Akar dari Segala Kecanduan

images.fineartamerica.com
images.fineartamerica.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Unika Widya Mandala, Surabaya, Peneliti di Munich, Jerman

Kita hidup di dunia yang penuh dengan orang yang kecanduan. Ada orang yang kecanduan belanja. Mereka merasa hampa dan menderita, jika tidak belanja. Ada yang kecanduan kerja. Mereka merasa hidup mereka tak berharga, jika tak bekerja dengan rajin.

Ada orang yang kecanduan bermain, atau sekedar nongkrong, sambil ngerokok dan minum bersama teman-temannya. Mereka merasa kesepian dan ketinggalan berita, jika tidak rajin nongkrong. Sekarang ini, banyak orang kecanduan internet, terutama jaringan sosial. Mereka merasa tak bisa hidup, jika tidak mengecek situs jaringan sosial mereka.

Yang paling parah tentu kecanduan narkotika. Mereka merusak dirinya sendiri dengan memakan obat-obat terlarang. Namun, mereka merasa tak berdaya di hadapan kecanduannya tersebut. Akhirnya, banyak orang menghancurkan hidupnya dan keluarganya, karena kecanduan narkotika semacam ini.

Ciri Kecanduan

Ciri utama dari segala bentuk kecanduan adalah ilusi, bahwa kita tidak dapat hidup, tanpa melakukan hal-hal tertentu, seperti belanja, seks, nongkrong dan sebagainya. Semua itu seolah seperti udara bagi hidup kita. Ia perlu untuk segera dipenuhi sesegera mungkin. Dengan kata lain, kita melekat pada suatu hal, sehingga hidup kita terasa hampa dan menderita, jika kita tidak memilikinya.

Dalam arti ini, ambisi juga adalah suatu bentuk kecanduan. Banyak orang dididik untuk memiliki ambisi dalam hidupnya. Sedari kecil, mereka dilatih untuk merumuskan dan mewujudkan ambisi pribadi mereka, seringkali dengan mengorbankan orang lain. Namun, ketika ambisi ini tidak terwujud, atau justru terwujud, yang tersisa seringkali hanya perasaan hampa.

Ciri kedua kecanduan adalah ia akan merusak hidup orang tersebut. Hidup orang yang kecanduan akan terpaku pada satu hal, dan melupakan banyak hal lainnya. Keseimbangan hidup pun rusak. Akibatnya, dimensi spiritual dirinya rusak, dan akhirnya juga merusak hubungannya dengan orang lain.

Banyak orang memutuskan untuk bunuh diri, karena penderitaan yang ia alami, akibat kecanduan. Banyak juga yang memutuskan untuk membunuh orang lain, supaya bisa memenuhi kecanduannya. Pendek kata, kecanduan membuat orang menjadi “gila”. Mengapa orang mengalami kecanduan ini? Apa akar penyebabnya?

Akar dari Segala Kecanduan

Akar dari segala bentuk kecanduan adalah kecanduan untuk berpikir. Kecanduan berpikir adalah kecenderungan orang untuk terus berpikir, tanpa bisa dihentikan. Ia terus menganalisis segala sesuatu yang ada di depannya, bahkan ketika ia tidur. Pada satu titik, pikirannya hangus, dan ia jatuh ke dalam depresi, stress dan beragam penyakit kejiwaan lainnya.

Ketika orang berpikir dan menganalisis berlebihan, dirinya akan tegang. Ketidakpuasan muncul di dalam dirinya. Ada perasaan menderita yang muncul, karena pikiran yang tak lagi terkendali. Masa lalu, masa kini dan masa depan tumpang tindih, dan membuatnya segala sesuatu terlihat sulit dan membingungkan.

Ketegangan dan ketidakpuasan tentu perlu diredakan. Orang lalu mencari cara-cara tertentu, seperti belanja, minum, nongkrong, jalan-jalan atau seks. Namun, semua cara-cara itu tidak akan pernah bisa meredakan ketegangan sepenuhnya. Orang pun semakin menderita, dan justru jatuh ke dalam kecanduan-kecanduan lainnya.

Kecanduan berpikir melahirkan analisis berlebihan atas segala sesuatu. Ini juga menciptakan kecemasan-kecemasan yang tidak perlu. Orang lalu membayangkan hal-hal terburuk terjadi pada dirinya, atau pada orang-orang yang ia sayangi. Disini juga sama, bahwa hal-hal sementara, seperti belanja, seks dan nongkrong, tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru melahirkan kecanduan baru. Lalu, kita harus bagaimana?

Melampaui Kecanduan

Kita hanya perlu untuk berhenti berpikir. Kita perlu melepaskan diri dari kecanduan berpikir yang kita alami. Ini penyakit khas manusia modern yang selalu memikirkan segala sesuatu, sampai pikirannya pecah. Akan tetapi, bagaimana cara untuk berhenti berpikir?

Caranya tidak dengan mencari keluar diri, seperti belanja dan sebagainya, tetapi melihat ke dalam. Kita mencoba untuk merasakan nafas kita. Ketika kita merasakan nafas kita, pikiran berhenti, walaupun sesaat. Ketika kita melakukannya lebih lama, maka pikiran juga akan berhenti lebih lama.

Ketika pikiran berhenti, intuisi terlatih. Intuisi terbentuk melalui persentuhan diri kita langsung dengan realitas. Jadi, misalnya. ketika kita makan, rasakan makanan kita sepenuhnya. Ketika itu terjadi, pikiran kita berhenti, dan yang ada hanya persentuhan langsung dengan makan.

Setelah beberapa melakukan ini di berbagai kegiatan, pikiran kita akan lebih tenang. Kecanduan berpikir mulai hilang secara perlahan. Kecanduan-kecanduan lainnya pun juga perlahan berkurang. Secara keseluruhan, hidup kita akan membaik.

Kita lalu akan sadar, bahwa diri kita bukanlah pikiran kita. Pikiran kita hanya bagian kecil dari diri kita. Pikiran itu seperti awan yang berganti, walaupun langit biru tetap membentang luas di belakangnya. Kita adalah langit biru itu.

Ga percaya? Coba deh.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

12 tanggapan untuk “Akar dari Segala Kecanduan”

  1. apa ada hubungannya dengan psikologi positif? tentang “flow” dan “gratifikasi”?
    atau semacam membangun kesadaran secara penuh?

    Suka

  2. kalau semua dilepas, maka yang harus kita lakukan selanjutnya berarti mengalir? ah pertanyaan ini kan sama saja dengan pikiran dan konsep ya. oke, akan saya telaah lagi.

    Suka

  3. Bagaimana bisa Anda katakan jangan berfikir? Sedang Anda membuat tulisan ini dengan berfikir, atau semua tulisan Anda terjadi begitu saja tanpa melibatkan pikiran?
    Saya paham maksud Anda, tapi jangan terlalu ekstrim, pikiran itu bagian dari diri manusia, justru dengan pikiran dan pengetahuanlah kemajuan teknologi bisa berkembang sepesat ini.

    Suka

  4. Tidak. Berpikir itu perlu sekali. Namun, jika itu terus dilakukan, orang akan tertekan. Kehidupan pun lalu tak lagi terasa. Orang tenggelama dalam pikirannya sendiri, dan hidup dalam mimpi.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.