Pendidikan sebagai Penipuan

modernlanguageexperiment.org
modernlanguageexperiment.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di München, Jerman

Untuk kesekian kalinya, seorang yang dikenal saleh di lingkungannya, seorang Ustadz, melakukan pemerkosaan. Kali ini, korbannya adalah anak perempuan berusia 6 tahun. Pemerkosaan ini telah berlangsung berulang kali dalam jangka waktu setahun. Ini merupakan kejadian terakhir dari rangkaian kejahatan bejat yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku saleh dan bahkan menjadi pemimpin agama di masyarakatnya.

Pelecehan seksual terhadap anak juga menjadi masalah besar di berbagai sekolah Katolik di Eropa dan Amerika. Para pelakunya adalah para Pastor yang telah bekerja di sana puluhan tahun, dan korbannya juga ribuan. Para petinggi Gereja Katolik Roma sebenarnya sudah tahu tentang hal ini. Namun, mereka tidak melakukan langkah-langkah yang tepat untuk mencegah kejahatan ini berlanjut.

Kisah pelecehan seksual terhadap perempuan juga banyak terjadi di komunitas-komunitas Buddhis di Amerika Serikat. Walaupun kita harus ingat, para guru Zen ini bukanlah Pastur atau Ustadz yang berkhotbah soal kesucian diri dalam bentuk penolakan pada seks. Yang menjadi korban juga perempuan dewasa, dan bukan anak kecil. Kita juga harus tetap kritis pada berita-berita semacam ini, tanpa menyudutkan para korban yang telah mengalami banyak penderitaan.

Di Indonesia, kasus korupsi di kalangan politikus bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Orang-orang yang terkenal saleh dan dipercaya oleh rakyat justru menipu rakyat. Akibatnya, banyak program politik tidak berjalan, karena dananya dicuri oleh para politikus. Rakyat pun tak mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Katanya, Indonesia negara yang beragama dan beriman. Katanya, kita hidup dengan moralitas dan nilai-nilai yang luhur. Namun, yang justru melanggar moralitas dan nilai-nilai luhur ini justru adalah para pemuka agama yang gemar berbicara moral dan orang-orang yang dipercaya rakyat untuk memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bersama. Ada sesuatu yang salah disini. Dimana salahnya?

Salah Asuh

Saya berpendapat, bahwa kesalahan terbesar kita sebagai bangsa, sehingga melahirkan begitu banyak kemunafikan (pemuka agama bejat, politikus busuk), adalah kesalahan pada pola didik kita sebagai manusia, sedari kita kecil. Sejak kecil, kita diajarkan hal-hal yang salah, sehingga kita hidup dengan cara yang salah. Apa tandanya, bahwa itu semua salah? Kita menderita, dan akibatnya, kita membuat orang lain menderita dengan perbuatan kita.

Dengan kata lain, Indonesia telah mengalami kesalahan pola asuh. Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi manusia yang baik dan sukses. Baik dan sukses disini berarti, kita mendapatkan hal-hal di luar diri kita, yang kita tambahan ke dalam diri kita. Agama menyebutnya pahala atau rahmat. Sejak kecil, kita diajarkan untuk mencari pengakuan, kebahagiaan dan kepenuhan diri di luar diri kita, yakni dari orang lain.

Ketika gagal mendapatkan pengakuan dari orang lain, atau misalnya dihina, kita lalu sedih dan menderita. Ketika gagal mendapatkan tujuan di luar diri kita, kita lalu merasa rendah dan bodoh. Dalam keadaan sedih dan menderita, kita terus mencari di luar diri kita sesuatu untuk menghilangkan penderitaan kita. Alhasil, kita tidak akan pernah mendapatkannya, dan hidup kita semakin menderita.

Padahal, sejatinya, kita tidak memerlukan pengakuan dari siapapun. Kepenuhan diri sudah ada di dalam diri kita, dan tidak tidak perlu mencarinya di luar. Kebahagiaan sudah selalu ada di dalam diri kita. Kita tinggal hanya perlu melihat ke dalam hati, dan tidak lagi sibuk mencari di luar diri kita.

Segala kesedihan hidup bisa dilampaui dengan mudah, ketika kita belajar untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan tidak dari orang lain atau dari benda-benda di luar diri kita, tetapi melihat ke dalam hati dan diri kita sendiri. Kesulitan boleh datang bertubi-tubi. Akan tetapi, kita tidak akan takut dan cemas, karena kita bisa dengan mudah menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati. Namun, kita tidak pernah diajarkan soal ini, bukan?

Pendidikan sebagai Penipuan

Sejak kecil, kita juga diajarkan untuk terpukau pada benda-benda cantik dan mahal di sekitar kita. Ukuran keberhasilan hidup kita adalah, mampukah kita memiliki benda-benda cantik dan mahal tersebut? Jika ya, maka kita disebut berhasil. Jika tidak, maka kita dicap sebagai orang gagal.

Betapa bodohnya asuhan semacam ini. Sejatinya, manusia tak perlu benda-benda untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Ia hanya cukup melatih pikirannya dan puas dengan apa yang ia punya sekarang dan disini. Pengasuhan dari orang tua dan masyarakat kita, walaupun mungkin maksudnya baik, sejatinya adalah penipuan.

Sejak kecil, kita juga diajar untuk mematuhi aturan agama dan hukum. Kita diajarkan patuh buta, supaya mendapatkan pahala atau rahmat, baik di kehidupan ini, maupun di kehidupan nanti. Kita diajarkan untuk hidup seperti kambing dan budak, yakni tak berani berpikir dan tak berani mempertanyakan aturan-aturan yang ada. Akibatnya, ketika ada kesempatan, kita akan segera melanggar semua peraturan yang ada, dan membuat diri serta orang lain menderita.

Padahal, sejatinya, pikiran kritis lebih penting dari kepatuhan. Keberanian dan kemampuan bertanya lebih penting dari kemampuan untuk menjalankan perintah. Pada level yang tertinggi, kita hidup tidak lagi dengan aturan dan hukum yang dipaksakan dari luar oleh masyarakat kita, melainkan dengan intuisi dan nurani kita yang melampaui akal budi itu sendiri. Kita tidak pernah diajarkan tentang hal ini, bukan? Sekali lagi, pendidikan dan pengasuhan dari masyarakat kita telah menipu kita.

Sejak kecil, kita diajarkan untuk peduli pada dunia. Kita diajarkan untuk peduli apa kata orang. Kita diajarkan untuk memperhatikan dan menjaga nama baik. Jika kita gagal menyenangkan masyarakat kita, maka kita akan dianggap sebagai orang yang gagal dan pencundang.

Ini juga penipuan terbesar yang pernah diajarkan kepada kita. Sejatinya, segala sesuatu di dunia ini fana, yakni bersifat sementara dan ilusif, karena ia begitu cepat berganti. Nama baik itu tidak ada. Kehormatan itu semu. Kerinduan akan kehormatan dan niat menjaga nama baik justru membuat hidup kita menderita.

Sesat Asuhan

Sejak kecil, kita juga diajar untuk menimba ilmu. Kita diajar untuk mengisi kepala kita dengan hal-hal baru. Kita diajar untuk membaca buku-buku. Kita diajar untuk menghisap informasi terus menerus, sampai kita mati.

Padahal, sejatinya, belajar itu tidak sama dengan mengisi kepala. Belajar itu, sejatinya, adalah mengosongkan kepala kita dari kotoran-kotoran dunia dalam bentuk informasi-informasi tak berguna. Ketika semua kotoran telah pergi, kita lalu menjadi alami dan bijak, sesuai dengan kodrat alami kita sebagai manusia. Pendidikan, dalam arti yang kita alami sekarang ini di berbagai belahan dunia, adalah sumber dari segala kesesatan yang menjadi akar dari segala penderitaan dan kejahatan di dunia.

Sejak kecil, melalui tayangan sinetron dan lagu-lagu romantis, kita diajar untuk mencintai orang lain secara romantis. Ketika romantisme mati, yang muncul kemudian adalah sakit hati. Lalu, kita menangis dan kecewa. Kita pun hidup dalam lingkaran setan romantisme yang tak ada akhirnya, sampai kita mati.

Padahal, sejatinya, cinta bukanlah romantisme. Justru, romantisme adalah musuh dari cinta. Romantisme juga menghambat lahirnya cinta yang sesungguhnya. Tayangan sinetron dan lagu-lagu cinta telah mengajarkan kita kesesatan berpikir yang membuahkan penderitaan sia-sia dalam hidup kita.

Sedari kecil, kita juga diajarkan, bahwa kematian adalah akhir dari hidup kita. Ketika kita mati, kita akan masuk neraka, surga atau reinkarnasi. Kalau kita baik, maka kita akan masuk surga, atau bereinkarnasi menjadi orang yang tampan, cantik, sehat dan kaya. Kalau kita jahat, maka kita masuk neraka, atau bereinkarnasi menjadi hewan yang paling dibenci manusia.

Padahal, sejatinya, tidak ada yang tahu, apa yang terjadi setelah kematian. Semua hanya merasa tahu, tetapi tidak sungguh-sungguh tahu. Yang jelas, semuanya berasal dari alam, dan akan kembali ke alam. Yang meninggal tidak pernah sungguh meninggalkan kita, karena ia ada di udara yang kita hirup dan semua yang ada di sekitar kita.

Hidup dalam Ilusi

Pengasuhan dan pendidikan yang kita terima sejak kita kecil sebagian besar adalah penipuan. Ia berpijak pada keinginan untuk menjadikan kita manusia yang gampang diatur dan diperas untuk kepentingan pihak-pihak tertentu di masyarakat. Kita diajarkan untuk selalu mencari nama baik, kehormatan dan sukses duniawi yang fana, jika perlu dengan menjilat orang lain, atau justru merugikan mereka. Kita hidup dalam tegangan yang sia-sia, karena hidup dengan pikiran-pikiran yang salah.

Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentu butuh orang lain. Kita bekerja sama dengan orang lain, supaya bisa melindungi diri dari ganasnya alam, dan bisa tetap hidup. Namun, secara emosional, kita sesungguhnya tidak membutuhkan siapapun. Kebahagiaan dan kedamaian dapat kita temukan di dalam hati kita. Dan sejatinya, kita sama sekali tidak membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Itu semua semu dan menipu.

Kebutuhan emosional adalah ilusi. Itu adalah cerita bohong yang diajarkan oleh masyarakat kita melalui berbagai media, mulai dari iklan, sinetron, lagu-lagu murahan, sampai dengan ilmu pengetahuan. Sedihnya, banyak orang menderita secara emosional, karena mengira kebutuhan emosionalnya nyata. Lalu, kita merasa butuh terapi, dan para dokter serta terapis mendapatkan uang banyak dengan menipu masyarakat. Sekali lagi, kita semua ditipu oleh pendidikan dan pengasuhan yang kita terima dari masyarakat kita.

Dalam kondisinya sekarang ini, apakah pendidikan di Indonesia, dan juga di negara-negara lain, sejatinya adalah penipuan? Coba pikirkan baik-baik.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

27 tanggapan untuk “Pendidikan sebagai Penipuan”

  1. Setuju. Menurut saya, seperti contoh standarisasi nilai untuk masuk ke suatu lembaga pendidikan, angka tersebut menyesatkan. Angka tdk bisa dijadikan landasan seseorang Bodoh atau cerdas. Dan kebanyakan, orang yg cerdas karna angka tersebut akan menjadi kaum
    In-telek-tual seperti yg pernah dikupas ditulisan sebelumnya.

    Suka

  2. mantap pak,, seolah2 pendidikan sebagai tekanan terhadap pendidik.. tanpa menyediakan subtansi yg bermakna..
    education not only provides knowlage and skills but also inculcates values, trining of instinct,, fostering right attitudes and habbts – plato

    Suka

  3. Saya pikir setiap pendidikan sifat nya baik karena menambah atribut pengatahuan kepada manusia. Kesalahan atau kesesatan yg mungkin saya sepakati adalah world view dr pendidikan zaman modern yang tujuan nya tidak lagi agung tapi hanya berakar pada materialistik

    Suatu kehormatan bisa berdiskusi dgn anda. Apa anda di surabaya?

    Suka

  4. Sangat inspiratif pak, tulisan yang bagus sekali. Anyway saya juga sedang di Jerman, di Stuttgart, dari Surabaya juga, salam kenal 🙂

    Suka

  5. Metode fenomenologi menurut Husserl,bermaksud untuk sampai ke dasar dari sesuatu,sampai ke hal paling mendasar yang menjadikan sesuatu itu sesusau.Cara berpikir mendasar inilah yang disebut Husserl sebagai kembali kepada hal-hal/susuatu itu sendiri. Dalam hidup sehari-hari tidak semua hal kita lihat apa adanya.Sepertinya Pak Reza melihat pendidikan sekarang ini telah diselubungi oleh kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan azas pendidikan itu sendiri.Itu interpretasi saya terhadap tulisan
    Bapak diatas.

    Suka

  6. Fenomenologi bukan memahami hal mendasar. Fenomenologi berarti memahami fenomena sebagaimana adanya, tanpa prasangka dan pra penilaian. Tulisan ini lebih bernada teori kritis, dan bukan fenomenologi.

    Suka

  7. Saya kesasar kesini untuk bahan menulis blog dengan tema : How Important You Think Education Is. Dan saya ketagihan membaca semua tulisan bapak, saya tersesat dijalan yang benar. 😀
    terimakasih sudah mencerahkan.
    salam kenal. 🙂

    Suka

  8. Permisi Pak, mau tanya. Berdasarkan tulisan Bapak di atas, bahwa segala sesuatunya berasal dari alam, dan akan kembali ke alam. Orang-orang yang meninggal (termasuk keluarga kita) tidak benar-benar meninggalkan kita tapi mereka ada di udara yang kita hirup dan semua yang ada di sekitar kita.

    Pertanyaan saya adalah, berdasarkan apakah Bapak berkesimpulan bahwa yang meninggal ada di udara dan semua yang ada di sekitar kita? Benda apakah itu? Apakah benda mati atau benda hidup? Apakah itu hantu? Atau apa?

    Sesuai dengan tulisan Bapak bahwa berpikir kritis itu lebih penting, maka alam seperti apakah yang dapat membuat segala sesuatu yang Bapak maksudkan? Dan bagaimana caranya bahwa segala sesuatu itu dapat dibuat? Kenapa semuanya dibuat dengan teratur? Apakah itu terjadi dengan sendirinya? Kenapa Adam tidak punya orang tua dan dia dibuat tidak dengan coitus, sementara manusia lainnya dibuat melalui coitus dari dua manusia berlainan jenis? Kenapa tidak muncul Adam-Adam lainnya setelah Adam yang pertama dibuat? Bagaimana Adam dibuat?

    Hal di atas berbeda sekali jika melihat tulisan Bapak yang lainnya yang banyak membahas tentang ketidakbahagiaan manusia itu sendiri, yang justru ketidakbahagiannya dibuat oleh manusia sendiri? Ada apa dengan manusia? Kenapa pendidikan yang dibuat manusia justru membuat manusia tertipu? Kenapa hukum yang dibuat manusia justru membuat manusia menjadi mahluk yang tidak bahagia? Kenapa sampai terjadinya perkosaan yang dilakukan oleh banyak petinggi agama? Apakah karena mereka tidak bahagia? Apakah karena ajaran agamanya yang membuat mereka tidak bahagia? Ajaran agama seperti apa yang membuat mereka tidak bahagia? Lalu, pendidikan seperti apa yang membuat mereka/kita jadi bahagia? Apa itu bahagia? Bukankah itu juga abstrak? Dapatkah Bapak definisikan apa bahagia itu dengan sangat jelas dan detil beserta contohnya sehingga jelas bahwa manusia dibuat untuk tujuan tersebut, dan membuat saya mengerti artinya dan arti menjadi manusia?

    Terima kasih, semoga Bapak dapat menjawabnya dengan terang sehingga kekalutan dalam pikiran saya sirna. Saya tidak menuliskan semua pertanyaan yang masih jauh dari kritis ini, walaupun dalam pikiran saya banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam hidup saya ini. Setidaknya dengan bertanya, hal ini dapat membantu saya. Sekali lagi, terima kasih.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.