksi, supaya kita melepaskan akal sehat kita sebagai manusia. Budaya massa mendikte kita untuk berperilaku sesuai dengan perubahan jaman. Semua tata hidup, mulai dari gaya berjalan, gaya berbicara, gaya berpakaian sampai dengan gaya bercinta, diminta menyesuaikan diri dengan trend terbaru. Jika orang tidak mau, maka ia dianggap katro, alias ketinggalan jaman.
Melampaui Seduksi
Setiap detik, kita diserang oleh beragam rayuan sistemik. Halaman internet sampai dengan papan iklan di pinggir jalan, semua merayu kita untuk melepaskan akal sehat dan sikap kritis kita. Jika orang tak sadar akan hal ini, hidupnya hanya menjadi budak dari sistem. Ia kehilangan kebebasan.
Ketika akal sehat dan sikap kritis lenyap ditelan seduksi, hidup menjadi tak beradab. Kenikmatan diumbar tanpa pertimbangan kepantasan pada keadaan sosial. Orang menumpuk harta dan kenikmatan, namun tak pernah bisa sungguh bahagia dan terpuaskan. Ia kehilangan jati dirinya, dan hidup dalam penderitaan serta kekosongan jiwa.
Seduksi tidak pernah mutlak. Ia bisa dilawan tidak dengan hantaman, namun dengan pengabaian. Kita mengabaikan segala bentuk seduksi, dan memilih melihat ke dalam. Di dalam diri, kita bisa menemukan kepenuhan, kebahagiaan serta kebijaksanaan yang kita rindukan.
Hidup mengabaikan seduksi berarti hidup dengan kebijaksanaan. Sistem datang dan pergi dengan rayuannya, namun itu tidak lagi mendikte hidup kita. Inilah arti kebebasan yang sesungguhnya. Mengabaikan seduksi berarti memeluk kebebasan, dan menjalani hidup yang bermakna. Jadi tunggu apa lagi?
Super pak..
saya sering juga berpikir seperti yg bpk tulis..kita hidup dalam sistem yg mendikte kita. saya mengalaminya sendiri banyak kebenaran yg lewat begitu saja, hanya karna orang ingin hidup nyaman dalam sistem..
trimakasih pak saya akan terus menikmati tulisan bpk.. ini benar2 mengusik saya
SukaSuka
Super pak..
saya sering juga berpikir seperti yg bpk tulis..kita hidup dalam sistem yg mendikte kita. saya mengalaminya sendiri banyak kebenaran yg lewat begitu saja, hanya karna orang ingin hidup nyaman dalam sistem..
trimakasih pak saya akan terus menikmati tulisan bpk.. ini benar2 mengusik saya
SukaSuka
sama2.. semoga membantu… kita perlu terus bertanya dan berpikir, supaya tidak hanyut di dalam kebodohan di sekitar kita
SukaSuka