Bangsa yang Berhasil

Dd105119_1

Oleh Reza A.A Wattimena

Sebentar lagi, kita akan menyambut peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke 71. Kiranya perlu bagi kita untuk sejenak berhenti, dan melihat apa yang telah kita capai sekarang ini. Setitik pembedaan dasar juga kiranya penting untuk diperhatikan.

Tujuan Sebenarnya

Secara umum, bisa dibilang, kita adalah bangsa yang amat berhasil. Tunggu dulu, tulisan ini bukanlah yang seperti anda harapkan. Secara teoritis, bangsa kita memiliki beberapa tujuan dasar yang hendak dicapai, salah satunya adalah mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kecerdasan bagi seluruh bangsa. Ini adalah pernyataan visi dan misi secara umum.

Namun, jika dilihat lebih dalam, terutama sejarah bangsa Indonesia di awal dan pertengahan abad 20 lalu, visi dan misi luhur itu bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Keberadaan bangsa Indonesia, faktual, memang sudah sejak awal bukanlah untuk kepentingan rakyatnya, tetapi untuk mengabdi pada kepentingan bangsa-bangsa lainnya. Inilah yang disebut oleh Soekarno sebagai kepentingan neo-kolonialisme, yakni penjajahan dengan jenis baru yang berkembang mulai pertengahan abad 20 lalu, dan berlanjut sampai sekarang. Di dalam model penjajahan ini, sebuah bangsa seolah diberikan kemerdekaan, namun secara faktual tetap hidup di dalam penjajahan. Ia “dibiarkan merdeka” persis untuk diperas demi kepentingan bangsa-bangsa lainnya yang hidup dengan paradigma neokolonial semacam itu.

Penguasa bangsa itu adalah kaki tangan negara-negara asing. Para penentang kepentingan asing dilibas dengan garang, atau dibiarkan menjadi tidak relevan. Orang-orang yang berjuang untuk kepentingan rakyatnya diturunkan dari kekuasaan dengan paksa, kerap kali dengan revolusi berdarah. Orang-orang yang siap tunduk dan menjilat para penguasa asing justru menjadi penguasa politik. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Bangsa Pengabdi

Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang berhasil, jika dilihat dari visi dan misi yang sebenarnya, dan bukan apa yang dengan berbusa-busa dilontarkan pada pejabat politik kita. Tujuan sebenarnya pendidikan Indonesia adalah menciptakan tenaga kerja patuh yang siap dipakai untuk bekerja sebagai pegawai rendahan di berbagai institusi yang mengabdi pada perusahaan asing. Ini sesuai dengan kurikulum pendidikan yang menekankan penghafalan daripada kreativitas, dan kepatuhan daripada keberanian untuk mencari alternatif. Menteri pendidikan kita yang baru tampaknya pendukung besar visi dan misi pendidikan Indonesia yang sebenarnya ini.

Di bidang politik dan ekonomi, kita juga mengalami hal yang sama. Berbagai kebijakan politik dan ekonomi di Indonesia menekankan pentingnya investasi modal asing. Akibatnya, semua sumber daya, baik alam maupun sosial, Indonesia dikelola oleh perusahaan asing. Perusahaan lokal dan rakyat pada umumnya hanya mendapat serpihan kecil keuntungan dari apa yang seharusnya mereka dapatkan.

Konsep budaya Indonesia disempitkan menjadi semata tarian, makanan ataupun pakaian daerah. Semua ini lalu dijual untuk kepentingan pariwisata, terutama pariwisata mancanegara yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis. Jika dilihat sesuai dengan visi dan misi sebenarnya, maka pengembangan budaya Indonesia adalah sebuah upaya yang berhasil. Apa yang bisa menjadi bahan jualan tetap berjalan, sementara budaya-budaya luhur, dalam bentuk nilai-nilai kehidupan yang mendalam, pelan-pelan tergerus dari ingatan.

Bangsa Yang Berhasil

Kesan merdeka dan berdaulat tetap dipertahankan oleh pemerintah dan media massa kita. Kita masih bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan bangga. Kita masih bisa mengibarkan bendera merah putih tanpa ketakutan. Semua itu adalah topeng yang menutupi hal sederhana, bahwa kita tidak pernah merdeka.

Kita dijajah oleh berbagai kepentingan asing. Semua data dan statistik politik, ekonomi dan pendidikan menunjukkan hal tersebut. Kedaulatan adalah kata-kata kosong. Dalam arti ini, kita adalah bangsa yang berhasil, karena kita secara tepat bisa mewujudkan visi dan misi sebenarnya dari keberadaan bangsa Indonesia di dunia.

Noam Chomsky, pemikir asal Amerika Serikat, menyatakan hal serupa di dalam bukunya yang berjudul How The World Works. Ia mendapatkan berbagai info yang bisa dipercaya, bahwa Asia Tenggara, terutama Indonesia, memang dirancang sebagai negara pengguna barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Sambil dilihat sebagai konsumen murni, Indonesia juga diperas kekayaan alam dan budayanya demi kepentingan negara-negara tersebut.

Proses penjajahan ini berlangsung lama dan halus, yakni melalui mekanisme hegemoni dan propaganda. Propaganda adalah penyebaran informasi salah yang diulang terus menerus, demi kepentingan segelitir kelompok tertentu, dan akhirnya dipercaya sebagai kebenaran oleh mayoritas orang yang tidak berpikir kritis. Salah satu buah dari propaganda adalah hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, tetapi tidak dilihat sebagai penindasan, melainkan justru sebagai sesuatu yang normal, dan bahkan diinginkan. Persis inilah yang kiranya terjadi di Indonesia dalam kaitan dengan penjajahan pihak-pihak asing.

Orang berlomba untuk bekerja di perusahaan atau pemerintah asing. Mereka merasa nikmat hidup dan bekerja dengan gaji besar, walaupun mengorbankan kepentingan bangsa mereka sendiri. Mereka ini adalah hasil dari sistem pendidikan, politik dan ekonomi Indonesia yang amat berhasil, yakni sistem-sistem yang merancang manusia-manusia patuh dan bodoh, supaya mudah ditipu dan ditindas demi kepentingan asing. Karena begitu berhasil, orang-orang Indonesia justru menemukan kenikmatan di dalam penindasan yang mereka alami.

Mau sampai kapan?

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Bangsa yang Berhasil”

  1. Memang kemerdekaan Bangsa 71 tahun yang lalu pun tak berarti bagi mereka yang mengerti esensi kemerdekaan suatu bangsa.
    Semoga lebih banyak rakyat yang tersadarkan dengan hadirnya tulisan ini.
    Terima kasih ilmunya pak Reza.
    Salam damai dari saya.
    http://Www.sophy119.tk

    Suka

  2. Sama-sama. Btw pak saya suka ngebat puisi yang mengkritik oknum agamawan sama oknum politisi yang membuat persoalan bangsa ini jadi tambah ruwet. Apa pendapat bapak tentang hobi saya ini? Btw saya baru SMA kelas 2 ehehehe

    Suka

  3. artikel yg membuka pikiran pak Reza, hanya sedikit saja wni yg tau soal ini, pak ada data data pendukung soal yg negara kita dikuasai oleh perusahaan asing?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.