Ilmu Pengetahuan dan Kehancuran Kita

flickr.com
flickr.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup kita sekarang ini sungguh tercabut dari alam. Kita merasa terasing dengan tanaman dan hewan. Padahal, keduanya adalah sumber kehidupan kita. Tanpa mereka, kita akan punah.

Justru sebaliknya, hidup kita malah semakin tidak alami. Kita bersentuhan dengan beton dan besi, tetapi justru jijik dengan tanah dan pohon. Padahal, tanpa tanah dan pohon, kita tidak akan dapat hidup.

Kita tidak hanya semakin jauh dari alam. Kita justru menghancurkan alam. Kita mengeruk sumber daya alam tanpa kendali nurani. Kita menggunakan energi, tanpa peduli dari mana energi itu berasal.

Kita asik makan daging di restoran. Namun, kita mengabaikan fakta, bahwa banyak hewan digunakan dan dihancurkan hidupnya oleh perusahaan-perusahaan daging raksasa. Seperti dinyatakan oleh Peter Singer, salah satu tokoh etika hewan (animal ethics), hubungan manusia dengan hewan sama seperti hubungan antara Hitler dengan orang-orang Yahudi pada dekade 1933 sampai 1945 di Jerman. Singkat kata, kita melakukan pembunuhan massal yang biadab pada jutaan hewan setiap harinya, demi memuaskan nafsu kita atas daging dan kenikmatan singkat semata.

Kita menghancurkan hutan, supaya bisa mengeruk keuntungan ekonomi sesaat. Dengan hancurnya hutan, banyak pula binatang yang kehilangan tempat tinggal. Mereka pun terancam punah. Hampir setiap saat, menurut Singer, ada salah satu jenis binatang yang punah dari muka bumi ini, karena kehilangan tempat tinggal alamiahnya. Ketika hutan dan tempat alamiah para hewan hancur, berbagai bencana pun terjadi, mulai dari banjir sampai dengan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia.

Kini, kita menghancurkan hewan dan tumbuhan. Artinya, kita menghancurkan alam itu sendiri. Tidak ada alasan yang masuk akal untuk tindakan ini. Semuanya dilakukan bukan karena kita sebagai manusia perlu melakukannya, tetapi karena kita rakus dan hanya terpaku pada kebutuhan akan kenikmatan sesaat belaka.

Namun, bagaimana kerakusan kita bisa mewujud begitu kuat, dan membuat seluruh alam takluk? Apa yang membuat kita mampu melakukan itu semua dengan cepat dan sistematik? Cara berpikir yang berpijak pada kerakusan tersebut kini menjelma secara nyata di dalam ilmu pengetahuan. Bentuk nyata dari ilmu pengetahuan adalah perkembangan teknologi yang begitu cepat, seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Ilmu Pengetahuan dan Kebodohan

Banyak orang mengira, bahwa ilmu pengetahuan telah menyelamatkan dunia. Ia telah memberi kita begitu banyak kemudahan dalam hidup. Ia berhasil mengembangkan obat-obatan untuk melawan beragam jenis penyakit. Namun, apa artinya semua itu, jika jutaan hewan dan tumbuhan menjadi korbannya, dan menghancurkan alam itu sendiri?

Apakah kita sebagai manusia merasa begitu penting, sehingga keselamatan kita lebih penting dari hewan dan tumbuhan lainnya? Bukankah dengan menghancurkan hewan dan tumbuhan demi kenikmatan sesaat belaka, kita juga, pada akhirnya, menghancurkan diri kita sendiri? Lalu, apa motivasi dari semua tindakan yang merusak ini? Mungkin, seperti yang dinyatakan oleh Heidegger, bahwa manusia tidaklah memiliki kehendak jahat, melainkan hanya tidak berpikir.

Ia berpikir dengan jangka waktu yang amat pendek. Ia tidak mau melihat dari kaca mata yang berbeda. Bukannya ia tidak bisa, tetapi lebih karena kemalasan berpikir yang mendorong terciptanya kebodohan massal. Orang bisa saja cerdas secara intelektual, tetapi amat bodoh dalam sikap hidupnya.

Hal yang sama banyak terjadi di dalam ilmu pengetahuan. Orang bisa amat cerdas dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi sangat bodoh dan biadab dalam sikap hidupnya. Apa yang membuat orang-orang cerdas ini menjadi begitu bodoh? Jawabannya, pada hemat saya, ada pada cara berpikir dasar dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sudah sejak jaman Aristoteles, ilmu pengetahuan memisahkan-misahkan alam ke dalam berbagai kelompok. Tugas utama ilmu pengetahuan adalah memahami, dan memahami dipahami secara sempit sebagai menganalisis yang berarti memecah segala sesuatu ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Dengan cara berpikir ini, orang dengan mudah kehilangan pandangan keseluruhan tentang apa yang ia dalami. Ia bisa memahami sesuatu melalui bagian-bagiannya, tetapi buta pada pandangan secara keseluruhan.

Tak heran, seorang ahli biologi bisa bekerja sama dengan perusahaan yang hendak merusak hutan demi memperoleh uang lebih banyak. Tak heran, ahli kimia bisa disuap untuk melakukan penelitian palsu untuk menipu orang banyak. Tak heran, ahli pangan tidak paham, mengapa harga beras naik terus setiap tahunnya. Inilah orang-orang cerdas yang sekaligus juga bodoh dan buta.

Subyek-Obyek

Di dalam ilmu pengetahuan, alam juga dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan berbeda dari manusia. Manusia seolah mahluk yang mampu berjarak dari alam dan mengamatinya secara obyektif. Inilah yang disebut sebagai pandangan subyek-obyek yang amat dalam mengakar di dalam cara berpikir ilmiah. Jika alam adalah obyek dan manusia adalah subyek, maka sudah sewajarnya, jika manusia menguasai alam, dan menggunakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginannya.

Di dalam ilmu pengetahuan, obyek adalah benda. Manusia adalah subyek. Maka, manusia dianggap memiliki harkat lebih tinggi dari obyek, yakni benda-benda. Dalam hal ini, alam, termasuk hewan dan tumbuhan, dilihat sebagai benda-benda yang menjadi kajian utama dari ilmu pengetahuan.

Alam dilihat sebagai bahan mentah. Ia siap untuk diambil dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan serta keinginan manusia yang tak terbatas. Jelas, pada akhirnya, alam akan hancur, dan manusia pun akan hancur bersamanya. Inilah rupanya yang kerap lolos dari pertimbangan para perusak alam.

Karena alam adalah semata benda dan obyek, maka manusia punya hak untuk menguasainya. Salah satu bentuk penguasaan adalah dengan berpikir, bahwa manusia punya hak untuk melakukan uji coba terhadap alam. Untuk membuat kosmetik, manusia membunuh kelinci dari beragam hewan lainnya. Untuk memahami struktur otak, manusia merasa berhak melakukan uji coba terhadap monyet dan tikus.

Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, manusia memisahkan hewan dari kelompoknya. Untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan, manusia menculik hewan dari habitat aslinya untuk ditaruh di kebon binatang. Mengapa kita merasa berhak melakukan itu? Mengapa kita merasa berhak melakukan uji coba terhadap hewan dan tumbuhan semata demi kebutuhan kita?

Akaranya adalah kesombongan. Kesombongan ini berakar pada pandangan yang salah, bahwa manusia lebih tinggi dan lebih istimewa daripada hewan dan tumbuhan. Pandangan ini juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ditafsirkan secara dangkal. Di dalam filsafat, pandangan sesat dan merusak semacam ini disebut juga sebagai antroposentrisme, yakni pandangan, bahwa manusia adalah pusat alam semesta, dan semua mahluk harus mengabdi pada kebutuhan serta keinginannya.

Ketika cara berpikir ilmiah diterapkan begitu saja, hasilnya adalah kehancuran alam. Cara berpikir ini hendak memisahkan dan memanipulasi segala hal yang ada di muka bumi ini. Ia bersedia merusak semuanya demi memperoleh cara baru untuk meraup keuntungan dan kenikmatan sesaat bagi segelintir orang. Cara berpikir ilmiah, yang dipuji banyak orang, ironisnya, justru menjadi biang keladi kehancuran alam dan kehancuran manusia itu sendiri.

Bukti paling nyata adalah senjata nuklir dan senjata biologis. Penggunaan kedua senjata itu bisa langsung menghancurkan segalanya dalam sekejap mata. Keduanya adalah hasil dari penelitian ilmiah yang canggih dan mahal. Keduanya amat cerdas, tetapi sekaligus bodoh dan biadab.

Menggugat Ilmu Pengetahuan

Cara berpikir ilmiah harus dilampaui. Cara berpikir yang memisahkan dan membeda-bedakan segalanya secara teoritis harus dihentikan. Ia adalah biang keladi dari liarnya teknologi yang merusak alam, termasuk hewan, tumbuhan dan manusia itu sendiri. Jika kita terus memuja cara berpikir ilmiah tanpa sikap kritis, kita secara tidak sadar telah ambil bagian dalam penghancuran segalanya.

Ada dua alternatif cara berpikir yang bisa dipertimbangkan. Yang pertama adalah cara berpikir Gelassenheit yang ditawarkan Heidegger. Cara berpikir ini hendak memahami dan membiarkan segala sesuatu apa adanya, tanpa manipulasi untuk kepentingan dan keinginan manusia. Heidegger juga menyebutnya sebagai cara berpikir metafisik.

Yang kedua adalah cara berpikir yang berpijak pada tradisi filsafat Timur yang berkembang di India dan Cina. Di dalam cara berpikir ini, manusia dilihat sebagai bagian dari alam, dan alam juga dilihat sebagai bagian dari manusia. Keduanya adalah satu dan sama. Ia tidak bisa dipisah-pisahkan.

Cara berpikir filsafat Timur juga tidak sibuk memisah-misahkan segalanya, seperti gaya analisis di dalam ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya, ia justru ingin melihat segalanya sebagai sama dan satu. Ketika diri kita tidak lagi berbeda dengan alam dan segala yang ada, maka kita akan sampai pada keadaan yang paling alamiah dari diri, yakni kedamaian hati yang sejati. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah hal-hal yang perlu dipuja dan dipuji, melainkan sebaliknya, ia perlu digugat dan dilampaui!

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Ilmu Pengetahuan dan Kehancuran Kita”

  1. Pengetahuan adalah perusak bumi ini. Sungguh, kami saja bisa melihatnya secara sinis sebab ilmu telah dijadikan sebagai alat konspirasi oleh segelintir orang.
    Salam….

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.