Berpikir Sistemik

tumblr_nmrwtdSSLF1rsx7eao1_500
tumblr.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pernahkah anda mengalami, bahwa jalan keluar yang anda harapkan dari sebuah masalah justru melahirkan masalah baru yang lebih besar? Atau, ketika obat yang anda minum untuk lepas dari sakit justru menciptakan sakit yang lebih besar, atau sakit yang baru? Anda tidak sendirian. Banyak ahli di berbagai bidang yang terjebak pada masalah yang sama, ketika mencoba menyelesaikan beragam masalah di jaman kita, mulai dari kemiskinan, terorisme sampai dengan pemanasan global.

Salah satu alasan, mengapa ini terjadi adalah, karena kita tidak melihat masalah secara jernih. Kita hanya melihat masalah sebagai masalah itu sendiri, seolah tanpa keterkaitan dengan hal-hal lainnya. Pada titik ini, kita memerlukan sudut pandang baru, yakni pola berpikir sistemik.

Berpikir sistemik (systems thinking) adalah sebuah upaya untuk memahami masalah ataupun keadaan dengan berpijak pada teori sistem. Di dalam pola berpikir sistemik, kita mendekati semua hal tersebut dari kaca mata keseluruhan, yakni dari kaca mata sistem. Dalam arti ini, sistem dapat dipahami sebagai kesalingterkaitan segala sesuatu yang membentuk keseluruhan. Seluruh dunia dapat dilihat sebagai sebuah sistem besar yang memiliki sistem-sistem kecil sebagai bagiannya.

Kesalingterkaitan

Ada dua hal dasar yang menjadi bagian dari setiap sistem, yakni tanggapan (feedback) dan penundaan (delay). Kaitan antara tanggapan dan penundaan itu menciptakan beragam perubahan di sekitar kita, mulai dari sistem politik, ekonomi sampai dengan sistem tubuh kita yang mempengaruhi kesehatan tubuh maupun batin kita.

Peter Senge, salah satu ahli pengembangan organisasi dari sudut pandang teori sistem, memahami pola berpikir sistemik sebagai upaya untuk melihat secara keseluruhan. Artinya, kita diajak untuk melihat kaitan dan hubungan dari berbagai hal (interconnectedness). Kita diajak pula untuk melihat pola yang berulang dari berbagai perubahan yang terjadi, dan tidak hanya terpaku pada potongan-potongan peristiwa belaka.

Sekitar 50 tahun belakangan ini, pola berpikir sistemik telah digunakan untuk memahami berbagai bidang kehidupan manusia, mulai dari politik, bisnis, tata kota sampai dengan cara kerja pikiran manusia. Pola berpikir sistemik menawarkan sudut pandang baru bagi kita untuk memahami keterkaitan-keterkaitan yang seringkali tak tampak langsung pada pandangan pertama. Kesalingterkaitan inilah yang sesungguhnya merupakan ciri dasar dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Tidak ada satu hal pun yang bisa ada tanpa kaitan dengan hal-hal lainnya.

Berhasil atau Gagal

Ada beberapa hal yang kiranya bisa kita pelajari dari pola berpikir sistemik. Yang pertama, sebuah sistem bisa dianggap gagal. Namun, sebenarnya ia berhasil, karena ia memiliki tujuan yang berbeda dari yang kita inginkan. Contoh klasik adalah soal pendidikan di Indonesia.

Banyak orang yang melakukan kritik terhadap paradigma maupun sistem pendidikan di Indonesia. Bagi mereka, pendidikan di Indonesia ketinggalan jaman, karena tidak mengajarkan kemampuan berpikir mendalam dan kritis.

Namun, sebaliknyalah yang terjadi. Sistem pendidikan di Indonesia justru sangat berhasil, karena memang tujuan utamanya bukanlah menciptakan manusia yang mampu berpikir mendalam dan kritis, melainkan tenaga kerja siap pakai untuk menduduki posisi-posisi rendah di berbagai perusahaan yang tidak perlu mampu berpikir mendalam dan kritis. Ini adalah warisan dari sistem pendidikan Belanda terhadap orang-orang pribumi di masa penjajahan dahulu. Ini sama sekali belum berubah sampai sekarang, karena, sejatinya, kita memang masih hidup dalam penjajahan asing, baik secara politik (Barat), agama (Timur Tengah), ekonomi maupun budaya.

Ini tentu saja bisa diubah. Kita hanya perlu mengubah seluruh paradigma dan sistem pendidikan yang sudah ada. Ini usaha yang tidak mudah, walaupun amat mungkin dilakukan. Kegagalan sebuah sistem ternyata adalah sebuah keberhasilan, karena kita gagal memahami tujuan sebenarnya dari sistem tersebut.

 

Masalah dalam Kesalingterkaitan

Di dalam hidup, kita kerap kali melihat masalah yang terus muncul, walaupun beragam cara telah dilakukan untuk menyelesaikannya. Ini terjadi, karena kita belum menggunakan pola berpikir sistemik. Artinya, kita belum sadar, bahwa sebuah masalah selalu terkait dengan banyak hal lainnya. Tidak ada masalah yang berdiri sendiri.

Misalnya persoalan kriminalitas. Banyak orang menjadi pelaku kriminal, karena ditekan oleh keadaan, misalnya kemiskinan. Padahal, mereka memiliki keluarga yang harus diberi makan dan penghidupan. Jalan keluar singkatnya adalah dengan memperbanyak jumlah polisi, supaya meningkatkan keamanan.

Ini jalan keluar yang salah kaprah. Kriminalitas terkait erat dengan kemiskinan. Kemiskinan terkait erat dengan salah kebijakan pemerintah di dalam melakukan pembagian kekayaan. Buktinya, ada beberapa orang yang amat sangat kaya, sementara beberapa orang lainnya harus menjadi pelaku kriminalitas, guna memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya.

Kesalahan kebijakan terkait dengan mutu para pembuat kebijakan yang rendah. Kemampuan berpikir mendalam dan kritis mereka amatlah kurang. Ini terkait dengan masalah pendidikan yang juga salah paradigma, dan lemah secara sistem. Masalah kriminalitas terkait erat dengan semua unsur-unsur tersebut.

Tanggapan dan Penundaan

Bagaimana semua unsur diatas saling terhubung, dan mendorong orang menjadi pelaku kriminalitas? Di dalam teori sistem, semua unsur terhubung dengan dua pola, yakni tanggapan dan penundaan. Kita bisa langsung secara jelas melihat, bahwa di dalam kasus kriminalitas di atas, hubungan yang berlaku adalah hubungan tanggapan.

Ketika para pembuat kebijakan bermental korup dan berpikiran dangkal memasuki ranah politik, maka kebijakan yang mereka buat pun akan lemah. Akibatnya, banyak hal menjadi kacau, termasuk kesenjangan sosial yang begitu besar antara si miskin dan si kaya. Kemiskinan yang akut memaksa orang memasuki dunia kriminalitas. Keadaan yang satu adalah tanggapan atas keadaan yang lain. Ada hubungan sebab akibat yang langsung bisa diurut.

Ini seperti sistem pendingin ruangan. Di dalam sistem ini, ketika suhu ruangan menurun sesuai yang diinginkan, maka mesin pendingin ruangan akan berhenti mengeluarkan freon. Namun, ketika suhu mulai menghangat, mesin pendingin akan secara otomatis menyala. Ini yang disebut tanggapan, atau feedback.

Namun, kita juga harus sadar, bahwa tanggapan tidak secara otomatis langsung terjadi. Ada momen tunda yang membuat tanggapan tidak langsung muncul. Ketika pengangguran meningkat, kriminalitas tidak otomatis meningkat. Ada hal lain yang mempengaruhi, misalnya kuatnya ikatan keluarga membuat orang bisa saling menopang satu sama lain, dan sebagainya.

Penundaan juga terlihat, ketika kita meminum obat. Dampaknya tidak langsung tampak, melainkan membutuhkan jangka waktu tertentu. Akan sangat berbahaya, jika orang panik, lalu menambah dosis obat lebih banyak, sehingga menimbulkan kemungkinan terciptanya penyakit baru. Momen tunda harus disadari dengan jelas, sehingga orang bisa mengambil sikap yang tepat di dalam menanggapinya.

Menyelesaikan Masalah

Jika kita mencoba menyelesaikan suatu masalah, tanpa menggunakan pola berpikir sistemik, maka kemungkinan besar, masalah tersebut tidak hanya akan berlanjut, tetapi juga membesar, dan menciptakan beragam masalah baru. Kita bisa menderet begitu banyak contoh dari pola ini. Seringkali, obat justru lebih buruk daripada penyakit yang hendak diobati. Ini semua terjadi, karena jalan keluar, atau obat, yang ditawarkan hanya menyentuh permukaan persoalan, serta mengabaikan akar dari persoalan tersebut.

Contoh nyata terkait dengan pendidikan anak. Seorang anak terkenal nakal di sekolah, karena ia hidup di dalam keluarga yang terus berkonflik. Si ibu meminta dan bahkan memarahi anaknya, supaya ia tidak nakal lagi. Alih-alih menjadi baik, si anak justru menjadi semakin nakal. Inilah contoh bagaimana jalan keluar yang dilakukan justru memperparah masalah.

Pola lainnya seringkali muncul di kalangan pecandu. Mereka menggunakan narkoba atau alkohol untuk mengurangi tekanan emosional yang mereka rasakan. Namun, mereka menjadi kecanduan pada narkoba atau alkohol yang mereka gunakan, dan justru menciptakan tekanan emosional yang lebih besar. Jalan keluar yang diharapkan justru memperbesar masalah, dan menciptakan masalah baru.

Dengan pola berpikir sistemik, kita menjadi sadar, bahwa ada hal-hal yang dapat terjadi di luar dari maksud dan tujuan tindakan kita. Inilah yang disebut akibat-akibat yang tidak dimaksudkan dari sebuah tindakan (unintended consequences). Kita bisa menghindari ini dengan terus sadar akan pengaruh dari tanggapan maupun penundaan dari tindakan kita.

Pola berpikir sistemik juga mengajarkan kita untuk melihat sesuatu dalam kaitan dengan hal-hal lainnya. Kita tidak lagi mengira, bahwa suatu peristiwa terjadi terpisah dari beragam hal lainnya. Kita harus bisa merancang jalan keluar dalam kesadaran akan keterkaitan banyak hal tersebut. Kemungkinan besar, masalah yang ada bisa berkurang, atau justru hilang sama sekali.

Jika seorang pecandu ingin keluar dari kecanduannya, ia harus melihat secara jernih masalah utama apa yang mencekiknya. Ia tidak bisa menjadikan alkohol atau narkoba terus menjadi pelarian sementara yang justru memperbesar masalah. Baru dengan begitu, ia bisa mulai melepaskan diri dari jaring-jaring masalah yang mencekiknya.

Jalan keluar yang tepat seringkali bertentangan dengan pandangan lama kita, dan juga pandangan banyak orang. Ia mempertimbangkan keseluruhan di dalam keterkaitan beragam hal. Dari pertimbangan semacam ini, kita lalu bisa mengambil langkah yang tepat yang mungkin bertentangan dengan pola pikir lama, atau pola pikir masyarakat pada umumnya. Kita juga bisa langsung menghadapi akar masalah, tanpa perlu sibuk terlalu lama dengan gejala-gejala permukaan yang tak bermakna.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Berpikir Sistemik”

  1. terimakasih ilmunya pak reza..saya berpendapat bahwa berpikir sistemik memang sangatlah penting dan juga dibutuhkan dalam hidup kita dalam menanggapi permasalahan kehidupan sehari-hari, tetapi mengapa ketika berhadapan dengan masalah malah tindakan reaktif yang muncul?
    saya berpikir apa yang bapak paparkan itu ialah proses analisis pasca permasalahan itu muncul, mungkinkah pikiran reaktif dapat mengambil tempat dalam pikiran sisitemik , yang nantinya akan menjadi reaksional sistemik?

    Suka

  2. terima kasih kembali. Semoga membantu. Berpikir sistemik justru mencegah orang untuk menjadi reaktif. Reaktif berarti orang bertindak menanggapi sesuatu, tanpa berpikir dahulu. Berpikir sistemik melihat sebab akibat di belakang semua fenomena. Konsep reaksional sistemik menarik. Coba saya refleksikan lebih jauh ya. Terima kasih.

    Suka

  3. haloo pak reza, saya membaca artikel ini dan saya menemukan kejanggalan, mengenai penjajahan agama( timur tengah) maksudnya apa ya pak?maafkan saya mempermasalahkan yang ini, karena perlu anda ketahui saya bagian dari itu dan sudah sewajarnya saya reflek menanyakan tentang hal itu, mohon penjelasannya dengan rinci agar tidak terjadi miss komunikasi pak, terimakasih banyak pak reza

    Suka

  4. Haalo. Salam. Kalimat itu maksudnya begini. Agama dan budaya Timur Tengah (Yahudi, Kristen, Islam) telah menjajah budaya Indonesia, sehingga kita kehilangan identitas keindonesiaan kita, dan merasa lebih sebagai orang Timur Tengah, daripada sebagai orang Indonesia. Kita kehilangan agama dan budaya kita sendiri. Anda dengan mudah bisa melihatnya di berbagai sektor kehidupan di Indonesia.

    Suka

  5. salam pak reza… sy ingin menanggapi atas dsr reflek dkpla saya… apa yg dmksud penjajahan budaya, budaya apa yg telah bpk ktahui telah terjajah… bisa jadi ap yg trjdi skr adlah reflek dari berpikir sistematik bangsa itu sendiri, toh jika brontak pasti akn kembali kehabitat asal, bukankah keyakinan tergantung atas ksdaran msing²…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.