Pencerahan

bt-enlightenment-goal
thespiritscience.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang di München, Jerman

Untuk apa kita belajar filsafat? Untuk apa kita menekuni beragam teks sulit yang ditulis oleh orang-orang yang sudah mati? Saya tidak tahu dengan anda. Namun, saya punya tujuan yang saya pegang erat terus, sejak pertama kali saya menyentuh buku filsafat: saya ingin mencapai pencerahan (Enlightenment, Aufklärung, Erleuchtung).

Mungkin, ini terdengar naif. Akan tetapi, jika kita mendalami beragam pemikiran filsafat yang ada di dalam sejarah manusia, tujuan ini cukup umum ditemukan. Filsafat Yunani Kuno, terutama tradisi Stoa, mencita-citakan terciptanya “orang bijak Stoa”. Ia adalah manusia yang tak lagi terpengaruh oleh naik turunnya kehidupan. Di tengah beragam tantangan dan persoalan yang menerpa, ia tetap teguh berpegang pada kekuatan batin (innere Kraft) yang bercokol di dalam jiwanya, dan menemukan ketenangan yang sejati (Gelassenheit).

Filsafat Eropa

Ide tentang pencerahan juga ditemukan di dalam tulisan Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18. Masa Kant hidup di Eropa dikenal juga sebagai masa pencerahan, atau masa Fajar Budi (Aufklärung). Di masa ini, akal budi menjadi tolok ukur utama kehidupan manusia, mulai dari moralitas pribadi sampai dengan tata politik. Kant juga menulis satu buku kecil pada 1784 dengan judul Beantwortung der Frage: Was ist Aufkärung? (Jawaban atas Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) di kota Königsberg.

Di dalam buku itu, Kant menegaskan, bahwa pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan (Unmündigkeit) yang ia ciptakan sendiri. Dalam arti ini, ketidakdewasaan ditandai dengan tidak adanya kehendak untuk berpikir sendiri. Ketidakdewasaan ini terjadi, bukan karena orang tidak mampu berpikir sendiri, tetapi karena rasa segan atau rasa takut untuk berpikir sendiri. Maka dari itu, Kant menyarankan, supaya kita berani berpikir sendiri (Sapere Aude!)

Saya amat terkesan dengan tulisan Kant ini. Bertahun-tahun, pandangan Kant ini mempengaruhi hidup saya. Saya mulai berani berpikir dan mempertanyakan segala sesuatu yang sebelumnya saya percaya begitu saja. Namun, setelah menelaah lebih dalam, saya merasa, pandangan Kant ini tidak cukup.

Ini ternyata juga dirasakan oleh para filsuf Mazhab Frankfurt, yakni Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Mereka menulis buku dengan judul Dialektik der Aufklärung pada 1947. Isinya adalah kritik pada pemahaman Kant tentang Pencerahan sebagai keberanian untuk berpikir atau menggunakan akal budi secara mandiri. Bagi Adorno dan Horkheimer, di abad 20, akal budi telah dipersempit semata menjadi akal budi instrumental (instrumentelle Vernunft), yakni akal budi yang semata digunakan sebagai alat untuk menguasai alam dan menguasai manusia lain.

Akal budi telah kehilangan fungsi kritisnya. Ia hanya semata digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang seringkali irasional, yakni penindasan dan penguasaan. Akal budi, dengan demikian, telah berubah menjadi musuh utamanya sendiri, yakni mitos yang irasional. Ini tampak dengan jatuhnya Jerman maupun Eropa ke dalam pengaruh Fasis pemerintahan NAZI Jerman.

Saya sepenuhnya sepakat dengan kritik dari Adorno dan Horkheimer ini. Pendulum pemahaman pun bergerak. Pencerahan tidak lagi dilihat semata sebagai keberanian untuk berpikir sendiri, tetapi sebagai hidup yang otentik dan bebas dengan segala daya-daya di dalam diri manusia, termasuk emosi, akal budi, hasrat, tubuh dan sebagainya. Pandangan ini berakar kuat pada tradisi filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh para filsuf Prancis, yakni Jean Paul Sartre, Maurice Merleau Ponty serta Simone de Beauvoir pada dekade 1960-an dan seterusnya.

Saya sempat mendalami pemikiran para filsuf Prancis ini. Namun, kesan tak cukup tetap muncul. Filsafat eksistensialisme Prancis, yang menekankan kebebasan dan eksplorasi daya-daya hasrati manusia, justru membawa saya pada kecemasan, kesepian serta kehampaan hidup yang mendalam. Buahnya adalah depresi dan penderitaan batin yang besar di dalam hidup saya.

Jalan Zen

Saya pun mulai menoleh ke arah lain. Mungkin, filsafat Barat tidak lagi memadai untuk hidup saya. Mungkin, saya harus menoleh ke tradisi yang sama sekali berbeda. Entah karena kebetulan atau takdir, saya masuk ke dalam tradisi Zen yang berkembang di Korea dan Jepang.

Di dalam tradisi Zen atau Seon Korea, inti dari Zen adalah memahami jati diri kita yang sesungguhnya. Kita bukanlah identitas sosial kita. Identitas sosial bisa diubah dalam sekejap mata, jika kita menghendakinya. Jati diri kita yang sejati tidak memiliki nama. Namun, ia selalu menyertai kita di dalam setiap tindakan maupun pikiran yang muncul.

Ketika orang menyadari diri sejatinya, ia akan mendapatkan kejernihan dan kebebasan batin yang sejati. Pikiran datang dan pergi. Emosi datang dan pergi. Namun, kejernihan dan ketenangan tetap terjaga, sehingga orang bisa bersikap tepat dalam setiap saat dalam hidupnya.

Di dalam tradisi Soto Zen Jepang, pencerahan dipahami sebagai hancurnya segala bentuk konsepsi tentang pikiran dan tubuh. Ketika segalanya yang berbau konseptual hancur, yang tersisa adalah kesadaran halus (awareness). Ini adalah keadaan sebelum pikiran. Di titik ini, orang juga memperoleh kejernihan dan ketenangan yang mendalam, sehingga bisa bersikap tepat di dalam menanggapi berbagai hal yang datang dan pergi di dalam kehidupan.

Zen yang berkembang di Cina, Jepang dan Korea adalah tradisi yang amat kaya. Mereka memiliki tradisi pendidikan yang panjang dan luar biasa mencerahkan. Berbeda dengan Filsafat Eropa, Zen menekankan praksis, atau laku hidup yang nyata. Zen adalah sebuah jalan hidup yang harus dilatih saat demi saat sepanjang hidup kita.

Siapa Aku?

Saat ini, saya sedang menekuni jalan hidup Zen. Setiap saat dalam hidup saya, saya mencoba untuk menyadari, siapa saya sebenarnya. Reza hanyalah nama yang segera bisa diubah, jika saya menginginkannya. Begitu pula dengan bangsa, agama dan warna kulit, semuanya bisa dengan mudah diubah, jika kehendak sudah tumbuh di dalam batin.

Saya mulai melepas pemikiran abstrak khas Filsafat Barat, dan memasuki ranah kenyataan sebagaimana adanya. Di ranah ini, tidak ada konsep. Tidak ada pikiran. Yang ada hanya ruang hampa luas, tempat segala sesuatu datang dan pergi.

Di saat menekuni jalan Zen, saya justru paham maksud terdalam dari seluruh ajaran filsafat yang pernah saya dalami. Saya juga paham inti dari beragam tradisi mistik yang tersebar di berbagai agama-agama dunia. Namun, pemahaman ini tidak dapat sepenuhnya digambarkan dengan kata dan konsep. Jika diminta menjelaskan, saya hanya bilang, “Silahkan cuci tangan anda.”

Jalāl ad-Dīn Muhammad Rūmī, atau dikenal sebagai Rumi, filsuf Sufi Islam asal Persia, kiranya tepat, ketika ia menulis, “Disana, di tempat yang melampaui tindakan baik dan tindakan buruk, ada sebuah tempat,… kita berjumpa disana.” Saya tunggu anda disana…

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Pencerahan”

  1. “Situasinya mirip seperti ketika saya kehilangan sesuatu dan saya memastikan terlebih dahulu bahwa benda itu berada di dalam ruangan. Berangkat dari situ, dengan parameter parameter yang saya buat sendiri , maka sedari awal saya sudah menepis kemungkinan bahwa benda itu berada di luar ruangan. Maka saya terus mencari dan mencari, dan tetap tidak dapat menemukannya…”
    Barangkali inilah model dan cara berpikir yang selalu mengedepankan pengandaian bahwa segala sesuatunya dapat dicarikan penjelasannya. Dan di atas semua itu, ada batasan batasan yang justru timbul sebagai akibat dari teori teori tertentu yang kebenarannya dianggap tak perlu lagi untuk diperdebatkan.
    Ini adalah bentuk pengkondisian dari cara berpikir linier dan kaku, dengan kecendrungan rasionalistik yang sangat kuat, yang telah membenamkan kualitas2 intuitif hingga membentuk kemelekatan intelektual dan psikologis yang mengharu biru. Sampai pada akhirnya, dengan segenap pengetahuan yang telah saya rengkuh selama ini, saya tetaplah segoblok dan setolol seperti sebelumnya…!
    Maka dari itu, -dengan mengingat kembali artikel pak Reza sebelumnya; menjalani hidup dengan kenyataan sebagaimana adanya dengan cara belajar menjadi tidak tahu, semoga dapat membuka topeng kepalsuan kita dan membangunkan kesadaran bahwa sejatinya kita adalah mahluk yang tidak tahu…
    Alhasil, dalam konteks ini, barangkali hidup tidaklah serumit seperti yang kita bayangkan, …cukup jalani prosesnya dan nikmati sensasinya…

    Disukai oleh 1 orang

  2. Hai Pak Reza, salam kenal. Awalnya saya mencari tahu tentang Zen dan akhirnya diarahkan kemari oleh mesin pencari. Terima kasih untuk penjelasannya. 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.