“AKU” di dalam Penderitaan

13285440_1551142341856523_1205172435_n
scontent.cdninstagram.com

Percikan Kebijaksanaan Timur

Oleh Reza A.A Wattimena

Kerap kali, kita merasakan emosi yang sangat kuat. Kebencian atau kesedihan menguasai batin. Bagi banyak orang, ini merupakan masalah besar. Akibatnya, mereka jadi ganas dan jahat pada orang lain, bahkan pada orang-orang terdekatnya.

Pikiran-pikiran mengerikan juga kerap datang tanpa diundang. Ketakutan dan kecemasan akan masa depan yang tak pasti menerkam jiwa. Penyesalan atas masa lalu yang menyesakkan dada sering datang berkunjung. Jika itu semua amat kuat dan terjadi dalam waktu lama, orang bisa sakit, entah sakit jiwa, kanker, jantung, darah tinggi maupun kelainan hormon.

Ini semua merupakan penderitaan hidup. Banyak orang yang tak tahan dengan itu semua, sehingga bunuh diri. Banyak pula yang menekan dan menyembunyikannya dalam-dalam. Tak heran, orang yang terlihat tenang lalu tiba-tiba bunuh diri, atau didatangi penyakit mengerikan.

Penyelidikan AKU

Ada jalan keluar sederhana yang berpijak pada kebijaksanaan Timur. Usianya sudah lebih dari 6000 tahun. Bentuknya adalah pertanyaan. Ketika emosi dan pikiran jelek (seperti kebencian, ketakutan, kecemasan dan kesedihan) datang menghantam, kita bertanya: SIAPA YANG MENGALAMI INI?

Jawaban spontan adalah SAYA, atau AKU. Nah, disinilah letak kunci jawabannya, yakni bertanya: SIAPA AKU? APAKAH ADA YANG DISEBUT AKU? Mari kita perdalam hal ini.

AKU adalah kata dan konsep yang menggambarkan sesuatu yang bersifat tetap, yakni diriku. Namaku Reza. Kata AKU menyiratkan paham, seolah Reza itu sesuatu yang tetap, walaupun usianya menua, rambutnya mulai putih, dan sebagainya. Nah, apakah pemahaman ini benar? Apakah Reza adalah sesuatu yang tetap?

Jawabannya jelas TIDAK. Segala sesuatu terus berubah saat demi saat di dalam hidup ini. Tidak ada SATU hal pun yang tetap. AKU dan SAYA pun terus berubah dari saat ke saat.

Maka, sebenarnya, keduanya tidak ada. AKU dan SAYA itu TIDAK ADA! Ketika kita menyebutnya, mereka segera berubah menjadi sesuatu yang lain. Aku yang kemarin bukanlah aku yang hari ini. Aku yang tadi pagi bukanlah aku yang siang ini.

Inilah hidup. Inilah kenyataan sebagaimana adanya. Tidak ada aku, dan tidak ada orang lain. Semua itu adalah konsep dan kata yang menipu kita, seolah ada hal yang tetap di dalam hidup ini.

Fakta Alamiah

AKU YANG TIDAK PERNAH ADA; Fakta alamiah ini didukung oleh kebijaksanaan Timur, baik Vedanta, Buddhisme maupun Taoisme. Ia juga didukung oleh beragam penelitian ilmiah terbaru di bidang neurosains. Konsep “AKU” adalah ilusi semata yang berguna untuk kepentingan praktis belaka, seperti pencatatan penduduk atau komunikasi sehari-hari. Ia bukanlah kenyataan.

Ketika pikiran dan emosi kuat melanda, kita lalu sadar, bahwa tidak ada AKU yang mengalami semua ini. Emosi lalu sekedar emosi. Pikiran, sejelek apapun, juga hanya sekedar pikiran. Tidak ada AKU di dalamnya.

Coba anda terapkan ini, ketika emosi dan pikiran datang melanda. Pengalaman saya, dan pengalaman jutaan orang lainnya, adalah: semua jadi terasa ringan. Emosi dan pikiran datang dan pergi begitu saja. Mereka cepat berlalu. Memaafkan dan move on menjadi semudah membalikkan telapak tangan.

Hidup kita pun jadi ringan dan jernih. Kita lalu bisa menjalankan semuanya dari saat ke saat dengan kebahagiaan dan kedamaian hati. Orang-orang sekitar kita terbantu dengan keberadaan kita. Penderitaan bisa datang berkunjung, namun ia bisa segera pergi, tanpa jejak.

Tidak percaya? Coba saja..

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

26 tanggapan untuk ““AKU” di dalam Penderitaan”

  1. Salam kenal pak Reza. saya baru pertama kali mengunjungi blog ini. senang sekali akhirnya dapat dipertemukan dengan pemikiran yang luar biasa keren. pak Reza, ada sesuatu yang mengganjal ketika memahami tuliusan di atas, ‘aku adalah sesuatu yang tidak tetap. maka aku dapat mengalami perubahan’. mengapa aku mengalami perubahan? terkadang dalam memahami aku, saya sambung2kan dengan kesadaran diri. ketika ada kesinambungan antara aku dengan kesadaran diri, apakah aku itu tetap mengalami perubahan hingga akhirnya hilang?
    mohon maaf jika postingan dengan pertanyaan saya ga nyambung. tapi entah kenapa, tiba2 saja terlintas dalam pikira saya. mohon pencerahannya. terimakasih

    Suka

  2. salam kenal. Jangan pusing dengan konsep. Aku dan kesadaran diri hanyalah konsep. Itu semua berubah. Coba hidup mengalir saat demi saat, perhatikan sepenuhnya apa yang terjadi disini dan saat ini

    Suka

  3. Pak bagaimana “aku” dalam pernyataan Rene Descartes (kalau tidak salah) yang menyatakan, “aku berpikir maka aku ada”, bukankah sekalipun kita mencoba untukk tidak dikekang oleh konsep “aku”, tetapi kita sendiri memang mengakui ke “aku”an kita masing-masing, sekalipun scara tidak langsung dan atau tidak sadar? Jika penderitaan adalah hasil pikiran, dan pikiran adalah hasil ke”aku”an, berarti saya bisa simpulkan penderitaan juga adalah ke”aku”an yang harus kita akui. Bahwa bapak mengajarkan filsafat pun itu adalah ke”aku”an Bapak dalam hidup ini, sekalipun filsafat bapak sangat kuat unsur penyangkalan “aku”nya. Terimakasih.

    Suka

  4. Pak bagaimana “aku” dalam pernyataan Rene Descartes (kalau tidak salah) yang menyatakan, “aku berpikir maka aku ada”, bukankah sekalipun kita mencoba untukk tidak dikekang oleh konsep “aku”, tetapi kita sendiri memang mengakui ke “aku”an kita masing-masing, sekalipun scara tidak langsung dan atau tidak sadar? Jika penderitaan adalah hasil pikiran, dan pikiran adalah hasil ke”aku”an, berarti saya bisa simpulkan penderitaan juga adalah ke”aku”an yang harus kita akui. Bahwa bapak mengajarkan filsafat pun itu adalah ke”aku”an Bapak dalam hidup ini, sekalipun filsafat bapak sangat kuat unsur penyangkalan “aku”nya. Terimakasih.

    Suka

  5. salam kenal ya. Aku itu adalah ciptaan pikiran. Ia tidak pernah ada di dalam kenyataan. Jangan terjebak pada yang tidak ada, karena kita akan masuk ke dalam penderitaan, dan membuat orang lain menderita.

    Suka

  6. Entah kenapa sudah 4x (selang bbrp bulan) saya baca artikel ini dan setiap kali saya baca seolah2 tulisan ini baru dibuat. Mungkin saya harus menghafalnya.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.