Rainer Forst dan Hak atas Justifikasi

Foto-Rainer-Forst-260x300
philosophie-indebate.de

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Filsafat Politik dan Filsafat Sains di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, Sedang Belajar di Munich Jerman

Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari diskusi di dalam filsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta di dalam diskusi tersebut di dalam bukunya yang berjudul Das Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul buku itu dapat diterjemahkan sebagai “Hak atas Pendasaran: Elemen-elemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.

Di Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang filsuf politik. Ia memperoleh penghargaan Gottfried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu. Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman. Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis dari Jerman.

Hak atas Justifikasi

Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang di dalam filsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan terjadi, ketika orang tidak dianggap sebagai bagian dari proses-proses yang ada di dalam masyarakat. Ia dianggap tidak ada, dan beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.

Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia (Menschenwürde) di dalam filsafat politik. Di dalam filsafat politiknya, martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen ini sejalan dengan filsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang nantinya harus ia patuhi.

Teori Keadilan sebagai justifikasi menyatakan dengan tegas, bahwa tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst, untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata “tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya. Ini hanya mungkin, karena setiap orang memiliki kebebasan untuk mempertanyakan keabsahan atau justifikasi (Rechtfertigungsforderung) dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan kepadanya.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti “Mengapa hukum semacam ini yang diberlakukan?”, atau “Mengapa saya harus menjalani prosedur semacam ini?”, adalah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pendasaran, atau justifikasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama adalah kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua adalah kebutuhan atas pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak untuk menolak hukum ataupun kebijakan tersebut. Saya juga punya hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang telah terjadi pada diri saya.

Moralitas, Diskursivitas dan Intersubyektivitas

Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa filsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar yang penting disini adalah, bahwa setiap orang harus bisa memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama dengannya.

Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan Habermas, bahwa moralitas adalah bagian dari penentuan diri manusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas adalah otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat manusia yang menggunakan selubung-selubung luhur untuk menutupi kebusukannya.

Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.

Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang membutuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya (Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk mengambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya (Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja, tetapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan di keluarga maupun di sekolah dan masyarakat. Dengan kemampuan ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifikasi juga berarti hak untuk berkata tidak.

Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk berkata tidak. Hak untuk justifikasi tidak hanya berarti, bahwa kita punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, tetapi orang lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. Ketika penjelasan dan pendasaran tersebut tidak diterima, maka orang lain juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak untuk justifikasi.

Keadilan Transnasional

Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan transnasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional (kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberikan pengaruh kepada semua negara lainnya. Oleh karena itu, dunia internasional membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersama-sama.

Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini. Baginya, masalah global utama sekarang ini adalah masalah kekuasaan. Oleh karena itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberikan keadilan dan kemakmuran. Kata “kekuasaan” menjadi kata kunci disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini adalah gaya berpikir khas Teori Kritis Mazhab Frankfurt.

Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan yang ada tunduk pada hak untuk justifikasi. Artinya, kekuasaan tersebut dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak. Kekuasaan tersebut harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar, bahwa hak untuk justifikasi adalah hak mutlak yang harus dipenuhi, ketika sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.

Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk memberikan pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya, terutama jika negara tersebut memiliki kekuasaan yang besar di tingkat internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, ketika ia menyerang Irak berdasarkan alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.

Relevansi dan Tanggapan

Pemikiran Forst tentang justifikasi bisa digunakan untuk memahami akar masalah di Papua sekarang ini. Masyarakat Papua kerap tidak diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran, diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan. Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika masyarakat Papua diberikan hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Mereka perlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik secara langsung ataupun tidak.

Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari mata masyarakat luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di Suriah dan Irak adalah salah satu dari kebijakan pintu belakang tersebut. Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur Tengah sekarang ini. Hak atas justifikasi, sebagaimana dirumuskan oleh Forst, memaksa kebijakan tersebut untuk dibuka kepada masyarakat luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk akal. Kebijakan tersebut juga bisa ditolak, ketika ia tidak memiliki pendasaran yang cukup kokoh.

Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pendasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk justifikasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan argumentatif bisa berkembang.

Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman. Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, tetapi bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki banyak dimensi?

 

Sumber Acuan

Forst, Rainer, Das Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der Gerechtigkeit, 2007

Van den Brink, Bert, “Recensie van: Rainer Forst (2007) Das Recht auf Rechtfertigung. Elemente einer konstruktivistischer Theorie der Gerechtigkeit. Frankfurt am Main: Suhrkamp, 413 pp”, Krisis Journal of Philosophy, 2008.

Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, 2007.

————————– (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, 2011.

—————————–, “Dunia Baru, Masalah Baru, Metode Baru”, Majalah Basis, 2013

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Rainer Forst dan Hak atas Justifikasi”

  1. Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali.

    Kalimat di atas menarik sekali untuk didiskusikan lebih lanjut. Jika bukan akal sehat, kira-kira apa yang menjadi motor penggerak manusia? Untuk menjawab ini, koq saya langsung ingat Karl Marx yah? Hihihihih

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.