Identitas itu Ilusi

web-images.chacha.com
web-images.chacha.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Begitu banyak konflik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. Darah bertumpahan, akibat konflik identitas semacam ini. Lingkaran kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun terus berputar, tanpa henti.

Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam konflik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang bisa melarang.

Indonesia juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konflik karena perbedaan identitas. Konflik Sampit sampai dengan tawuran pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling mencintai terpisah, karena perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di pemerintahan, karena identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.

Diskriminasi pun juga lahir, karena pemahaman yang salah tentang identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak-jejak dari kebijakan tersebut masih bisa dirasakan di banyak negara. Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.

Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas? Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita hanya saling konflik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?

Identitas dan Kemelakatan

Identitas adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-kelompok lainnya.

Ketegangan biasanya terjadi, karena orang merasa identitasnya dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas kelompoknya. Ketika kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang menjadi akar dari banyak konflik di dunia ini.

Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, tetapi dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri kita dengan nama tersebut. Kita melekatkan diri kita pada nama yang diberikan oleh orang tua kita. Ketika nama itu dihina, kita pun akan merasa terhina.

Ketika kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan diri kita dengan kelompok suku kita. Ketika kelompok suku itu dihina, kita pun merasa terhina.

Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku. Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.

Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa memilih agama kita sendiri.

Nasionalisme adalah kesetiaan pada identitas nasional, yakni negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. Ketika negara dan bangsa kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.

Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu. Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu, misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. Ketika aliran itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik. Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konflik antar manusia.

Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan pekerjaan mereka. Mereka biasanya adalah para profesional yang telah mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. Ketika mereka mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat pun seringkali datang melanda.

Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. Ketika salah satu label itu bermasalah, kita menderita. Ketika salah satu label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konflik antar manusia banyak terjadi, karena orang menyamakan dirinya begitu saja pada label identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.

Hakekat Identitas

Namun, apakah label identitas itu sungguh nyata? Ataukah, ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.

Identitas itu sementara, karena ia akan berubah. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label tersebut, jika ia mau. Bahkan, karena luasnya pergaulan seseorang, ia bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.

Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara. Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau bahkan melepasnya sama sekali.

Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah belah, sehingga saling berkonflik satu sama lain. Identitas juga menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.

Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk diskriminasi, konflik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, karena ia amat sementara dan begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan diri pada label-label identitas yang diciptakan masyarakat.

Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konflik bukanlah perbedaan identitas, tetapi kesalahan di dalam memahami perbedaan identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang konflik akan terus menghantui.

Melampaui Identitas

Jika identitas adalah sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh melekat padanya. Kita boleh menggunakannya, guna membantu orang lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.

Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu cara berpikir yang salah yang tersebar di masyarakat kita.

Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun tidak punya alasan untuk merasa terhina, ketika orang lain menghina salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk berkonflik dengan orang lain, karena alasan yang tidak masuk akal, misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.

Ketika sadar, bahwa identitas kita adalah ilusi, kita pun otomatis menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi, jika pekerjaan kita gagal, atau ketika agama, ras, suku, negara dan profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa dilampaui dengan ketenangan batin.

Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat marah, ketika salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain? Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, ketika salah satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita? Mau sampai kapan…?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Identitas itu Ilusi”

  1. Saya sepakat identitas itu ilusi. Eksistensi identitas semakin dikuatkan dengan kapitalisasi (media) global. Fanatisme suporter sepakbola merupakan salah satu contoh. Kita bisa lihat, bagaimana kelompok suporter rela melakukan kekerasan terhadap suporter lain. Atau seorang fans Manchester United di Afrika yang melakukan bunuh diri setelah klub kesayangannya kalah, padahal klub tersebut berada jauh dari negaranya. Fenomena ini terjadi karena hegemoni (pikiran/ide) yang terus-menerus dikonsumsi.

    Suka

  2. tulisan yang sungguh bagus pak , tetapi saya mau tanya pak , kebanyakan dari tadi disinggung seperti juga yang disampaikan saudara dominicus enjang adalah identitas umum yang biasa dipakai individu dalam hubungannya dengan makhluk sosial lainnya ,tetapi berkaitan dengan identitas khusus yang dimiliki individu itu sendiri sebagai subjek yang bereksistensi, sepeerti nama yang nmelekat padanya ,jika memang kita sebaiknya tidak melekat pada identitas karena seperti bapak bilang identitas itu ilusi ,apakah manusia juga tidak boleh memilki nama , bagaimana membedakan individu yang satu dengan yang lainnya jika tidak ada yang pembeda diantara mereka yaitu identitas ?

    Suka

  3. MAnusia punya beragam identitas. Tetapi semuanya itu ciptaan pikirannya saja. Tidak nyata. Ilusi. Sesungguhnya, tidak ada perbedaan. Kita saja yang membuat perbedaan dengan pikiran kita.

    Suka

  4. boleh di upload dalam jurnal atau pdf kang,,,,, saya sedang meneliti soal konflik identitas dalam pandangan filsafat. mohon bantuanya

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.