Mengapa Kita “Tidak Perlu” Belajar Filsafat?

1687-1
creativeglossary.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang

Sepulang ke tanah air, saya mencoba memikirkan ulang, apa peran filsafat bagi perkembangan kehidupan manusia sekarang ini. Memasuki kota Jakarta, suasana rumit sudah mulai terasa. Begitu banyak orang sibuk dengan beragam aktivitas, mulai dari berjualan rokok sampai dengan sekedar duduk menunggu untuk menjemput keluarga tercinta. Kerumitan ini berbuah kemacetan lalu lintas, terutama ketika orang pergi dan pulang dari tempat kerja.

Apa peran filsafat untuk mereka? Itu pertanyaan kecil saya. Apa yang bisa saya sumbangkan melalui filsafat yang saya pelajari di tanah asing dengan harga darah dan air mata? Atau mungkin, pendekatannya bisa sedikit dibalik, mengapa orang-orang ini, dan saya, “tidak perlu” belajar filsafat?

Filsafat Tidak Perlu, Jika…

Beberapa ide tercetus di kepala. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita ingin hidup ikut arus. Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita mau sekedar mengikuti kebiasaan lingkungan sosial kita. Ketika mereka berlari, kita berlari, walaupun arah lari tersebut menuju jurang penuh nestapa, baik dalam bentuk kehancuran diri kita, walaupun  kehancuran alam.

Kita juga tidak perlu filsafat, jika kita ingin ditipu. Ditipu oleh siapa? Oleh beragam pihak, yakni mulai dari iklan bujuk rayu penuh kepalsuan, sampai dengan politikus busuk tanpa kesadaran politik yang sekedar butuh suara di dalam pemilihan umum. Kita juga tidak perlu mendalami filsafat, jika kita ingin diadu domba satu sama lain oleh kepentingan dan kekuasaan di balik layar.

Filsafat juga tidak diperlukan, ketika kita menikmati hidup dalam irasionalitas. Artinya, kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita tidak perlu memahami rantai sebab akibat yang membentuk hidup kita sekarang ini. Ini juga berarti, kita hidup dalam kebodohan. Kita melempar kesalahan ke orang lain atau justru kepada Tuhan, dan lupa berkaca untuk melihat ke dalam diri kita sendiri.

Kita tidak perlu belajar filsafat, jika kita senang berpikir kacau balau. Artinya, kita berpikir tanpa hubungan logis yang jelas, serta dengan mudah menarik kesimpulan yang salah. Jika pikiran kita kacau, tindakan kita pun juga kacau. Beragam masalah yang kita hadapi justru menjadi besar, dan melahirkan masalah-masalah baru.

Untuk orang yang menikmati kekacauan seperti ini, filsafat jelas tidak diperlukan.

Lintas Tradisi

Namun, filsafat yang hanya menekankan pemikiran belaka juga berbahaya. Kita akhirnya tidak bisa membedakan, mana kenyataan yang sebenarnya, dan mana yang merupakan ciptaan dari pikiran kita. Kita sibuk dengan konsep, dan lupa kembali ke kenyataan yang sejatinya tanpa nama dan tanpa konsep. Jika ini terjadi, kita hidup dalam penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain juga menderita.

Oleh karena itu, kita juga perlu belajar jalan pembebasan di tradisi Timur, yakni filsafat Zen. Zen membebaskan kita dari beragam konsep yang mengepung kepala kita. Zen mengajak kita melihat kenyataan apa adanya, sebelum kenyataan tersebut dibungkus oleh konsep, penilaian dan analisis yang dibuat pikiran kita. Namun, jika kita senang hidup dalam ilusi yang berbuah penderitaan, Zen juga tidak diperlukan.

Percikan pikiran ini lahir dari persentuhan saya dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Ia juga lahir dari upaya saya untuk memahami, siapa diri saya sebenarnya, tidak hanya dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai warga semesta yang meliputi jutaan jenis mahluk hidup maupun benda-benda angkasa lainnya. Percikan pikiran ini juga lahir dari dorongan batin untuk mencapai pencerahan, baik bagi diri saya maupun bagi semua mahluk hidup. Jika anda tidak membutuhkan pencerahan dan kejernihan di dalam hidup anda, anda bisa melupakan tulisan ini.

Anda tidak perlu filsafat…

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

25 tanggapan untuk “Mengapa Kita “Tidak Perlu” Belajar Filsafat?”

  1. Salam untuk Bpk Reza,

    Dulu saya beranggapan bahwa filsafat hanyalah ilmu patgulipat, silat lidah ataupun jurus berkelit dengan olah kata muter-muter. Saya lebih tertarik belajar ilmu yang lebih praktis dan sederhana.

    Namun entah kenapa belakangan ini saya mulai sedikit tertarik belajar filsafat. Mungkin gara-gara sering baca blognya Bapak Reza? Jujur, di blog ini saya bisa mengenal filsafat dengan ulasan yang jauh lebih sederhana dan menarik.

    Jangan bosan untuk menulis Pak. Saya akan selalu membacanya.

    salam

    Suka

  2. Selamat siang Pak Reza, terimakasih untuk setiap tulisannya. Saya sangat diberkati. Salam kenal dari saya, mahasiswi STTRI. Tuhan memberakti pelayanan Anda. 

    Suka

  3. kalau kita mendengar kata filsafat seringkali yang muncul dalam ingatan bahwa filsafat itu rumit dan membosankan. tapi membaca tulisan bapak reza mengulas filsafat dalam aktifitas keseharian masyarakat, tampaknya sungguh menyenangkan.

    Suka

  4. Artikel ini merupakan kebalikan dari Mengapa perlu belajar filsafat? sekedar menambahkan pak, kalo boleh, belajar filsafat memang membuat saya sadar tetang realita. Selama ini kita ditipu. Beberapa tidak tahu kalau mereka ditipu tapi banyak yang tahu kalau ditipu namun malah menikmati rasanya ditipu hehee… Ngomong-ngomong pak, saya ada pertanyaan:
    1. Bagaimana filsafat memberikan kemajuan pada individu? karena filsafat mempelajari banyak pemikiran filsuf yang seringkali menyebabkan orang bingung tentang hidupnya (apa yang mau di raih, makna hidup dll).

    Suka

  5. Salam Damai untuk Pak Reza.
    Sudah lama saya tak bersilaturahmi ke blog bapak, dan mungkin saat ini adalah suatu momentum yang sangat pas untuk saya bisa lebih intens lagi berkunjung, karena dari tulisan tulisan bapak kurang lebihnya seperti apa yang saya alami saat ini.
    Terima kasih untuk Pak Reza yang berkenan membagikan pemikiran-pemikirannya dalam bentuk tulisan yang bagus ini. semoga kelak Filsafat akan mendapat tempatnya tersendiri di Bangsa kita Ini.

    Suka

  6. salam juga pak Reza. owh iya pak Reza, kenapa refleksi pemikiran dari bapak ini tidak bapak bukukan pak,? mungkin bisa lebih menambah khazanah dan pustaka Filsafat yang dimiliki bangsa ini,?

    Suka

  7. Gue sebenarnya masih bertanya2 ngapain sih kita belajar filsafat yang rumit pake bingit ngabisin waktu hanya belajar yg nggak jelas dan finally gue dapat jawabannya

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.