Tidak Tahu

deathandtaxesmag.com
deathandtaxesmag.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di Jerman

Sokrates dikenal sebagai bapak dari filsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfilsafat yang unik. Ia tidak berfilsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan di pasar di kota Athena.

Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak orang, “Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya, “Hai Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya menjawab, “Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”

Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang sudah ada Cina pada masa itu.

Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk makan bersama. Sang penguasa bertanya, “Saya sudah membangun banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma menjawab, “Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban itu. Ia berkata, “Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, “Saya tidak tahu.”

Tidak Tahu

Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud lain yang ingin mereka sampaikan?

Kita hidup di era, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu pengetahuan dan filsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati. Namun, sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-ngira saja?

Ilmu pengetahuan, filsafat dan agama mengandalkan satu hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan menggunakan bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia?

Coba kita lakukan sedikit eksperimen. Bisakah anda melukiskan dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara tepat isi dari pikiran manusia?

Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan dan filsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada akhirnya, salah.

Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, adalah ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? Kebodohan?

Ketidaktahuan adalah kondisi asali manusia. Artinya, manusia sejatinya adalah mahluk yang tidak tahu. Ketika lahir ke dunia, ia tidak tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?

Pikiran-Tidak-Tahu

Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.

Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang kerap kali memberikan pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian semu belaka. Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam hidup kita.

Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, yakni berhenti berpikir. Ketika orang berpikir, ia mulai membuat pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.

Perhatikan corak masyarakat modern sekarang. Orang hidup dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda dengan komunitas mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, keterasingan dan akhirnya penderitaan.

Hasilnya adalah individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna.

Ini semua adalah hasil dari pikiran yang memisahkan manusia yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari alam sekitarnya. Ketika pikiran yang memisahkan ini hilang, maka perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu tidak hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan seluruh alam.

Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka dan kita adalah satu dan sama. Perasaan kesatuan ini adalah inti utama dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, melainkan inti dari diri seseorang. Ketika orang sudah menjadi cinta itu sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.

Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran adalah alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya. Pikiran yang sebaiknya digunakan adalah pikiran ala Sokrates dan Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.

Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.

Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

14 tanggapan untuk “Tidak Tahu”

  1. Pak Reza Ysh,
    Sama-sama “Tidak Tahu” antara Sokrates dan Bodhidarma, pernahkah dianalisis melalui intent dari pembicara? Dalam Speech Act (Pragmatics) dibedalam Locutionary Act, Illocutionary Act dan Perlocutionary Act. Ketika kedua pembicara tersebut mneyatakan “Tidak Tahu” masing-masing mempunyai Illocutionary force. Sokrates yang sedang mengajarkan kepada masyarakat agar mereka harus mengenal dirinya malah berkata tentang dirinya, “Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!” Apakah maksud yang dibawa dengan ucapannya ini? Dan ketika menghadapi penguasa, Bodhidarma menjawab, “Tidak tahu,” illocutionary forcenya beda. Jadi, perbedaan maksud (intent) yang membedakan makna ucapan keduaorang besar ini.

    Suka

  2. ilukosiuner berarti ucapan yang berujung pada tindakan. Sokrates dan Bodhidharma bersikap pasif, yakni tidak bertindak. Tidak tahu adalah sikap pasif yang membuat manusia menjadi mahluk yang alami, sejalan dengan alam.

    Suka

  3. Pa Reza, saya mau nanya ni mungkin rada kurang berhubungan sama topik artikel di atas.
    Saya belajar filsafat di semester 3 jurusan sastra inggris, sejak mengenal filsafat saya tahu bahwa pola pikir dan tindakan saya dan org lain selama ini salah dan tak berdasar. Dalam hal ini saya menjadi sadar dan sedikit tahu tentang hal-hal dalam hidup tapi semenjak mengenal filsafat saya mengalami dilema tersendiri. Saya menjadi bingung dengan hidup saya. Saya merasa hidup saya kompleks dan saya bingung sendiri harus berbuat apa. Banyak konsep ttg hidup yg saya bangun (pekerjaan, kuliah, agama, kebahagiaan dsb) tapi saya modifikasi karena pengetahuan dan kesadaran saya itu.

    Pertanyaannya:
    1. Apakah kesadaran dan rasa tahu saya ini berguna bagi saya atau justru merugikan?
    2. Mengapa setelah belajar filsafat dan semakin mengenalnya lebih dalam, saya merasa aneh ketika berbicara tentang hal-hal lumrah cth pekerjaan, cinta, gosip dll? Ketika membicarakan hal ini teman saya menganggap saya aneh.
    3. Mengapa setelah belajar filsafat saya merasa hidup saya lebih kompleks dan rumit daripada sebelumnya? Apakah karna saya sadar dan sedikit tahu tetang apa yang terjadi dalam hidup?

    Terima kasih 😀

    Suka

  4. anda sedang mengalami perubahan batin. Dijalani pelan2. Jangan terlalu ngoyo. Berpikir kritis dan bertanya itu boleh. Namun, ada waktunya akal budi harus berhenti. Coba belajar menghentikan pikiran sebentar.

    Suka

  5. Eh bung bagaimana kita bisa melepaskan pikiran kita dari setiap keseharian hidup kita. Berjalan aja perlu berpikir kalau tidak berpikir bisa nyasar dan nabrak, ini contoh kecil loh.. Jadi intinya otak tetap digunakan, ndak mungkin ngga pake otak untuk melakukan segala sesuatu. Nih saya tidak mengagung-agungkan rasionalisme..

    Suka

  6. aneh ini tulisan pak reza kok pas ..sebenarnya sudah lama prinsip jangan mikir ini jadi praktek hidup saya..tp bahasa yg saya pakai dari guru saya yaitu..”tidur lelapkan akal fikirmu dengan cara matilah dalam hidupmu maka kamu akan merasakan hidupmu yang sebenarnya ” tentu ini jelas beda dengan tidak mikir sebagaimana yg sdr firdaus maksudkan..akal digunakan utk merapikan sebuah bahasa yg lahir dari ide yang berasal dari spirit sebagai kalam yang lahir dari kuasa Tuhan..yg kemudian kita jadi tahu dalam kesadaran tidak tahu ..seperti munculnya fajar terang dari gelapnya malam..

    Suka

  7. Keluar dari zona nyaman, untuk berfikir-tidak-tahu seperti itu bener2 butuh mental si gans wkwkwk…

    “Saya tidak tahu, namun saya tahu bahwasanya saya tidak tahu”
    Saya sering melontarkan kalimat ini saat dikeroyok oleh orang2 yg “sok tahu” wkwkwk…

    Saya mulai berfikir seperti itu setelah saya mengalami insiden gagar otak,
    Setelah mulai membaik dengan keadaan otak fresh difactory reset melihat kenyataan bahwasanya saya tidak tahu hohoho…

    Untuk membuat orang yang “sok tahu” untuk menghargai orang yg berfikiran ‘tidak tahu’ spt itu super duper sulit gan hehehe…

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.