Penjajahan “Mainstream”

mcs.csueastbay.edu
mcs.csueastbay.edu

Oleh Reza A.A Wattimena

Sekelompok anak muda Indonesia berkumpul. Mereka saling berbagi cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama lain. Yang menarik, polanya sama.

Mereka takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan hal yang sama: mendapatkan uang yang banyak. Mereka benar-benar merasa, bahwa ketakutan dan harapan mereka mencerminkan kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda Indonesia di awal abad 21 ini.

“Mainstream”

Setiap jaman memiliki “mainstream”-nya sendiri. Inilah yang disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal abad 21 ini, kita hidup di masa “uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika sesuatu, semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka ia dianggap tidak berharga.

Banyak orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam “mainstream” ini. Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka memiliki selera yang sama. Mereka memiliki pola pikir yang sama.

Di sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka khawatir akan hal yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa, sekaligus menolak hal-hal yang sama. Para anggota “mainstream” ini hidup bagaikan gerombolan domba yang disetir oleh kekuatan di luar mereka, yakni kekuatan “mainstream”.

Yang tercipta kemudian adalah hidup yang sepenuhnya dangkal, yakni hidup yang sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri dalam bentuk penumpukan uang. Orang tidak lagi memiliki visi pribadi yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia hanya ikut arus dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.

Akar dari semua ini adalah ketakutan. Orang mengira, jika ia tidak ikut arus “mainstream”, maka ia tidak akan selamat. Ketakutan ini juga didukung oleh fakta di Indonesia, bahwa negara hampir tidak hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala bidang. Akhirnya, orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk keselamatan dirinya dan keluarganya.

Berpartisipasi dalam Penindasan

Mengapa hidup mengikuti arus “mainstream” ini bermasalah? Pertama, dengan mengikuti gaya hidup “mainstream”, orang secara tidak langsung berpartisipasi dalam melestarikan struktur ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat. Di dalam struktur sosial sekarang ini, sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu banyak orang lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup “mainstream”, tanpa sikap kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial yang menindas semacam ini.

Kedua, orang yang hidup mengikuti “mainstream” secara tidak sadar dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain. Mereka menjadi benda atau obyek yang diperas demi kepentingan pihak lain. Seringkali, kepentingan pihak lain itu adalah semata demi meningkatkan keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya. Para anggota “mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya barang atau alat yang diperas semata.

Di dalam masyarakat konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita semua adalah komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri kita disebar di Internet untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita seringkali tidak sadar dengan hal ini, karena kita sibuk memuaskan kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk mengikuti gaya hidup “mainstream” yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan besar di baliknya.

Ketika kita hidup seperti domba mengikuti pola “mainstream”, kita merusak masyarakat yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban sekaligus pelaku yang melestarikan ketidakadilan sosial. Bagaimana keluar dari lingkaran setan semacam ini? Bagaimana supaya kita terhindar dari penjajahan “mainstream” ini?

Belajar dan Bertanya

Yang jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kita perlu belajar dan bertanya tentang jalan hidup yang kita pilih, apakah ini ikut melestarikan ketidakadilan yang ada, atau menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam diri kita, apakah kita dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya pada orang-orang yang tercerahkan, supaya kita tidak menjadi domba yang ikut arus “mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak orang.

Tidak semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk sungguh mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik bagi banyak orang. Namun, setiap orang punya kekuatan untuk tidak ikut menambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika kita bersikap kritis terhadap pola hidup “mainstream”. Bukankah lebih baik kita hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan harta hasil dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur masyarakat kita?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

11 tanggapan untuk “Penjajahan “Mainstream””

  1. Itu adalah contoh anomali masyarakat yg katanya “gak pernah ketinggalan jaman” dgn trend. Mudah dipengaruhi dan selalu ikut2an tanpa mengetahui makna yg sebenarnya, sehingga tanpa mereka sadari itu akan menjadi sebuah tuntutan hidup. Mereka tidak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Makanya negara ini tidak punya jati diri.
    Hehe

    Suka

  2. Dear Mas Reza,

    Melihat tulisannya sepintas mengingatkan saya kepada pemikiran Karl Polanyi dalam bukunya Great Transformation. Hebatnya mas Reza bisa langsung mengarahkan ke isu ‘mainstream’ lalu ke rasa takut dalam diri manusia. Saya setuju, manusia sekarang hidup dengan rasa takutnya, yang seharusnya mereka menyadari akan rasa takut dan kemudian tahu ‘how to handle’ rasa takutnya. Barulah, terbuka semua dengan jelas bahwa kehidupan itu luas dan memiliki esensi. Mungkin, manusia Indonesia takut dikatakan ‘sok’ idealis. Padahal, sebuah ide bisa menghasilkan sesuatu yang dampaknya lebih besar dari segepok uang/gaji.

    Dengan ketakutan kita tidak akan menemukan jalan, hanya dengan mencari jalan dan mencari arti dari sesuatu maka kita akan berjalan maju.

    Ya memang Indonesia sedang mengalami krisis jati diri, karena saya lihat banyak yang sibuk ‘melihat ke luar’ tanpa refleksi ke dalam. Menjalani Pancasila sebatas di mulut, mungkin sudah lupa dengan budaya dan kearifan lokal, bahkan lupa tujuan bernegara. Kita punya jati diri, kita hanya perlu menggali dan mempertanyakan kemudian menentukan sikap. Dengan apa? ya menjalaninya, jalankan dan renungkan Pancasila, renungkan preambule UUD’45, bahkan renungkan ‘mengapa bangsa Indonesia lahir?’

    ada baiknya kita jadi tukang gali. Tukang gali sejarah yang sudah dikubur dalam-dalam 🙂

    tetapi sebelumnya, kita harus mulai dari diri sendiri, perenungannya ( mengapa saya lahir? mengapa terlahir sebagai Indonesia?). Jadi tukang gali untuk jiwa kita sendiri. Barulah kemudian bertemu jati diri kita dan mari kita bangun negara karena negara membutuhkan bangsa.

    Terus menulis mas Reza! terima kasih sudah banyak menginspirasi. Indonesia akan terus maju.

    Merdeka!

    Salam dari Mainz, Jerman
    Sidan Raeskyesa

    Suka

  3. Buku Karl Polanyi tersebut inspiratif. Ia menarik kembali ekonomi ke dalam kehidupan komunitas. Saya juga sepakat, bahwa kita harus melihat ke dalam. Namun, menengok ke belakang juga seringkali sesat, karena kita jatuh pada nostalgia masa lalu. Ini tanda putus asa. Justru, kita harus menyelam ke masa kini, dan menjadi sepenuhnya jernih disini dan saat ini. Hanya dengan begitu, kita bisa memperoleh kejernihan yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan. Salam kenal ya.

    Suka

  4. Saya setuju dengan mas Reza, melihat ke dalam ( vertical ) memang kadang membawa manusia ke arah belakang ( horizontal ) , masa lalu dan itu berbahaya. Oleh karenanya, kita harus mampu menjadi ‘tuan’ atas pikiran kita supaya manusia mampu melihat jernih di saat sekarang dan bertindak secara jernih. Saya setuju dengan mas Reza.

    Terima kasih mas, Salam kenal juga 🙂

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.