Melampaui Pemerkosaan

c3a433375ca62c81da0de2bdd9b9938a_largeOleh Reza A.A Wattimena

Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan mendesak yang menuntut jalan keluar yang tepat. Kekerasan terhadap perempuan menjadi unik, karena seringkali melibatkan pemerkosaan. Tubuh perempuan dilecehkan sebagai tanda penguasaan dan penghinaan dari pelaku. Setelah terpuaskan, si pelaku lalu membunuh korban, kerap kali dengan cara-cara sadis.

Kita semua bergidik ngeri membaca berita-berita pemerkosaan yang bermuara pada pembunuhan sadis. Kita semua marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap muncul, bahkan dengan tingkat brutalitas yang semakin mengerikan. Mengapa ini bisa terjadi?

Pendekatan Lama Tidak Cukup

Kita seringkali mendekati permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan dengan pendekatan legalistik. Artinya, kita memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku. Namun, pendekatan ini tidaklah mencukupi. Pendekatan hukum selalu bersifat setelah kejadian, sehingga korban sudah menderita, baru pelaku bisa dihukum.

Ini jelas sudah terlambat. Korban sudah menderita, bahkan meninggal, baru pelaku dihukum. Pendekatan legalistik juga cenderung memaksa. Sedangkan, pada dasarnya, pemaksaan selalu mengundang pemberontakan. Semakin besar pemaksaan, semakin besar pula pemberontakan yang akan terjadi.

Pendekatan legalistik, walaupun diperlukan, jelaslah tidak mencukupi. Di sisi lain, kita juga cenderung mendekati permasalahan pemerkosaan brutal dengan pendekatan moralistik. Artinya, kita memaksa perempuan untuk menutupi tubuhnya dengan alasan-alasan moral. Juga dengan berpijak pada moral, kita menghambat gerak perempuan, sehingga mereka, misalnya, tidak boleh pulang malam, atau berjalan kaki di daerah-daerah tertentu.

Pada saat yang sama, kita tidak mendidik para pelaku, yang biasanya pria, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka. Kita hanya memberi himbauan-himbauan dan larangan-larangan moral yang biasanya bersifat agamis kepada mereka. Tema seksualitas dan hasrat kenikmatan dijadikan tema tabu yang tak pernah dibahas. Ini jelas sebuah kesalahan besar.

Cara Pikir Pemerkosa

Apa yang ada di pikiran para pemerkosa dan pembunuh brutal? Mereka melihat perempuan sebagai benda yang bisa digunakan untuk kepuasan mereka. Perempuan dilihat bukan sebagai manusia, tetapi hanya sebagai obyek yang tak punya arti, kecuali arti pemberian kepuasan sesaat. Cara berpikir ini semakin diperkuat oleh kecenderungan berpikir orang jaman sekarang, yakni menyayangi barang, dan menggunakan manusia, dalam hal ini perempuan.

Di dalam bukunya yang berjudul Kritik der praktischen Vernunft, Immanuel Kant, filsuf Jerman, merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia. Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya.

Pemerkosa dan pelaku pembunuhan sadis jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka. Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini.

Di dalam teori-teori Marxis, pola pikir ini disebut juga sebagai reifikasi, atau Verdinglichung. Artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran, pemerkosaan dan pembunuhan brutal tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini.

Semua ini bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa dan pembunuh brutal. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan. Masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa dan pembunuh brutal semacam itu?

Masyarakat Pemerkosa  

Masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan, daripada pengertian dan berpikir kritis. Masyarakat yang gemar memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat. Masyarakat yang mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses. Masyarakat yang melihat perempuan sebagai mahluk kelas dua yang mesti dipenjara, supaya tidak mengundang nafsu pria lainnya.

Itulah masyarakat pemerkosa. Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan sadis terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah.

Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan disini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup beragama. Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang semata harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola. Hanya dengan begitu, pemerkosaan dan pembunuhan brutal bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita.

Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga..

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Melampaui Pemerkosaan”

  1. Gimana caranya mendidik para pelaku, yang biasanya pria, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka bro?
    Pada kenyataannya ada beberapa pelaku hadir dari kalangan terdidik.

    Suka

  2. Jelas bahwa masyarakat pemerkosa ini tumbuh dan berkembang di mayoritas budaya yg ada di Indonesia, namun bagaimana cara mengitegrasikan pemikiran-pemikiran yang penulis sampaikan agar para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan, (mean; pemerintah) serta seluruh masyarakat Indonesia untuk menyadari bahayanya “masyarakat pemerkosa” yang telah tumbuh berabad-abad pada budayanya sendiri?

    Suka

  3. benar… saya sepakat. Pemikiran di dalam tulisan ini harus menjadi bagian dari masyarakat luas, menjadi bagian dari diskusi publik. Baru dengan begitu bisa mempengaruhi kebijakan… tolong sebarkan pemikiran2 ini…

    Disukai oleh 1 orang

  4. saya punya pendapat berbeda…. mental pemerkosa lahir dari masyarakat yang penuh dengan larangan di satu sisi, serta gemar melihat segala sesuatu sebagai obyek untuk dipakai… jadi masyarakat otoriter dan obyektivikasi…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.