Rumah

7472708_orig
jcookdigphoto.weebly.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Ketika menulis ini, saya sedang berada di persimpangan. Hampir empat tahun terpisah dari keluarga di tanah air, kini waktunya untuk kembali. Dorongan untuk kembali ke tanah air membara di dalam dada. Pertanyaan kecil menggantung di hati, dimanakah rumahku yang sesungguhnya?

Setiap orang, sejatinya, mencari rumah. Rumah adalah tempat atau keadaan, dimana mereka menemukan kedamaian yang sejati. Puluhan ribu kilometer ditempuh, supaya orang bisa kembali ke rumah. Beragam upaya dilakukan, supaya perasaan di rumah ini tidak hanya datang sesaat, tetapi menetap di dalam diri.

Rumah

Bagi beberapa orang, keluarga adalah rumah yang sesungguhnya. Makan ga makan asal kumpul, begitu kata pepatah lama. Ketika berkumpul bersama keluarga tercinta, mereka menemukan kedamaian yang mereka harapkan. Tanpa kehangatan kasih keluarga, hidup terasa hampa tak bermakna.

Bagi beberapa orang lainnya, keluarga tidak memberikan kehangatan. Mereka justru menemukan kehangatan di antara teman dan sahabat. Bagi mereka, rumah adalah rasa kebersamaan yang dibagi di antara teman dan sahabat. Dimanapun mereka berada, mereka selalu berusaha membuka ruang baru bagi teman dan sahabat yang baru.

Rumah adalah rasa. Rumah tampil ke depan mata, ketika kehangatan membungkus dada. Rumah menjadi nyata, ketika senyum dan tawa menggores di bibir. Rumah menjadi hidup, ketika kebahagiaan bisa dibagi di antara orang-orang terkasih.

Rumah juga adalah perspektif. Ia tampil, ketika kita melihat dunia dengan kaca mata yang tepat. Ia terlihat, ketika kita membersihkan diri dari bercak-bercak kotor yang membuat kabur sudut pandang kita. Rumah menjadi tak hanya kata, ketika pikiran dan realita berjalan bergandengan tangan.

Ke Dalam

Sedihnya, banyak orang tidak menemukan rumah dalam hidupnya. Mereka boleh saja memiliki rumah mewah dan harta berlimpah. Namun, kehangatan dan kedamaian yang sejati tetap tak tergapai di dalam jangkauan tangannya. Yang tersisa hanya buih-buih kemewahan kosong yang dibungkus dengan gemerlap permata.

Jika orang tak mampu menemukan rumah dalam hidupnya, ia akan menderita. Ia akan terus merasa kesepian, walaupun dikelilingi oleh keluarga, teman dan sahabat. Ia mengalami paradoks masyarakat modern: kesepian di tengah jutaan orang. Tak jarang, orang bunuh diri untuk lepas dari kesepian dan penderitaan.

Ada kalanya, keluarga dan sahabat tidak bisa menyediakan rumah yang kita harapkan. Sebaliknya, mereka justru menjadi perusak rumah dan pencipta kesepian. Penolakan dan penilaian datang dari mata dan mulut mereka. Kita justru merasa hampa dan menderita, ketika bersama mereka.

Namun, kita harus sadar, bahwa rumah sejatinya adalah sudut pandang dan rasa. Ia tidak datang dari luar, melainkan dari dalam diri. Maka, kita perlu mencari rumah di dalam diri kita sendiri di sini dan saat ini. Rumah tidak terletak di masa depan sebagai harapan, melainkan sebagai kesadaran yang sepenuhnya berpijak disini dan saat ini.

Duduk sendiri di kamar ini, saya melihat ke dalam diri. Sama seperti semua orang, saya mencari rumah. Di dalam diri, saya menemukan semesta yang tak berbeda dengan semesta raksasa di luar sana. Ada perasaan lega yang muncul.

Saya sudah di rumah…

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Rumah”

  1. Kita adalah semesta yang tak berbeda dengan semesta raksasa di luar sana… Kita dan semesta adalah satu… Kita dan semesta menciptakan kehidupan… Singkatnya, semuanya adalah tentang perihal apa yang ada di benak kita…
    Aku adalah seekor ikan kecil yang sedang berenang di sungai
    Aku tak pernah berpikir untuk melompat keluar,
    ataupun meneguk semua air sungai ke dalam perutku
    Dan aku akan senantiasa mengikuti kemana air sungai hendak mengalir, karena aku sadar bahwa aku adalah bagian dari sungai…
    Aku dan sungai adalah kehidupan…

    Suka

  2. Maaf pa saya mau nanya:
    1. Mungkinkah seseorang mempunyai “rumah” lebih dari satu?
    2. Kalau ya, bagaimana saya membedakan “rumah” yang sejati dan yang tidak?

    Saya juga mau request pa. Bapak kan banyak menglas zen Buddha, saya mau request ajaran yang setipe dengan zen tapi di agama lain cthnya ajaran sufi, ajaran sejenis di Hindu, ajaran sejenis di Kristen dan ajaran konfusius. Mengapa? karena saya sulit menemukan artikel yang bermutu dan penggunaan bahasa yang sederhana di internet. Mohon bapa pertimbangkan request saya. Thx.

    Suka

  3. sejatinya, seluruh dunia adalah rumah kita. Dimanapun kita berada, selama kita berada disini dan saat ini, disitulah rumah kita. Rumah yang sejati akan muncul, jika kita memiliki sudut pandang yang pas di dalam melihat dunia. Saya akan coba ulas beberapa tradisi tersebut di tulisan-tulisan berikutnya- Salam

    Disukai oleh 1 orang

  4. Selamat siang….saat ini saya sedang menyusun proposal disertasi tentang Critical Counsiousness. Kalo selama ini teori Critical Counsiousness hanya digunakan dalam bidang pendidikan dan sosiologi, sekarang ini saya ingin menggunakan konsep ini untuk bidang kesehatan. Yang saya dapatkan bahwa kesadaran muncul ketika manusia sudah mendapatkan ilmu pengetahuan, telah  mengerti, memiliki pemahaman dan meyakini….(sekiranya saya salah mohon diluruskan)…dan saat ini saya sedang bingung mencari teori yang telah saya kemukakan diatas (adanya pengetahuan, pengertian, pemahaman dan keyakinan…. lalu munculah kesadaran). Saya mohon pencerahannya…Terima kasih dan Selamat siang.

    Salam Firda

    Suka

  5. Halo. Kesadaran kritis dalam bidang kesehatan? Kesadaran kritis adalah bagian dari kesadaran diri manusia yang berfungsi untuk terus mengajukan pertanyaan, guna menemukan pemahaman yang lebih dalam lagi dari yang sebelumnya. Jika diterapkan ke bidang kesehatan, kesadaran kritis menjadi upaya untuk terus menerus merumuskan model pengelolaan kesehatan individual maupun masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Kesadaran kritis mempertanyakan pengandaian-pengandaian dari pandangan yang sudah ada sebelumnya. Anda bisa cek Teori Kritis Mazhab Frankfurt sebagai dasar teori. Selamat belajar.

    Suka

  6. Saya ada pertanyaan pak:
    1. Ketika bapak berada di Jerman apa bapak tidak pernah berpikir untuk berpindah kewarganegaraan menjadi warga negara Jerman?
    2. Apa yang membuat bapak memilih tinggal di Indonesia kan di Jerman sistemnya lebih bagus?
    3. Menurut bapak, mengapa orang Indonesia yang sudah pernah ke luar negeri memilih berganti kewarganegaraan? apa Indonesia segitu jeleknya sampai mereka harus jadi WNA?
    Pengalaman: Saya punya 3 teman, mereka semua ingin menikah dengan orang asing lalu menjadi WNA.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.