Tirani Konsep

blogspot.com
blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Sejak kecil, kita diajarkan untuk punya cita-cita. Pertanyaan yang biasa muncul adalah, “Kamu mau jadi apa, kalau sudah besar?” Biasanya, kita asal menjawab. Namun, ketika usia semakin dewasa, pertanyaan yang sama terus menggantung, “Kamu mau jadi apa?” Jika tidak bisa memberikan jawaban pasti, maka kita lalu merasa bersalah.

Namun, kita tidak pernah diajarkan, bahwa penghalang terbesar dari segala mimpi kita di dalam hidup justru adalah diri kita sendiri, tepatnya adalah konsep kita tentang hidup kita. Karena hidup dengan ketegangan dan ambisi yang berapi-api, kita tidak mempunyai energi dan fokus yang dibutuhkan, guna mencapai keinginan tersebut. Akhirnya, kita pun memboikot diri kita sendiri, dan keinginan kita tidak akan pernah tercapai.

Bisa dikatakan dengan lugas, bahwa musuh kita di dalam hidup adalah “konsep” kita tentang hidup itu sendiri, termasuk soal kebahagiaan, tujuan hidup, cinta dan sebagainya. Mengapa konsep menjadi halangan? Bukankah kita diajarkan untuk berpikir konseptual? Bukankah berpikir konseptual juga merupakan tanda dari kecerdasan?

Bahaya Konsep

Pertama-tama, kita perlu mengerti, apa itu konsep. Konsep adalah abstraksi dari pikiran kita atas segala hal yang ada. Kita menggunakan konsep sebagai simbol untuk menjelaskan dunia. Namun, konsep bukanlah dunia. Ia hanyalah simbol, yakni alat pembantu untuk memahami dan menjelaskan dunia.

Yang kerap terjadi adalah, kita mengira konsep yang kita pikirkan sebagai kenyataan. Karena pikiran yang terus bekerja dan melihat berbagai kemungkinan, kita pun seringkali berkutat dengan konsep-konsep di kepala kita. Hasilnya adalah rasa khawatir dan takut berlebihan atas sesuatu yang tidak ada. Segala keinginan dan rencana kita pun hancur, karena ketakutan berlebihan tersebut. Hidup kita pun menderita.

Semua orang ingin hidup bahagia. Namun, hampir semua orang terjebak pada konsep tentang kebahagiaan, bahwa hidup yang bahagia itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ada di kepalanya, yakni konsep kebahagiaan. Ia pun berusaha mewujudkan semua syarat-syarat itu dengan segala daya usaha. Ironisnya, ia tidak akan pernah bahagia, karena ia terjebak pada konsep tentang kebahagiaan.

Kebahagiaan yang sejati bisa dicapai, jika kita melepas semua konsep kita tentang kebahagiaan. Ia bisa terjadi secara alamiah, ketika kita melepas semua pandangan kita tentang arti dari kebahagiaan. Kebahagiaan sebagai keadaan alamiah manusia memberikan ketenangan batin, apapun yang terjadi di sekitar kita. Bisa dibilang, ia adalah kebahagiaan tanpa “kebahagiaan”.

Hal yang sama berlaku untuk cinta. Semua orang mencari cinta. Coba dengarkan lagu-lagu di radio dan lihat film-film di TV maupun bioskop. Semua bercerita tentang cinta. Namun, kenyataannya, banyak orang tidak mendapatkan cinta dalam hidupnya. Mengapa?

Cinta yang sejati ada di depan mata kita. Fakta bahwa kita masih hidup, relatif sehat dan ada udara serta sinar matahari yang mengisi hidup kita adalah tanda cinta yang alamiah. Namun, kita buta dengan semua itu, karena kita terjebak pada konsep kita tentang cinta. Kita memaksa dan memacu diri untuk menjadikan konsep itu jadi kenyataan. Sebuah upaya sia-sia yang menghabiskan energi dan tak akan bisa mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan.

Pencarian kebahagiaan dan cinta dalam hidup biasanya tidak bisa dilepaskan dari pencarian akan Tuhan. Namun, sama dengan kebahagiaan dan cinta, kita tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena kita terjebak pada konsep Tuhan yang kita terima dari luar, dan kemudian kita yakini secara buta. Tuhan bukanlah konsep. Ia tidak bisa dicapai dengan konsep dari buku tua yang tak jelas siapa penulisnya. Justru, musuh utama dari orang-orang yang mencari Tuhan adalah konsep Tuhan itu sendiri.

Tirani

Kita hidup dalam tirani konsep. Konsep adalah abstraksi atas dunia. Biasanya, kita menerima konsep dari ajaran orang lain, yang kita terima secara buta, tanpa sikap kritis. Ketika kita melihat konsep sebagai kenyataan, kita masuk ke dalam kesalahan berpikir yang menjadi akar dari semua penderitaan dan kejahatan di muka bumi ini.

Oleh karena itu, kita harus hati-hati pada konsep yang bercokol di kepala kita. Kita harus curiga pada konsep-konsep tersebut, dan melihatnya semata sebagai kemungkinan, dan bukan kenyataan. Kepenuhan hidup bisa tercapai, jika kita tidak lagi terjebak pada berbagai konsep di dalam kehidupan yang diajarkan masyarakat kita. Sejatinya, manusia hanya butuh makan, pakaian dan tempat tinggal. Sisanya hanya merupakan omong kosong konseptual yang datang dari masyarakat.

Hidup juga sejatinya adalah paradoks. Artinya, ia hanya bisa dihidupi secara penuh, jika kita melepaskan semua pandangan kita tentang kehidupan itu sendiri. Kebahagiaan hanya dapat dicapai, jika kita melepaskan konsep kita tentang kebahagiaan. Cinta hanya dapat dicapai, jika kita melepaskan pandangan kita tentang cinta. Dan Tuhan dapat dipahami, jika kita melepaskan konsep Tuhan yang menjajah pikiran kita.

Kita harus lepas dari tirani konsep. Kita harus belajar untuk “tidak melakukan apa-apa”. Hanya dengan begitu, kita bisa menjadi manusia alamiah, yakni manusia apa adanya. Ia tidak dibebani oleh ambisi menguasai dunia, menjadi sukses, menguasai orang lain, atau beragam ambisi lainnya. Ia hanya hidup dalam segala kepenuhannya, tanpa konsep, tanpa pikiran. Toh, sejatinya hidup ini hanya sebentar, penuh dengan ironi. Jadi, berhentilah berpikir soal hidup, dan mulailah hidup.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

11 tanggapan untuk “Tirani Konsep”

  1. Salam kenal Pak Reza :)..Saya setuju dengan tulisan bapak mengenai kesalahan konsep sebagai akar utama masalah memandang kebahagiaan hdp..Dari tulisan bapak, paragraf kesembilan pada kalimat kedua sangat mengena bagi saya pribadi..namun saya masih kurang paham, kalo saya boleh bertanya, konsep yang bagaimanakah yang ideal bagi orang yang mencari Tuhannya agar tidak ‘mis-konsep’?..Kalau boleh saya katakan, saya menyukai tulisan bapak karena dapat memasak filsafat yang rumit menjadi hidangan yang crispy dengan kata-kata yang dekat dengan orang non filsafat..Terima kasih atas penjelasannya 🙂

    Suka

  2. halo. Thx ya. Tuhan itu bukan konsep. Ia tidak bisa dipahami dengan konsep atau teori hasil dari pikiran. Ia hanya bisa dialami lewat intuisi. Ketika Tuhan dipahami dengan konsep, maka itu jelas bukan Tuhan lagi

    Suka

  3. Salam, tulisan pak resa itu konsep atau bukan? Terus bukankah untuk mencapai kebahagiaan sebagaimana “kebahagiaan” itu perlu konsep mendekatinya?

    Suka

  4. Salam kenal pak, apakah konsep bisa dikonversikan menjadi intuisi agar bisa lebih dalam lagi penafsirannya?
    Terimakasih sebelumnya.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Estalina, Febiola (@TheFebiola)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.