Supir Taksi, Globalisasi dan Pencarian Identitas yang Sejati

c7b642992c734bfb5769ac8103d1ece0
4por4.pt

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat Muenchen Jerman

Apa hubungan antara demo supir taksi di Jakarta pada 22 Maret 2016 lalu dengan globalisasi? Sekilas, kita tidak bisa melihat hubungan langsung. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hubungannya langsung tampak: perkembangan informasi dan teknologi dari negara lain kini memasuki Indonesia, dan mempengaruhi industri transportasi di Jakarta. Pendek kata, para supir taksi itu merasa dirugikan oleh perkembangan industri informasi dan komunikasi yang mengurangi penghasilan mereka per harinya. Siapapun yang diancam mata pencahariannya pasti akan bergerak protes. Sayangnya, ini seringkali berakhir pada kekerasan yang tidak menguntungkan siapapun.

Ini juga terjadi, karena globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, masih belum mencapai titik rekonsiliasi. Artinya, globalisasi masih menghasilkan ketimpangan di berbagai bidang yang juga melahirkan berbagai kemungkinan konflik. Namun, ini janganlah dilihat sebagai titik final. Globalisasi masih mungkin berubah, dan itu semua amat tergantung dari para aktor globalisasi yang adalah manusia-manusia juga. Tulisan ini ingin menawarkan sebuah model di dalam memandang globalisasi dalam konteks Indonesia, yakni globalisasi sebagai rekonsiliasi. Di dalam rekonsiliasi ini, semua aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, pendidikan sampai dengan budaya, menemukan titik seimbangnya yang bersifat dinamis. Titik seimbang yang dinamis memungkinkan terciptanya keadilan dan kemakmuran untuk masyarakat Indonesia.

Pertanyaan yang menggantung kemudian adalah, bagaimana rekonsiliasi ini dapat dicapai? Bagaimana titik seimbang yang dinamis di era globalisasi ini dapat dicapai dan kemudian dipertahankan? Satu jawaban yang pasti terkait dengan identitas keeIndonesiaan. Jika identitas tersebut jelas dan tegas di dalam berbagai sisi kehidupan bersama di Indonesia, maka globalisasi akan berpeluang masuk ke dalam fase rekonsiliasi. Kejelasan dan ketegasan identitas tersebut tidak boleh lepas dari ingatan kolektif bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh para bapak bangsa, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan sebagainya. Maka, identitas disini tidak bisa dilepaskan dari ingatan dan cita-cita mereka, yakni bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, hidup dalam kesatuan, demokrasi serta keadilan sosial. Hanya dengan mewujudkan inilah Indonesia bisa memetik buah-buah manis globalisasi, tanpa terjatuh pada sisi gelapnya yang paling berbahaya, yakni ketimpangan sosial ekstrem antara si kaya dan si miskin, sebagaimana kita saksikan sekarang ini.

Globalisasi

Sebelum maju lebih jauh, pemahaman tentang makna globalisasi kiranya diperlukan. Ribuan buku ditulis dengan tema ini. Kebanyakan mengulang hal yang sama. Mungkin, sedikit ringkasan kiranya bisa membantu. Christian Hartmann dalam tulisannya di Bundeszentrale für politische Bildung menjelaskan beragam perubahan sosial yang muncul sebagai dampak dari globalisasi, yakni meningkatnya jaringan global antar manusia di seluruh dunia (Vernetzung), kemudahan investasi lintas benua, sampai dengan beragam masalah sosial dan ekologis yang muncul.[1]  Dari beragam gejala yang dijabarkan bisa disimpulkan secara lugas, bahwa globalisasi adalah pemadatan ruang dan waktu. Tempat yang sebelumnya tak terjangkau kini bisa ditempuh dalam waktu yang amat singkat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi jelas memainkan peranan besar disini. Dua dampak langsung dari keadaan ini terhadap hubungan antar manusia adalah ‘menjauhkan yang dekat’, dan ‘mendekatkan yang jauh’. Orang di depan mata diabaikan demi komunikasi dengan orang yang nun jauh disana. Ini dengan mudah ditemukan di dalam pola komunikasi antar manusia sekarang ini, terutama terkait dengan perkembangan gadget smartphone.

Ini semua memungkinkan diketahuinya satu peristiwa di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Bom yang meledak di Brussel langsung diketahui mereka yang sedang menonton TV di Kupang. Alhasil, rasa cemas, akibat konflik nun jauh di tempat lain pun meningkat. Orang hidup terus dalam keadaan siaga setiap saat. Ini tentunya memberikan pengaruh besar pada hubungan antar manusia serta cara hidup beragam masyarakat dewasa ini. Tingkat depresi dan bunuh diri di beragam negara kini juga cenderung meningkat. Kesalingterpautan erat antar beragam negara di seluruh dunia membawa pula peningkatan rasa cemas kolektif global. Mungkin inilah salah satu sisi gelap globalisasi yang terus perlu dicermati secara kritis.

Peningkatan rasa cemas kolektif ini juga dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi politik di era globalisasi ini. Beragam analisis menegaskan, bahwa globalisasi kerap hanya sekedar topeng bagi proses perluasan neoliberalisme, yakni paham yang melihat semua dimensi kehidupan manusia semata dari kaca mata keuntungan ekonomi. Dampak politisnya adalah penerapan kebijakan pasar bebas di berbagai negara yang menghantam beragam industri lokal, dan itu juga berarti memiskinkan penduduk lokal. Buahnya kemudian adalah ketimpangan global, yakni perbedaan yang begitu tajam antara kelompok kaya dan kelompok miskin di berbagai belahan dunia. Ketimpangan yang semakin lebar ini ditambah dengan sepak terjang perusahaan multinasional yang tanpa ampun menguras kekayaan sumber daya alam beragam negara, sambil membiarkan rakyatnya tetap hidup miskin. Jika dibiarkan seperti ini, globalisasi justru akan meruntuhkan perdamaian. Sebuah proses rekonsiliasi yang mendalam sekaligus meluas kiranya diperlukan.

Rekonsiliasi

Bagaimana kita memahami rekonsiliasi di dalam arus globalisasi sekarang ini? Beberapa poin tentang teori rekonsiliasi tentu perlu untuk dijabarkan. Berbagai teori rekonsiliasi menjelaskan proses berhentinya konflik dan tegangan di masa lalu, serta mulainya masa-masa damai yang dinantikan. Dengan kata lain, rekonsiliasi adalah masa peralihan dari keadaan perang menuju keadaan damai. Di dalam jantung rekonsiliasi terdapat beberapa hal, yakni pelestarian ingatan, pengakuan terhadap keberadaan korban serta pelaku maupun hak-haknya, perbaikan terhadap hidup para korban serta penciptaan maupun perawatan budaya perdamaian yang berkelanjutan.[2] Teori-teori rekonsiliasi tidak secara langsung berbicara soal globalisasi. Namun, idenya kiranya tetap, bahwa globalisasi membawa perubahan yang juga merugikan banyak orang. Rekonsiliasi ini dapatlah dilihat sebagai upaya untuk membuat sistem jaringan pengaman sosial (asuransi kesehatan universal, pendidikan gratis untuk semua, asuransi kehilangan pekerjaan, serta asuransi hari tua) universal bagi semua warga, sehingga mereka tidak begitu rentan dihantam sisi gelap arus globalisasi yang terjadi. Globalisasi, dengan demikian, harus diarahkan pada semacam rekonsiliasi, supaya ia bisa mencapai titik seimbang yang dinamis. Buah manis globalisasi, yakni keterpauteratan seluruh dunia yang menghasilkan keadilan dan kemakmuran bagi semua, baru dapat dirasakan, jika ia dipandang sebagai sebuah proses rekonsiliasi terus menerus. Ini kiranya sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang tertuang di dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia di dalam Pancasila.

Soal Identitas

Globalisasi jelas mengubah identitas kita sebagai bangsa. Pancasila tentu saja bisa tetap dijadikan pegangan teguh di dalam globalisasi, supaya kita tidak kehilangan arah sebagai bangsa. Namun, pemahaman kita tentang identitas, pada hemat saya, harus digali lebih dalam. Kita perlu melihat diri kita tidak hanya sebagai warga negara Indonesia, namun juga sebagai warga dunia, dan bahkan warga semesta. Identitas global dan kosmik inilah yang kiranya tepat untuk direnungkan di era globalisasi sekarang ini. Apa yang dimaksud dengan identitas global kosmik ini? Ini adalah kesadaran mendasar, bahwa diriku bukanlah semata bagian dari identitas sosialku, tetapi juga merupakan alam semesta ini. Kesadaran ini terletak sebelum semua identitas sosial yang diberikan oleh masyarakat. Siapa aku, sebelum aku menyebut diriku orang Indonesia, atau orang Jawa, atau Muslim, dan sebagainya? Siapa aku, sebelum itu semua?

Di titik ini, aku dan semesta adalah satu. Tidak ada perbedaan. Semua perbedaan muncul berikutnya. Di titik terdalam keberadaanku sebagai manusia ini, aku melihat hewan, tumbuhan dan semua mahluk sebagai diriku. Sebenarnya, ini adalah kesadaran alamiah kita sebagai manusia. Artinya, kita semua memiliki ini. Namun, dalam perjalanan waktu, kesadaran ini terlupakan. Kita pun terjebak dengan hanya melihat diri kita melulu sebagai bagian dari identitas sosial kita di dalam masyarakat. Ketika identitas sosial kita terganggu, dan ini pasti terjadi, karena hidup tak pernah pasti, maka kita pun akan mengalami krisis hidup.[3] Kesadaran mendasar akan identitas global dan kosmik ini hanya dapat dicapai, jika kita sungguh bertanya, siapa kita sesungguhnya. Kita perlu menjawab pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh, tanpa terjebak pada pandangan-pandangan dangkal yang telah diajarkan oleh masyarakat kepada kita. Pada titik terdalam, kita akan sadar, bahwa kita adalah bagian sekaligus alam semesta itu sendiri.[4] Pengalaman langsung akan kesadaran ini membawa kita pada keterbukaan total tidak hanya terhadap manusia lain, tetapi juga kepada seluruh alam semesta.

Inilah yang disebut sebagai cara berpikir ekologis. Kita menyadari, bahwa kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta, beserta segala isinya. Kita tidak lagi melihat diri kita semata sebagai bagian dari masyarakat ataupun lingkungan sosial kita. Ketika ini terjadi, maka moralitas yang berpijak pada keterbukaan alami terhadap segala sesuatu pun akan terbentuk.[5] Kita akan hidup dengan tolok ukur moral yang mengalir alami dari kesadaran kita, dan bukan dari perintah-perintah moral semata. Moralitas semacam ini akan bersifat ajeg. Ia tidak akan mudah berubah, karena digerakkan oleh perubahan sosial yang memang terus terjadi. Moralitas alami yang lahir dari kesadaran akan identitas global kosmik inilah yang kiranya pas untuk digunakan di dalam era globalisasi sekarang ini.[6] Untuk keperluan politis, Pancasila tetap bisa menjadi dasar yang kokoh. Namun, pada dirinya sendiri, ini tidaklah cukup. Identitas Pancasila harus juga berpijak pada sesuatu yang lebih dalam, yakni kesadaran global kosmik yang nantinya melahirkan kesadaran ekologis. Rekonsiliasi di dalam proses globalisasi baru bisa sungguh terjadi, ketika mayoritas orang hidup dengan menggunakan cara pandang ini.

Supir Taksi.. and beyond      

Ini tentunya terdengar indah, walaupun sulit. Apa kiranya tantangan yang menghalangi untuk terwujudnya globalisasi sebagai rekonsiliasi ini? Kiranya ada dua tantangan besar yang perlu dicermati dan dilampaui. Yang pertama adalah kelupaan bangsa Indonesia pada cita-cita berdirinya bangsa Indonesia. Kelupaan ini mendorong lahirnya tantangan kedua, yakni berbeloknya Indonesia menjadi semata perluasan identitas lokal, seperti yang dengan mudah ditemukan pada upaya menerapkan hukum-hukum Islam sebagai bagian dari peraturan daerah, ataupun undang-undang nasional. Ketika cita-cita dan ingatan terlupakan, maka Indonesia juga terlupakan. Jika ini terjadi, maka bangsa Indonesia akan menjadi korban globalisasi, tanpa bisa bangkit dari keterbelengguannya. Jika seperti itu, maka bukan hanya para supir taksi yang mengamuk, karena haknya terinjak-injak, tetapi juga seluruh rakyat. Revolusi mental bisa berubah wajahnya menjadi revolusi politik berdarah yang memakan banyak korban. Semoga tidak sampai ke situ.[7]

 

Daftar Acuan

Butterwegge, Christoph, et.al (editor), Neoliberalismus. Analysen und Alternativen, VS Verlag, Wiesbaden.

Felber, Christian, Die Gemeinwohl-Ökonomie, Eine demokratische Alternative wächst, Deuticke im Paul Zsolnay Verlag, Wina, 2012.

Jäger, Willigis, Westöstliche Weisheit: Vision einer integralen Spiritualität, Theseus.

Noller, Peter, Globalisierung, Stadträume und Lebensstile. Kulturelle und lokale Repräsentationen des globalen Raums, Leske + Budrich, Opladen 1999.

Paul, Axel T.,  Pelfini, Alejandro, Rehbein, Boike (Editor), “Globalisierung Süd”, LEVIATHAN. Zeitschrift für Sozialwissenschaft Sonderheft 26/2010, VS Verlag, Wiesbaden.

Watts, Alan, On The Taboo Against Knowing Who You Are, Vintage Books, 1989.

Wattimena, Reza A.A., Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung, Hochschule für Philosophie München, München, 2016

Wattimena, Reza A.A., Tentang Manusia. Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, Maharsa, 2016.

Wattimena, Reza A.A., “Pemikiran Christian Felber tentang Ekonomi Kesejahteraan Publik”, Jurnal Respons, Jakarta, hal. 213-256.

Wattimena, Reza A.A., Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2015.

Wattimena, Reza A.A., Bahagia, Kenapa Tidak? Maharsa, Yogyakarta, 2015.

 

Internet:

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141009194757-120-5963/penerapan-hukum-syariah-yang-kontroversial/ 24 Maret 2016.

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/22/12455551/Pengemudi.Go-Jek.Babak.Belur.Dipukuli.Oknum.Sopir.yang.Berdemonstrasi 24 Maret 2016.

Hartmann, Christian, Globalisierung, Zahlen und Fakten, http://www.bpb.de/nachschlagen/zahlen-und-fakten/globalisierung/52498/voraussetzungen, 23 Maret 2016.

 

Catatan akhir:

[1] Hartmann, Christian, Globalisierung, Zahlen und Fakten, http://www.bpb.de/nachschlagen/zahlen-und-fakten/globalisierung/52498/voraussetzungen, 23 Maret 2016.

[2] Wattimena, Reza A.A., Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung, Hochschule für Philosophie München, München, 2016

[3] Bdk, Wattimena, Reza A.A., Tentang Manusia. Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, Maharsa, 2016.

[4] Bdk, Watts, Alan, On The Taboo Against Knowing Who You Are, Vintage Books, 1989.  Watts berpendapat, bahwa pemahaman akan identitas sejati kita sebagai manusia dianggap terlarang di beberapa budaya, karena dianggap bisa merusak tatanan sosial yang sudah ada.

[5] Bdk, Wattimena, Reza A.A., Bahagia, Kenapa Tidak? Maharsa, Yogyakarta, 2015.

[6] Bdk, Jäger, Willigis, Westöstliche Weisheit: Vision einer integralen Spiritualität, Theseus. Jäger berbicara soal spiritualitas yang berpijak pada kesatuan kita dengan seluruh alam semesta. Spiritualitas semacam ini yang kiranya cocok untuk era globalisasi sekarang ini.

[7] Bdk, Wattimena, Reza A.A., Filsafat sebagai Revolusi Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2015.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

15 tanggapan untuk “Supir Taksi, Globalisasi dan Pencarian Identitas yang Sejati”

  1. Dear Mas Reza, Terima Kasih sudah di kirimi artikel terbaru berjudul SupirTaksi, Globalisasi dan Pencarian Identitas Sejati.Luar biasa. semoga saya cepat mendalami theori Zen, Meditasi Zen dan Jalan Hidup Zen untuk di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari saya dan keluarga. Naizal NorewanKota Jambi

    Suka

  2. Tuhan memang asal dan akhir dari segala sesuatu. Kita tentu ingin memahami dan mengalaminya. Namun, untuk bisa mencapai itu, kita justru harus melepas segala keyakinan. Tuhan itu bukan untuk diyakini, tetapi dialammi. Bagaimana menurutmu?

    Suka

  3. Bapak percaya tidak nanti dunia hanya memiliki satu budaya saja? tidak ada budaya dari negara a, b, c, d atau e.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.