Anatomi Rasa Takut

nigeltomm.org
nigeltomm.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

“Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi…”

Awal Maret 2015, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington. Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya AS turun tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.

Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terhadap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas musuh dari luar. Pada masa perang dunia kedua, Hitler dan Jerman menjadi musuh. Pada masa perang dingin dan di awal abad 21, Uni Soviet dan kelompok teroris Islam ekstrimis menjadi musuh. Karena rasa takut ini, AS sering terlibat di dalam berbagai perang yang sia-sia.

Politik yang didorong oleh rasa takut juga bukan hal baru di Indonesia. Sejak awal, Indonesia takut akan kembalinya pasukan kolonial Belanda dan Inggris. Seluruh politik Sukarno juga diarahkan untuk menumpas segala bentuk neokolonialisme yang dibawah oleh negara-negara Barat. Pada masa Orde Baru, politik Indonesia didorong oleh rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai saat ini.

Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua? Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut di dalam hidup kita.

Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.

Namun, kita semua tahu, ketakutan terbesar kita adalah kematian. Kita takut berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai, ketika kita meninggal. Kita juga takut apa yang ada di kehidupan berikutnya, setelah kita mati. Kita juga takut, ketika orang yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu.

Ada masalah besar disini. Ketika kita takut, pikiran kita kacau. Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat kita buta.

Pikiran yang kacau menyebabkan penderitaan di dalam hati kita. Ketika kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut dan penderitaan yang menggerogoti hati kita mendorong kita untuk berbuat jahat.

Pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, karena pikiran yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita sendiri. Orang lain pun juga terkena dampaknya. Orang-orang yang hidup dengan kebutaan dan penderitaan akibat rasa takut, namun memiliki kekuasaan politik yang besar, seperti George W. Bush dan Benyamin Netanyahu, juga akan membawa penderitaan besar bagi banyak orang.

Pada tingkat pribadi, rasa takut bisa memberikan penderitaan batin yang besar. Banyak orang mengalami depresi, karena rasa takut yang begitu besar di dalam dirinya. Mereka tidak bisa menemukan kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidupnya. Pada keadaan yang sangat parah, orang memilih untuk bunuh diri, karena tak kuat lagi menahan rasa takutnya.

Mengapa kita merasa takut? Apa itu ketakutan? Mengapa ia bisa menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong terciptanya perang besar antara berbagai negara? Bisakah kita melampaui rasa takut yang bercokol di dalam diri kita?

Ketakutan dan Akarnya

Ketakutan adalah antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan terjadi. Fokus dari ketakutan adalah masa depan. Ia belum terjadi, namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya.

Sumber dari rasa takut adalah pikiran kita. Kita membangun bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan tersebut menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau.

Jadi, rasa takut adalah bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan pikiran kita.

Darimana bayangan yang menciptakan rasa takut ini muncul? Hubungan kita dengan orang lain dan dengan kenyataan itu sendiri melahirkan rasa takut dalam diri kita. Kita mendengar cerita dari orang lain yang mengalami pengalaman jelek, lalu kita menjadikan cerita jelek itu sebagai bagian dari bayangan kita. Rasa takut pun kemudian lahir.

Pengalaman pribadi kita sendiri di masa lalu juga menciptakan rasa takut. Kita mengalami pengalaman pahit di masa lalu. Lalu, kita takut, andaikan pengalaman itu terulang kembali. Kita pun melakukan segala hal untuk mencegahnya. Upaya pencegahan ini seringkali melahirkan rasa tegang dan rasa takut di dalam batin kita.

Ketika kita mendengar cerita pahit tentang hidup orang lain, kita seringkali menerimanya begitu saja sebagai kebenaran. Kita tidak menggunakan pikiran kritis untuk bertanya, apakah cerita itu benar, atau tidak. Jadi, ketakutan juga bisa lahir dari pikiran yang tidak kritis, yakni pikiran yang gampang percaya. Orang semacam ini gampang sekali menjadi korban adu domba dan provokasi orang lain.

Pikiran yang tidak kritis menciptakan delusi di dalam pikiran kita. Delusi, dalam arti ini, berarti kesalahan berpikir tentang kehidupan dan kenyataan itu sendiri. Delusi membuat kita memiliki rasa takut yang akhirnya membuat kita hidup menderita. Kita tidak bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati kita.

Melampaui Rasa Takut

Di dalam tradisi Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia adalah memahami pikirannya. Memahami pikiran berarti memahami jati diri asali setiap orang, sebelum ia masuk ke dalam dunia sosial. Memahami pikiran juga berarti menyadari, bahwa pikiran itu tidak ada. Memahami jati diri asali manusia berarti juga menyadari, bahwa “jati diri” itu tidak ada.

Ketika diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Semua peristiwa yang menimpanya dianggap sebagai peristiwa biasa, yakni bagian kecil dari jagad semesta ini. Orang lalu tidak lagi hidup dengan pikirannya, melainkan dengan kesadarannya. Ia menjadi pribadi yang peka, peduli dan terlibat untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang kesulitan.

Eckhart Tolle di dalam bukunya yang berjudul Jetzt! Die Kraft der Gegenwart juga menegaskan, bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang konkret. Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa kini.

Jika masa lalu itu hanya bayangan, bagaimana dengan masa depan? Masa depan pun juga merupakan bayangan. Rasa takut akan masa depan, menurut Hinnerk Polenski dalam bukunya Hör auf zu denken, sein einfach glücklich, adalah ilusi atau bayangan yang mengacaukan pikiran manusia. Ia tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan hanya muncul dari pikiran manusia.

Kematian pun juga sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari proses perubahan semesta. Mistikus Islam, Rumi, menegaskan, bahwa kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita menipu kita dengan memberikan kesan perpisahan yang sesungguhnya tak ada.

Jika kematian tak ada, maka kehidupan pun juga tak pernah ada. Kita semua hanya numpang lewat minum teh di dunia ini, begitu kata kebijaksanaan kuno Jawa. Kita hanya perlu hidup sesederhana dan sebaik mungkin, supaya kita bisa memberikan kebahagiaan pada diri kita sendiri, dan pada orang lain. Sisanya hanya sementara dan fana, maka kita tidak perlu terlalu serius dan ambisius dalam hidup ini.

Segala hal adalah lahir dari pikiran manusia. Rasa takut juga lahir dari pikiran kita. Kematian dan kehidupan juga adalah konsep hasil ciptaan pikiran kita. Namun, pikiran kita bersandar pada panca indera kita yang sesungguhnya rapuh. Maka, pikiran kita pun rapuh. Jangan percaya dengan pikiran yang muncul di kepalamu, begitu kata Seung Sahn, Zen Master dari Korea dalam bukunya The Compass of Zen.

Ketika pikiran dilepas, kita akan menemukan kedamaian. Ketika pikiran dilepas, maka kematian, kehidupan, masa lalu, masa depan dan segala bentuk ketakutan akan lenyap dalam sekejap mata. Kita pun bisa hidup dengan kesadaran penuh yang melahirkan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati. Kita pun lalu bisa menolong orang lain yang membutuhkan kita.

Hidup ini tidak sulit. Hidup ini juga tidak mudah. Hidup ini hanya perlu dijalani apa adanya. Para filsuf Stoa mengajarkan kita untuk tidak membuat penilaian dalam hidup ini. Kita hanya perlu hidup dari saat ke saat.

Hidup dari saat ke saat adalah hidup yang sempurna. Rasa takut tidak ada. Masa lalu dan masa depan tidak ada. Kehidupan dan kematian juga tidak ada. Yang ada hanya satu: kedamaian sejati.

Para politikus kita perlu sampai pada kesadaran ini. Hanya dengan cara ini, politik kita di Indonesia bisa berkembang untuk memajukan keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem raksasa dengan aturan hukum yang banyak akan percuma, jika manusia-manusia pelaksananya diselubungi rasa takut dan penderitaan. Itu hanya menciptakan sistem politik yang mahal, namun tanpa hasil nyata.

Benyamin Netanyahu juga perlu untuk keluar dari rasa takutnya, supaya ia bisa melihat keadaan dengan lebih jernih, dan membuat keputusan dengan lebih bijak. Sudah waktunya pula Indonesia melepaskan ketakutannya pada komunisme. Kita harus meninggalkan politik rasa takut dengan terlebih dahulu melampaui rasa takut yang bercokol di dalam hati kita. Suatu saat, kita akan bisa berkata, “Masih takut? Hari geneee?”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

9 tanggapan untuk “Anatomi Rasa Takut”

  1. Pak, perlukah rasa keberanian itu diungkapkan secara verbal dengan mengatakan “saya tidak takut … ” Apakah lantas dengan begitu ketakutan akan hilang? Lalu menjadi berani?

    Jika aksi teror bertujuan menakuti,
    Maka apakah reaksi yg tepat adalah mengatakan tujuan yg sebaliknya “saya/kami tidak takut teror”? Bukankah dengan mengutarakan ketidaktakutan artinya saya/kami sempat takut, tapi kemudian berupaya untuk memberanikan diri dengan bereaksi mengungkapkan “saya/kami tidak takut!”

    Bukankah dengan mengatakan tujuan yg sebaliknya, maka dapat dipersepsikan tujuan teror tetap tercapai, sempat ditakuti kemudian memperoleh reaksi?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.