Paris…

pic.pilpix.com
pic.pilpix.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Munich, Jerman

Mereka menyebutnya “Jumat tanggal 13”, seperti dalam film horror terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa tersebut dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015. Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris. Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak hanya oleh para penduduk kota Paris, tetapi juga oleh seluruh Eropa.

Lingkaran Kekerasan

Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang pemerintahan Assad di Suriah.

Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal tersebut. Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelompok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya, termasuk Arab Saudi, terus memberikan dukungan dana dan senjata kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna menyerang Iran dan sekutunya.

AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina. Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.

Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 adalah bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini adalah buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan yang tak kunjung henti.

Sebab Akibat

Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.

Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya. Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang baik. Ini adalah cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi. Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan sekutunya.

Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya adalah penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.

Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang. Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh masyarakat luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup yang berbeda.

Dendam harus Berhenti

Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban tinggi di dunia, bahwa pengampunan adalah jalan keluar dari segala kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa begitu kuat di seluruh dunia.

Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada. Mau sampai kapan?

Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit. Pengampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih. Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.

Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet, di Papua dan di seluruh dunia adalah buah dari kedunguan kita semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri, dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi? Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

5 tanggapan untuk “Paris…”

  1. Ping-balik: Fadelisme

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.