Paradoks Kejernihan

mind-blowing-clarity-sean-sarsfield
render.fineartamerica.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Jika dipikirkan, hidup memang rumit. Begitu banyak keputusan harus dibuat. Semua dengan akibatnya masing-masing. Apapun yang kita lakukan, sebaik apapun niat di dalam hati kita, tantangan selalu datang menghadang.

Di tengah segala kebingungan yang diciptakan oleh pikiran, kita mencari jawaban. Di tengah beragam tantangan, kita mencari jalan keluar. Pendek kata, kita mencari kejernihan. Dengan kejernihan, harapannya, kita bisa mencapai keputusan yang tepat di dalam beragam keadaan yang terjadi.

Menuju Kejernihan

Pertanyaan yang menggantung kemudian, bagaimana kita bisa sampai pada kejernihan? Banyak orang menyarankan, supaya kita melakukan analisis lebih mendalam, supaya pada sampai pada kejernihan. Orang-orang lainnya mengatakan, bahwa kita memerlukan informasi lebih banyak. Sayangnya, informasi yang berlimpah, yang dipandu dengan analisis yang mendalam, kerap membuat kita semakin jauh dari kejernihan.

Aleida Assmann, pemikir tentang ingatan kolektif asal Jerman, pernah menulis, bahwa kita hidup di jaman banjir informasi (Informationsüberschwemmung). Kita memperoleh begitu banyak informasi setiap detiknya dari berbagai sumber. Namun, kita tidak lagi punya cukup waktu dan tenaga, guna memahami dan mendalami beragam informasi tersebut. Akibatnya, kita jatuh pada kebingungan, dan semakin jauh dari kejernihan.

Oleh karena itu, kejernihan berpikir tidak pernah bisa didapat dengan analisis dan tambahan informasi. Belajar dari tradisi Zen di dalam filsafat Timur, kejernihan justru bisa dicapai, ketika kita melepas keinginan untuk menjadi jernih. Artinya, kita dibebaskan dari segala tegangan keinginan di dalam pikiran. Kita kembali ke keadaan sebelum pikiran muncul, yakni keadaan alamiah dari diri kita itu sendiri.

Caranya bagaimana? Kita hanya perlu hidup dari saat ke saat. Ketika makan, kita sepenuhnya makan. Ketika berjalan, kita sepenuhnya berjalan. Kita hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Inilah kebebasan yang sejati, menurut Eckhart Tolle.

Paradoks Kejernihan

Pikiran kita lalu menjadi sederhana, yakni saat demi saat mencerap, tanpa menganalisis. Kita melakukan segalanya dari kejernihan. Jika ini sudah dicapai, kita hanya perlu jalan terus dengan segala keputusan yang ada, dan membuka pikiran lebar-lebar. Kita menjadi sepenuhnya terbuka pada kenyataan sebagaimana adanya saat demi saat di dalam hidup kita.

Inilah kejernihan yang sesungguhnya. Ia bukanlah “konsep kejernihan”. Ia justru hadir, ketika “konsep kejernihan” dilepas jauh-jauh. Inilah paradoks kejernihan.

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Paradoks Kejernihan”

  1. Kemarin kita disuguhi konsepi kejernihan berpikir dan sekarang kita dipaksa untuk memuntahkannya lagi, hehe

    Hidup dari saat ke saat sepenuhnya disini saat ini, bahkan dalam praktik paling alamiah sekalipun (seperti di dunia flora dan fauna) masih tidak akan cukup untuk menghadirkan kedamaian batin, karena sejatinya diri tidak akan pernah mampu menghindari rangsangan dari luar.

    Barangkali kita bisa sedikit memperlembut rangsangan yang hadir dengan memperbaiki relasi dengan segala yang ada di luar diri kita, dengan rangsangan datang yang lebih lembut mungkin kita akan lebih bisa untuk berbahagia.

    Terima kasih banyak Pak Reza, salam bahagia…

    Suka

  2. kita bisa saja memperbaiki keadaan luar tersebut. Itu jelas membantu. Namun, hal terpenting adalah, sejauh mana kita tertanam di saat ini? Sejauh mana kita menerima saat ini apa adanya? Jika kita bisa sungguh kokoh disini dan saat ini, maka kita tidak akan lagi tergoyahkan, ketika keadaan di luar diri kita tak sesuai keinginan kita…. salam bahagia…

    Suka

  3. Tak usah menginginkan kejernihan. Tak usah menginginkan dan mengejar cita2 menjadi zen sejati. Apapun itu, memang tak ada bahasa yg cocok untuk menjelaskan bagaimana kehidupan ini berjalan. Hehe

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.