Membangun Opini Cerdas

lindiewesselshistory
lindiewesselshistory

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita.

Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan masyarakat sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi

Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita baca.

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi kita tentang orang itu. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.

Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya.

Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media

Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konflik dan beragam pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong kebencian, menciptakan konflik yang nantinya memperkuat prasangka yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Membangun Opini Cerdas

Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar atau pembacanya.

Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki oleh pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan kepentingan mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro TV dan TV One, ketika pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga dapat dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal, blog-blog dari penulis independen bisa memberikan informasi yang lebih bermutu kepada kita.

Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar disini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas. Tidak ada jalan lain.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

10 tanggapan untuk “Membangun Opini Cerdas”

  1. Mat pagi Semua tulisan di rumah filsafat sangat saya nikmati bang Jika ada tulisan tentang dunia marketing kepada sy tolong dikirimkan bang

    Thanks

    Terkirim dari Samsung Mobile

    Suka

  2. Trims Pak Reza atas kiriman tulisan yang sangat mempengaruhi pemikiran saya (dan istri). Romo Albertus Herwanta. O.Carm (Rektor Unika Widya Karya Malang) juga berminat menerima email anda secara rutin dengan alamat: dempodempo@yahoo.com. Saya infokan sejak 31 Maret 2015 yang akan datang, saya resigned dari Unika Widya Mandala Surabaya dan akan mencari pekerjaan di Kota Malang, karena istriku tinggal sendiri di rumah (anakku yang sulung di Malaysia, adiknya april depan mau ke Jakarta). Terima kasih atas perjumpaan, dialog dan inspirasi hidup yang pernah saya terima dan ke depan pasti saya akan lebih banyak membutuhkan anda. Syaloom.

    Suka

  3. Tiga hal kunci keselamatan dlm hidup.
    1. Jangan pernah percaya dgn media
    2. Jangan pernah percaya dgn bank
    3. Jangan pernah percaya dgn investasi
    Hehehe..

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.