Lupa

hopeofglory.typepad.com
hopeofglory.typepad.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di Jerman

Ada satu band yang cukup menarik dari Indonesia. Nama bandnya adalah Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal di Indonesia. Judulnya “Lupa”.

Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: “lupa..lupa..lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.” Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri, tetapi lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang ini. Kita manusia, tetapi lupa, apa artinya menjadi manusia.

Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun, semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran, karena kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran kita sebagai manusia.

Kelupaan Kita

Martin Heidegger, filsuf Jerman di awal abad 20, menyebut keadaan ini sebagai “kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu. Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut sebagai keadaan “tidak melihat” (avidya). Orang hidup dengan segala kesibukannya, tetapi tidak melihat apa yang sungguh penting, dan juga melupakan inti dari segala sesuatu.

Di dalam tradisi filsafat Yunani Kuno, Plato juga melihat keadaan yang sama. Ketika manusia lahir, ia melupakan segala pengetahuan yang ia punya, lalu harus mulai belajar segalanya dari awal lagi. Pendidikan, bagi Plato, adalah proses mengingat kembali (anamnesis) apa yang sudah diketahui sebelumnya, namun terlupakan. Sumber dari pengetahuan itu adalah Dunia Ide, tempat model dan eseni dari segala sesuatu berada.

Saya juga melihat gejala yang sama. Jade Small menyebut kelupaan sebagai ciri utama dari manusia modern. Ia terjadi di semua tindakan manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural dan politis. Motto berikut ini mungkin bisa memberikan penjelasan: aku lupa, maka aku ada (oblivisco ergo sum).

Kelupaan Multidimensional

Small juga menjelaskan, bahwa kelupaan ini terjadi di dua tingkat. Yang pertama adalah, kita lupa akan tempat kita dalam hubungan dengan alam di dunia ini. Kita lebih nyaman hidup dalam kurungan beton dan semen, daripada berhubungan langsung dengan hewan dan tumbuhan yang justru menjadi sumber kehidupan kita. Karena merasa terasing dari alam, kita pun mulai melihat alam sebagai obyek untuk kepentingan kita semata, dan akhirnya justru menghancurkannya dengan kerakusan dan kebodohan kita.

Ketika alam hancur, anak cucu kita di masa depan juga akan hidup dengan alam yang sudah rusak, akibat perbuatan kita. Artinya, kita juga melupakan tanggung jawab kita pada masa depan, yakni pada kehidupan anak cucu kita. Dengan hidup dalam keadaan lupa semacam ini, kita lupa akan keterhubungan diri kita dengan segala yang ada, dan akhirnya menderita di dalam kesepian hati.

Kita pun menolak untuk menyadari kelupaan kita. Sebaliknya, kita justru terjebak dalam hidup yang hanya berfokus pada kenikmatan sesaat semata. Kita sibuk menimbun barang, guna menutupi kekosongan hati kita, akibat kesepian dan keterputusan hubungan dengan alam. Hidup kita pun hanya berfokus pada pencarian uang semata, guna memenuhi keinginan kita akan kenikmatan sesaat semata.

Yang pertama dan terutama adalah, kita lupa akan tempat kita di alam ini. Kita tidak lagi mengerti, bagaimana hidup sejalan dan seimbang dengan alam. Kita justru melihat alam sebagai benda semata yang bisa digunakan, lalu dibuang, setelah habis terpakai. Kita lupa, bagaimana cara melihat dan memahami tanda-tanda alam, dan kehilangan hubungan dekat dengan tumbuhan dan hewan yang menjadi sumber bagi kehidupan kita.

Kita juga menyepelekan ajaran nenek moyang kita. Kita lupa akan kebijaksanaan para leluhur kita. Mereka memang tidak punya teknologi tinggi. Namun, selama ribuan tahun, mereka hidup dalam hubungan yang dekat dan seimbang dengan alam. Dan itu, menurut saya, jauh lebih berharga, daripada teknologi tinggi, seperti yang kita punya sekarang ini.

Di sisi lain, kita juga lupa akan tujuan hidup kita yang sejati. Kita hidup dalam suasana banjir informasi yang mengaburkan kejernihan pikiran kita. Kita sibuk mencari uang dan nama baik, sehingga lupa, mengapa dua hal itu penting bagi kita. Kita bahkan lupa dengan jati diri sejati kita, dan hidup justru hanya untuk mengikuti apa kata orang.

Dengan kelupaan ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan batin. Uang boleh banyak. Orang juga bisa memiliki nama besar. Namun, banyak diantara mereka justru amat menderita secara batiniah.

Mereka hidup dalam penjajahan masyarakat. Mereka juga diperbudak oleh ambisi mereka sendiri. Mereka lupa, bahwa manusia itu sejatinya bebas. Keterjajahan oleh aturan-aturan masyarakat dan oleh ambisi pribadilah yang membuat manusia menderita, dan akhirnya bertindak jahat pada orang lain.

Kita juga melupakan pelajaran dari sejarah kita sendiri. Kita mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Konflik dan perang berulang dengan pola yang sama. Hanya pelakunya yang berbeda.

Dan yang terlebih menyedihkan, kita lupa, bagaimana caranya untuk hidup sederhana dan bermakna. Kita mempersulit segala sesuatu dengan ambisi pribadi kita. Kita menimbun harta untuk mencari kebahagiaan, walaupun tetap kecewa di akhir perjalanan. Hidup sederhana berarti menyingkirkan segala hal yang tidak sungguh diperlukan, dan mencoba untuk fokus pada apa yang sungguh penting di dalam hidup ini.

Banyak orang lupa, karena mereka tidak tahu. Akar dari lupa adalah ketidaktahuan. Ini dengan mudah dilampaui, jika kita mau sedikit melihat dengan jeli segala hal yang ada di dalam hidup ini. Melihat sebenarnya tindakan yang amat sederhana dan membahagiakan. Namun, banyak orang lupa dengan hal ini, karena matanya tertutup oleh ambisi pribadi dan ketakutan yang dibuatnya sendiri.

Mau sampai kapan?

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

9 tanggapan untuk “Lupa”

  1. Tabik, Pak Prof.
    Senang rasanya membaca tulisan panjengan yg ini, juga tulisan-tulisan lain tentunya. Pemilihan bahasa yang ringan namun tidak kehilangan bobot tulisan membuat saya merasa ingin terus berkunjung ke website ini.
    Ketertarikan saya terhadap filsafat bermula saat salah seorang teman menyarankan untuk membaca buku Dunia Sophie. Bukannya semakin terpuaskan dengan penjelasan-penjelasan yang ada, yang justru merasa semakin tidak paham.
    Senang rasanya jika panjenengan merekomendasikan beberapa buku untuk saya pelajari.
    Terus berkarya dan semoga sehat selalu, Prof.
    Salam kenal, Paisal.

    Suka

  2. Tabik, Pak Prof.Senang rasanya membaca tulisan panjengan yg ini, juga tulisan-tulisan lain tentunya. Pemilihan bahasa yang ringan namun tidak kehilangan bobot tulisan membuat saya merasa ingin terus berkunjung ke website ini.Ketertarikan saya terhadap filsafat bermula saat salah seorang teman menyarankan untuk membaca buku Dunia Sophie. Bukannya semakin terpuaskan dengan penjelasan-penjelasan yang ada, saya justru merasa semakin tidak paham.Senang rasanya jika panjenengan merekomendasikan beberapa buku untuk saya pelajari.Terus berkarya dan semoga sehat selalu, Prof.Salam kenal, Paisal.

    Suka

  3. dari sini saya mempunyai pertanyaan,
    kapankah kita dikatakan “tidak lupa” ?
    memang benar semua keadaan yang saudara ungkapkan di atas, saya juga mulai menyadari hal tersebut.
    namun di sisi lain, sebagai individu, sangat sulit sekali mengingatkan orang lain untuk tidak lupa, mengingatkan diri sendiri saja kita susah payah dan tertatih-tatih?

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.